Siapa yang tidak kenal dengan Masjid Istiqlal? Arsitekturnya yang unik dan indah menjadikannya sebagai salah satu masjid termegah di Asia Tenggara. Didesain oleh Friedrich Silaban, seorang Kristen Protestan, Masjid Istiqlal menjadi simbol keberagaman, menjadi oase bagi mereka yang butuh ketenangan, dan tempat paling strategis untuk mencari takjil gratis ketika bulan Ramadhan.
Saya sendiri cukup akrab dengan Masjid Istiqlal. Setidaknya ketika sedang suntuk, saya memilih ke Istiqlal untuk sekadar melihat ramainya lalu-lalang pengunjung. Melihat setiap orang berfoto sambil mengagumi megahnya masjid yang diresmikan pada 1978 itu.
Tapi, sebagai seorang jemaah yang sering berkunjung, saya mengamati bahwa di balik kemegahannya, Masjid Istiqlal ternyata menyimpan segudang masalah yang dibiarkan begitu saja. Masjid ini justru tampak angkuh, maksudnya para pengurus dan petinggi yang jadi pengelolanya. Mereka cuek, dan tak peduli sehingga Masjid ini tumbuh mengiringi kemajuan peradaban dengan menampilkan kemunduran.
Reputasi Istiqlal makin kesini makin eksklusif dan mengabaikan kenyamanan dari para jamaah yang datang, bahkan untuk umat muslim secara umum.
Daftar Isi
Parkir liar di Masjid Istiqlal
Masih ingat dengan fenomena parkir liar di luar istiqlal yang “memalak” para jemaah dengan tarif yang gak masuk akal? Kalau tidak karena viral, praktik seperti itu dibiarkan begitu saja oleh para pengelola. Khususnya para petinggi dan imam besarnya. Kejadian itu mungkin bisa sedikit dimaklumi karena di luar teritori dari Masjid Istiqlal. Tapi sayangnya, hal tidak menyenangkan juga nyatanya ditemui ketika berada di dalamnya.
Jemaah seperti saya dihadapkan dengan cobaan kemarahan, meski berada di dalam sebuah kawasan yang seharusnya memberikan ketenteraman. Lah wong tempat ibadah, masak malah bikin marah-marah. Tapi ya, itulah Istiqlal
Saat awal masuk, di sudut-sudut basement parkir, tumpukan sampah terlihat menyambut para jemaah. Setelah itu, jemaah diminta bersabar dengan tangga parkir menuju ke pusat kawasan yang sangat kotor dan jorok. Tangga sekolah saya mungkin lebih bersih daripada tangga parkiran milik Istiqlal ini.
Entah sudah berapa lama tidak pernah dibersihkan, sekadar disapu pun sepertinya tidak pernah. Bau pesing pun tercium ketika melalui tangga ini. Persis seperti sedang melalui lorong yang kanan kirinya terdapat WC umum.
Tiba di bagian depan pelataran masjid, tepatnya di area rerumputan yang tidak berpaving, sampah-sampah juga tampak melambaikan tangan kepada para pengunjung. Miris, sebuah tempat yang seharusnya dianggap suci dan bersih, justru malah tutup mata soal sampah. Bagaimana dengan tempat wudhunya? Wangi sekali dengan aroma pesing. Entahlah, persoalan kebersihan ini, para pengelolanya harus belajar dari mushola depan rumah saya.
Barang-barang hilang di Masjid Istiqlal
Tidak berhenti hanya persoalan kebersihan. Di Istiqlal, keamanan adalah masalah lain yang harus dihadapi. Jemaah acap kali kehilangan barang bawaannya. Saya tidak mengerti apa fungsi satpam yang bertebaran di kawasan Istiqlal.
Parahnya, pernah kerabat saya bercerita bahwa supir bus yang membawa rombongannya dimintai uang oleh “oknum” satpam hingga ratusan ribu. Dalihnya uang infaq, padahal bukankah infaq harusnya seikhlasnya? Saya paham hal seperti ini yang melakukan adalah oknum. Tapi mosok ya dibiarkan seperti penyakit panu?
Oleh sebab itu, para pengelola harusnya segera melakukan sterilisasi terhadap anasir-anisir oknum semacam itu yang meresahkan Jemaah.
Apa-apa kena biaya
Persoalan Masjid Istiqlal tidak sebatas itu. Tingginya biaya sewa yang dikenakan oleh pengelola Istiqlal kepada para pelaku usaha juga jadi sisi kelam tersendiri. Setidaknya ada puluhan UMKM di dalam kawasan yang harus menyetor biaya retribusi bulanan kepada pengelola. Saya pernah berbincang dengan salah satu penjual di situ.
Awalnya karena merasa tidak nyaman dengan harga yang dipatok untuk seporsi makanan, saya memberanikan diri untuk bertanya pada penjualnya. Setelah ditanya, si penjual menjawab memang mematok harga tinggi karena untuk menambal biaya retribusi bulanan yang seringnya bikin profitnya jarang mencapai target. Kondisi seperti ini membuat Masjid Istiqlal dipandang sebagai masjid kapitalis karena semuanya serba diberi tarif. Ini sebuah ironi.
Puncak biang keladi dari semua ironi dari Istiqlal sepertinya memang berasal dari para petinggi yang mengelola Istiqlal itu sendiri. Mereka terkesan abai dan menutup telinga ketika terdapat banyak pengaduan dari jemaah. Contohnya terlihat ketika mereka tidak memberikan pernyataan apa pun terhadap pelarangan massa aksi bela Palestina untuk masuk ke Istiqlal.
Dalam beberapa isu-isu seputar keagamaan, jajaran imam, terutama Imam Besar juga jarang sekali memberikan arahan atau pandangan menenangkan kepada masyarakat melalui media. Tentu ini berbeda ketika zaman Istiqlal dipimpin oleh KH. Ali Mustafa Yaqub. Pernyataan beliau selalu jadi penenang bagi masyarakat yang membutuhkan jawaban atas persoalan dan polemik mengenai agama.
Sebagai sesepuh, harus memberi contoh
Masjid Istiqlal, sebagai simbol keberagaman, tentu harus dikembalikan menjadi sarana ibadah yang humanis. Jangan jadi pragmatis dan abai terhadap kepentingan umat muslim. Segala persoalan multidimensi di dalam Istiqlal jangan hanya direspons normatif, harus direspon secara profesional. Lah wong kalian pengelolanya kecipratan anggaran negara kok.
Masjid Istiqlal itu sudah seperti sesepuh bagi masjid-masjid lain di Indonesia, bahkan di luar negeri sehingga jadi percontohan. Oleh karena itu, sebaiknya segera berbenah, biar nggak jadi bahan gunjingan umat muslim sendiri, atau malah umat agama lain.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mendengar Mereka yang Salat Idul Adha di Masjid Istiqlal