Indosat Cocok Untuk Mahasiswa, Telkomsel Untuk Pekerja: Apakah Benar Anggapan Para Pengguna Provider Ini?

provider telkomsel

provider telkomsel

Seumur hidup, saya baru kali pertama memiliki handphone pada saat kelas 2 SMP, provider pertama saya kala itu adalah Indosat Mentari. Saya yang kala itu masih SMP merasa kesulitan membeli pulsa karena minimal yang harus dibeli adalah 25 ribu. Entah berapa kali harus menabung untuk dapat membeli pulsa seharga minimal 25 ribu itu.

Memang, akar permasalahannya adalah saya yang masih SMP tidak seharusnya memiliki handphone, hanya karena ingin saya jadi minta dibelikan dan tambahan uangnya didapat dari tabungan. Intinya, jika tidak memiliki handphone secara otomatis tidak perlu membeli pulsa yang terbilang mahal untuk anak SMP. Sampai akhirnya XL mengeluarkan provider XL – Jempol yang menyediakan minimum pulsa 5 ribu rupiah.

Walau terbilang murah, tapi kok rasanya pulsa cepat habis. Entah dipakai untuk telepon dan SMS. Apalagi pada masanya pesan singkat beda operator sempat dikenakan tarif 350 rupiah. Sebetulnya memang terbilang murah, namun jika dipakai terus menerus tentu pulsa akan cepat habis. Setelah itu, barulah ada paket pulsa khusus SMS yang terbilang murah serta terjangkau.

Lalu, akhirnya saya berganti provider lagi menjadi Indosat IM3 karena pada masanya banyak teman menggunakan dan memilih provider ini karena katanya sih anak muda banget—yang aktif saya gunakan hingga sekarang. Sudah sekitar 13 tahun saya setia menggunakan provider ini. Selain karena sudah lama, rasanya malas untuk menanyakan dan menyimpan kembali nomor dari beberapa teman—jika harus berganti nomor handphone.

Sampai pada akhirnya, saat saya memasuki awal dunia kerja ada seorang teman berkata “Masih pake IM3 aja kayak anak sekolahan, udah kerja ganti jadi Telkomsel Simpati, dong”. Sebetulnya, wacana dan persepsi seperti itu pun sudah saya dengar sejak kuliah, kata beberapa teman bahkan anak kuliah sudah selayaknya memakai Telkomsel Simpati, sebab lebih elegan dan berbeda kelas—terkesan lebih keren.

Saya tidak pernah peduli dengan perkataan tersebut, bagi saya itu hanyalah sebuah anggapan yang subjektif. Buktinya, sampai dengan saat ini saya masih setia menggunakan IM3 karena selain nyaman juga sesuai dengan selera dan harga. Memang, kekuatan sinyal sangat penting agar lebih mudah dan menjangkau banyak area saat berkomunikasi, tapi rasanya beberapa provider sama saja—memiliki kelebihan dan kekurangan soal sinyal, apalagi harga.

Bagi saya, sinyal IM3 cukup stabil dengan harga paket kuota, SMS, dan telepon yang terbilang murah. Biasanya, dengan harga 30 ribu saya sudah dapat membeli kuota sekian giga byte. Berbeda dengan Simpati, untuk harga yang sama, hanya mendapat beberapa ratus mega byte saja dan belum lagi kuota dibagi lagi jadi untuk streaming, mendengar musik secara online, pembagian kuota 4G-3G, kuota malam, dan lain sebagainya.

IM3 pun sebetulnya memiliki pembagian kuota, ada kuota 4G, lokal, kuota malam, dan lain sebagainya. Namun kembali lagi, IM3 lebih sesuai dengan kebutuhan saya sebagai pekerja yang selalu menginginkan paket hemat dengan segala benefit yang didapat. Toh, pada akhirnya kita akan menggunakan sesuatu berdasarkan kecocokan dan kebutuhan.

Jujur saja, selain IM3 saya sempat mencoba beberapa provider seperti 3, XL, dan akhirnya pun membeli Telkomsel untuk membandingkan harga juga benefit yang didapat. Tri memang terbilang murah untuk internetan, tidak heran banyak dari teman yang berganti memakai provider ini. Kelemahannya, jarang saya menemukan teman yang setia menggunakan provider ini, rata-rata hanya sekali pakai karena memanfaatkan paket kuota yang besar dan setelah habis, ganti lagi menjadi kartu 3 lain.

Untuk XL pun saya hanya menggunakan beberapa saat, hanya beberapa bulan saja. Dan akhirnya saat ini saya menggunakan 2 jenis kartu yaitu IM3 untuk internetan dan Telkomsel Simpati untuk aktivitas telepon karena banyak saudara termasuk orang tua yang menggunakan provider ini.

Saat ini saya menganggap nomor handphone itu semacam identitas, bahkan sudah menjadi personal sekaligus bersifat pribadi. Jika nomor handphone tersebar secara sembarangan, tak jarang ada beberapa oknum yang menyalahgunakan minimal mengganggu tidak jelas—dengan cara menghubungi di waktu yang seringkali tidak tepat.

Berdasarkan hal tersebut, wajar jika seseorang sampai menjaga dan terkesan pelit tidak ingin memberi nomornya ke sembarang orang, hal itu untuk menjaga privasi sendiri.

Dan untuk pemilihan provider, sebetulnya sih kembali pada kecocokan masing-masing dan tergantung baik atau tidaknya kekuatan sinyal sesuai dengan domisili. Soal paket internet yang mahal rasanya kini sudah banyak solusi, salah satunya dengan datang ke cafe yang ada WiFi-nya, hanya memesan minuman lalu internetan seharian. Bukan begitu, para pencari internet gratisan?

Exit mobile version