Kalau ada yang menyebut Indomie sebagai “makanan legendaris Indonesia”, saya ingin tertawa getir. Legendaris dalam arti apa? Dari segi rasa, memang tak bisa dimungkiri bahwa Indomie punya cita rasa yang kuat, bumbunya menggugah selera, dan harganya terjangkau untuk kantong masyarakat kebanyakan. Akan tetapi klaim bahwa mie instan ini adalah simbol kehebatan kuliner nasional justru mengaburkan realita yang sebenarnya.
Popularitas Indomie bukanlah cerita tentang kesuksesan sebuah merek, melainkan cerminan dari kegagalan sistemik yang membuat rakyat bergantung pada makanan murah, instan, dan miskin gizi. Indomie menjadi begitu dekat dengan keseharian bukan karena inovasi rasanya, melainkan karena ia adalah produk dari kondisi ekonomi yang tidak kunjung membaik. Sial.
Indomie, sang legenda yang dibangun dari keterpaksaan
Indomie mulai dianggap legendaris bukan karena keunikannya, melainkan karena ia lahir dan tumbuh dalam bayang-bayang krisis. Pada 1998, ketika nilai rupiah anjlok dan harga kebutuhan melambung tinggi, mie instan menjadi penolong bagi banyak keluarga. Orang tua bercerita bagaimana mereka bertahan dengan Indomie ketika beras tak lagi terjangkau.
Cerita-cerita itu lalu diwariskan, dikenang, dan akhirnya dinormalisasi seolah itu adalah bagian dari perjuangan yang patut dibanggakan. Namun, yang terjadi sebenarnya adalah sebuah tragedi yang berulang. Setiap kali daya beli melemah, Indomie selalu menjadi pilihan pertama. Di banyak negara, mie instan adalah makanan darurat untuk situasi bencana.
Tetapi di Indonesia, ceritanya berbeda. Indomie telah berubah menjadi menu sehari-hari. Mahasiswa mengandalkannya untuk bertahan hidup dengan budget minim. Karyawan yang lembur menjadikannya makan malam yang cepat dan murah.
Kita tidak lagi melihatnya sebagai tanda darurat, tetapi sebagai hal yang normal. Padahal normalisasi konsumsi mie instan harian justru menunjukkan betapa kita telah lama terbiasa hidup dalam keadaan setengah darurat.
Glorifikasi kemiskinan dalam bungkus rasa
Satu lagi yang paling menyedihkan adalah ketika kemiskinan yang dipaksakan ini dijadikan bahan glorifikasi. Iklan-iklan Indomie menampilkan gambar hangat keluarga yang berkumpul, perantau yang rindu kampung halaman, atau sahabat yang berbagi cerita di atas semangkuk mie instan. Narasinya seolah mengatakan bahwa kebahagiaan bisa hadir dari hal-hal sederhana. Media dan budaya pop turut serta memolesnya. Mulai dari meme, konten YouTube, hingga lagu-lagu indie yang menjadikan Indomie sebagai ikon generasi.
Namun di balik semua romantisme itu, yang terjadi sebenarnya adalah pemakluman terhadap kemiskinan. Kita membungkus keterbatasan dengan bumbu rasa ayam bawang atau rendang instan, lalu menyebutnya sebagai kebanggaan nasional.
Budaya mengandalkan Indomie juga melahirkan pola “hemat yang semu”. Banyak orang merasa bangga bisa hidup dengan belasan ribu rupiah per hari berkat mie instan. Mereka mengira telah berhasil mengatur keuangan dengan bijak, padahal yang mereka lakukan adalah menukar kesehatan jangka panjang dengan kepraktisan sesaat.
Cermin kegagalan sistem yang dirayakan
Indomie seharusnya tidak menjadi legenda. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah asli Indonesia, sebuah negara yang masih bergumul dengan kemiskinan, ketimpangan, dan sistem pangan yang rapuh. Kita mungkin tersenyum ketika mengenang kenangan makan Indomie saat masa sulit, tetapi di balik senyum itu ada kepahitan yang tidak bisa disangkal.
Makanan legendaris Indonesia semestinya adalah nasi uduk, soto, rendang, sate, atau gado-gado. Itu adalah hidangan yang lahir dari kekayaan alam dan kreasi budaya, bukan dari lini produksi pabrik.
Kita perlu berhenti membanggakan mie instan sebagai simbol perjuangan, dan mulai mempertanyakan mengapa selama puluhan tahun, rakyat masih harus bergantung pada makanan instan untuk bertahan hidup. Jika benar Indomie adalah legenda, maka legenda itu dibangun dari air mata, keringat, dan rasa lapar yang terus diwariskan.
Ia bukan kebanggaan. Ia adalah pengingat bahwa kita masih punya banyak pekerjaan rumah untuk membangun sistem yang lebih adil dan memastikan bahwa setiap warga negara bisa makan layak tanpa harus bergantung pada sebungkus mie instan. Anatema i kyvernisi!
Penulis: Budi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kasta Mie Goreng Instan Paling Enak, Indomie Bukan di Urutan Pertama!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
