Ich Komme aus Sewon: Memberi Pelajaran Tanpa Bikin Kepala Mendidih

Ich Komme aus Sewon

Ich Komme aus Sewon

Ringan dan Menyenangkan. Dua kata ini cukup mendeskripsikan buku berjudul Ich Komme aus Sewon karya Katharina Stögmüller. Buku ini menceritakan keseharian Katharina Stögmüller alias Mbak Bul berikut dengan keluh kesahnya yang menggelitik. Mulai dari cerita numpang lahir di Vöcklabruk, Austria yang sumpah saya baru tau ada kota namanya Vöcklabruk, kisah mengenai ingon-ingon adiknya, hingga tips menghindar dari pengawasan mata elang pak polisi bangjo Colombo pada suatu hari yang mataharinya sedang glowing-glowingnya.

Ich Komme aus Sewon menceritakan mengenai keseharian Mbak Bul ini menjadikan buku ini tergolong sebagai buku yang ringan sekaligus menyenangkan karena membacanya tidak perlu sampai membikin ubun-ubun pembacanya umop. Tapi, apakah Ich Komme aus Sewon hanya sekadar buku yang isinya cengengesan tok? Wooo ya tentu tidak. Buku ini juga memuat keresahan Mbak Bul mengenai permasalahan nyata yang terjadi di sekitarnya. Salah satunya adalah mengenai keriweuhannya hidup sebagai seorang anak dari hasil perkawinan campuran di Indonesia alias nggak enaknya hidup jadi anak blasteran.

Sebagaimana diketahui, sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, negara kita menganut asas ius sanguinis untuk menentukan kewarganegaraan seseorang. Dengan disahkannya undang-undang a quo bikin undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia sebelumnya tidak berlaku, yakni Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 berikut dengan perubahannya yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976. Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tersebut, akhirnya Indonesia juga mengakui asas ius soli untuk menentukan kewarganegaraan seseorang. Sebuah perjalanan panjang yang sangat disyukuri oleh Mbak Bul sekeluarga sebagaimana dituturkan dalam bukunya.

Memangnya asas ius sanguinis dan ius soli itu apa, sih? Teruntuk kamu yang bertanya-tanya dan masih sering kebolak-balik antara ius sanguinis dengan ius soli, atau bahkan selama ini taunya cuma ius miapah, berikut sedikit penjelasan singkat mengenai perbedaan kedua asas kewarganegaraan tersebut:

Ius sanguinis

Pada undang-undang yang mengatur mengenai kewarganegaraan mula-mula, Indonesia hanya mengenal asas ius sanguinis untuk menentukan kewarganegaraan seseorang. Asas ius sanguinis menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan. Gampangnya, ada kata “sangu” dalam ius sanguinis. Artinya kewarganegaraan orang tua diturunkan kepada anaknya alias anaknya disanguni kewarganegaraan dari orang tuanya.

Ius soli

Berbeda dengan ius sanguinis, ius soli menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tanah kelahirannya. Dalam kata lain, seseorang secara otomatis memperoleh status kewarganegaraan dari negara tempat di mana ia dilahirkan.

Dalam undang-undang yang mengatur mengenai kewarganegaraan terbaru, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006, Indonesia menganut kedua asas kewarganegaraan di atas. Pada kasus Mbak Bul, berlaku ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 sebagaimana juga diceritakan dalam salah satu bab dalam bukunya di mana ia harus bolak-balik Sewon-Menteng mengurus ini itu untuk mendapat status kewarganegaraan Indonesia.

Cerita Mbak Bul tersebut pulalah yang menunjukkan bahwa asas kewarganegaraan ganda yang dianut oleh Indonesia adalah asas kewarganegaraan ganda terbatas. Disebut terbatas karena kewarganegaraan ganda tersebut hanya berlaku kepada anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin. Paling lambat tiga tahun setelah berusia 18 tahun atau setelah kawin, anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.

Sebenarnya masih ada istilah lain dalam menentukan status kewarganegaraan seseorang. Istilah-istilah tersebut antara lain adalah stelsel aktif, stelsel pasif, hak opsi, dan hak repudiasi. Penjelasan mengenai pengertian dan hubungan antaristilah tersebut secara singkat adalah sebagai berikut:

Stelsel aktif dan hak opsi

Yang dimaksud dengan stelsel aktif adalah seseorang harus melakukan suatu tindakan hukum untuk memperoleh suatu kewarganegaraan. Ibarat filosofi “ora obah, ora mamah, ora ubet, ora ngliwet”, seseorang harus aktif alias kudu obah lan ubet untuk melakukan suatu tindakan hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk memperoleh kewarganegaraan. Dalam stelsel aktif ini berlaku hak opsi, yakni hak untuk memilih suatu kewarganegaraan tertentu.

Stelsel pasif dan hak repudiasi

Berkebalikan dengan stelsel aktif, dalam stelsel pasif, seseorang dengan sendirinya akan memperoleh suatu kewarganegaraan tanpa melakukan tindakan hukum apa pun. Nah, dalam stelsel pasif ini berlaku hak repudiasi, yakni hak untuk menolak suatu kewarganegaraan. Pemberlakuan hak repudiasi ini dapat dilihat misalnya, ketika seseorang memperoleh dua kewarganegaraan yang berbeda secara bersamaan karena perbedaan asas kewarganegaraan yang dianut oleh kedua negara tersebut dan orang tersebut menolak tawaran status kewarganegaraan dari salah satu negara tersebut.

Nah, meskipun ringan dan menyenangkan, ternyata ada pelajaran yang bisa diperoleh dari isi cerita dalam Ich Komme aus Sewon ini dan tidak melulu soal cengengesan tok to? Makanya buruan beli!

Bismillah dapat komisi.

Sumber gambar: Akun Twitter Katharina Stögmüller

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version