Hidup di Desa Terlihat Indah Sebelum Kalian Mencium Bau Pupuk Cair dari Tinja Manusia

Hidup di Desa Terlihat Indah Sebelum Kalian Mencium Bau Pupuk Cair dari Tinja Manusia

Hidup di Desa Terlihat Indah Sebelum Kalian Mencium Bau Pupuk Cair dari Tinja Manusia (Pixabay.com)

Setiap kali orang kota berkunjung ke Desa Pringgodani, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, pasti mereka akan berkata, betapa nyamannya hidup di desa. Udaranya bersih, suasananya asri, dan jauh dari kebisingan. Bagi mereka, itu adalah bentuk ketenangan yang hakiki. Sehingga tidak sedikit dari mereka mendambakan hidup di desa.

Ya, pandangan itu tidak salah, meskipun tidak sepenuhnya benar. Mengiyakannya adalah bentuk maklum kami sebagai penduduk desa, karena mereka baru pertama kali berkunjung. Persepsi mereka pasti juga akan pudar kalau mengetahui apa yang terjadi di desa sebenarnya. Bahkan bisa saja mereka merasa enggan untuk kembali, apalagi untuk menetap. Sepertinya tidak mungkin.

Semua itu bukan tanpa alasan. Kehidupan desa yang katanya asri ini bukanlah hal final bagi kami, mengingat kami harus menanggung beban untuk sandang pangan masyarakat di kota. Salah satunya adalah gula, yang tebunya ditanam di sekitar rumah kami. Yang asal kalian tahu, perawatannya tak semanis gula yang kalian konsumsi.

Tebu memang lebih cuan

Alasan warga desa saya menanam tebu karena perawatannya dianggap tak terlalu rumit. Petani hanya cukup intens merawat tebu mereka pasca-musim tebang (panen) saja, yakni membakar daun kering, mencangkul, dan memupuk. Setelahnya hanya sesekali datang untuk membersihkan daun kering. Bagi yang malas, ya tidak datang lagi sampai masa panen tiba.

Tapi, masa panen benar-benar tidak semanis gula, terkhusus buat kami yang bukan petani. Mengingat ladang tebu yang luas dan plus tak mudah memupuk tebu, mayoritas petani lebih memilih pupuk organik cair sebagai upaya menyuburkan tebu mereka. Tinggal semprot-semprot, kelar. Selain efisien, pupuk cair lebih murah dan dianggap ramah lingkungan dibandingkan dengan pupuk urea dan sejenisnya.

Sejak dulu, kami memang sudah terbiasa dengan bau pupuk cair yang menyengat di desa. Bahkan sampai berminggu-minggu. Namun, bau itu kami anggap masih bisa diterima, karena baunya memang sedikit terasa manis, menunjukkan bahwa pupuk itu benar-benar diolah dari ampas tebu.

Kenyataannya hari ini, saya rasanya kok nggak terima kalau pupuk organik cair digadang-gadang sebagai pupuk ramah lingkungan. La wong baunya itu sangat tidak ramah terhadap hidung dan kesehatan, sehingga sangat mengganggu aktivitas kami. Bau busuknya, bukan lagi bau busuk ampas tebu yang diolah jadi pupuk, melainkan bau busuk tinja.

Pupuk cair hari ini baunya berubah-ubah. Hari ini bau tinja manusia, esoknya bau tinja sapi bercampur kencing sapi, besoknya bau anyir bangkai binatang. Sebagai penduduk desa, kami merasa terusik, pernapasan kami terganggu, bahkan sampai pusing, mual, dan batuk pilek berkepanjangan.

Tapi, dari itu semua, yang paling tak bisa saya terima adalah, penyemprotan pupuk dilakukan pada pagi hari. Tepat pada saat kegiatan belajar mengajar dimulai. Kegiatan yang mulanya adem ayem jadi berantakan, konsentrasi anak-anak buyar. Kau berharap anak-anak bisa sekolah dalam keadaan seperti itu? Yang benar saja.

Apakah penderitaan sudah berhenti? Ooo tentu saja tidak.

Hidup di desa, hidup melawan aroma pupuk

Derita pupuk tak berhenti di sekolah. Di rumah pun saya rasakan. Rumah saya kebetulan diapit ladang tebu penduduk desa yang lain. Artinya, tiap hari saya mencium bau tinja dari dua kebun di waktu yang sama. Aroma tinjanya pun kadang menempel di baju.

Bayangkan. Aroma tinja menempel di baju. Rusak sudah kepercayaan dirimu setidaknya 500 tahun ke depan.

Pupuk cair memang efisien dan murah dibandingkan dengan pupuk urea atau pupuk blotong. Ya tapi jangan tinja juga, meskipun tinja memang boleh untuk pupuk. Masalahnya bukan pada boleh nggak bolehnya. Cuma, ini hidung juga butuh udara yang segar untuk dihirup. Coba saja kalian bayangkan, di rumah, di sekolah, di masjid, baunya kayak gitu. Ya mau ngapa-ngapain jelas tidak enak.

Makan dengan lauk seenak ayam goreng Richeese aja, yang kami rasain bukan sedapnya ayam goreng, tapi tinja. Mau memakai pakaian yang dicuci pakai Downy pun, baunya ya tetap tinja. Mungkin kalau sama-sama hidup di desa seperti kami, akan merasa maklum dengan bau yang menguar dari pakaian kami. Lah, kalau kami datang ke majelis, atau nikahan orang di luar desa, atau di gedung misalnya, kan bisa mengganggu tamu yang lain. Dikiranya kami nggak mandi, atau anggapan-anggapan lain yang bisa memicu pertengkaran.

Pakai pupuk lain kek, masak ya tai orang

Coba deh, tahun depan buat inovasi pupuk organik dari limbah yang lain, jangan tinja, apalagi tinja orang. Dari limbah dapur kalian di rumah masing-masing gitu. Itu akan lebih menghemat. Daripada kalian beli tinja dari pengepul dengan harga 1,5 juta per tangki, kan sayang uangnya. Lagian, ngapain juga beli tai?

Ini fakta hidup di desa yang sebenarnya. Bau pupuk, kegelisahan tetangga, dan rasa khawatir ini malah bisa jadi lebih mengerikan ketimbang kerasnya kehidupan kota. Jadi, selama kalian masih muntah dengan bau pupuk, baiknya tinggalkan keinginan hidup di desa.

Penulis: Herwiningsih
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 5 Hal yang Bikin Saya Nggak Betah Tinggal di Desa

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version