Hari Buruh dan Realitas di Morosi: Buruh Lokal DiPHK, TKA Diterima

hari buruh

Hari Buruh dan Realitas di Morosi: Buruh Lokal DiPHK, TKA Diterima

Setiap tahunnya buruh diseluruh dunia memperingati May day yang jatuh setiap tanggal 1 Mei. Di Indonesia juga sama.

Jika kita telisik dari sejarah kelahirannya, May day (Hari buruh) lahir dari sejarah panjang perjuangan kelas pekerja diawal abad 19 untuk menuntut keadilan dari situasi tertekan karena minimnya upah kerja, jam kerja yang menekan, hingga buruknya kondisi di tingkatan pabrik menjadi alasan  munculnya perlawanan dari kelas pekerja.

Awal ditetapkannya 1 Mei sebagai hari buruh adalah saat kongres buruh internasional yang diselenggarakan di Jenewa Swiss pada tahun 1886. Kongres tersebut dihadiri oleh beberapa perwakilan buruh di seluruh dunia. Di sana diputuskan kalau hari buruh sedunia atau May Day 1 Mei ini akan jadi pengingat perjuangan kelas pekerja dalam melawan penindasan yang mereka alami.

Di indonesia sendiri perayaan hari buruh pertama kali dilakukan 1 Mei 1918 di Surabaya. Perayaan hari buruh ini konon disebut sebagai perayaan hari buruh pertama di benua Asia. Yang menarik, saat itu hari buruh bukan hanya dirayakan oleh kelompok komunis, tapi non komunis seperti serikat buruh yang di pimpin Hos Tjokroaminoto bersama muridnya Soekarno yang ada di bawah pengaruh Sarekat Islam.

Perayaan hari buruh di Indonesia sempat dilarang pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto karena dianggap sebagai kegiatan politik yang subversif.

Baru di era Presiden BJ Habibie, konvensi ILO No 81 tentang kebebasan berserikat buruh diratifikasi. Diikuti dengan keluarnya Undang-undang No. 21 Tahun 2000 di masa Presiden Abdurahman Wahid (Gusdur) yang semakin memberikan keleluasaan pekerja untuk membuat gerakan/serikat untuk menyampaikan suara buruh dan melakukan advokasi terhadap hak-hak buruh.

Terakhir, di era Presiden SBY, hari buruh ditetapkan menjadi hari libur nasional di tahun 2014.

Sayangnya sampai sekarang sejarah panjang dari perjuangan kaum buruh dalam menuntut keadilan masih belum menemui titik terang. Perasan keringat yang mereka teteskan masih banyak yang belum sebanding dengan upah yang mereka dapatkan.

Hal ini terjadi di daerah saya. Di Provinsi Sulawesi Tenggara. Di provinsi ini dipusatkan kawasan mega industri yang dicanangkan oleh Pemerintah Pusat sejak berapa tahun lalu, di Kec Morosi Kab Konawe tepatnya.Di sini dibangun smelter pemurnian nickel dan stainless steel terbesar di indonesia timur dengan nilai investasi triliunan rupiah. PT. Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT. Obsidian Stainless Steel (OSS) adalah dua perusahaan asal China yang akan menggarap proyek ini.

Dengan jumlah investasi sebesar itu tentunya harapan kami sebagai warga lokal proyek ini dapat menyerap tenaga kerja dan membantu berkurangnya angka pengangguran di daerah. Sayangnya, dua pabrik ini malah banyak mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA). Hal ini membuat banyak konflik terjadi antara pekerja lokal dan TKA.

Bukan bermaksud rasis atau apa, tapi kedatangan para TKA China di Morosi jadi masalah karena mereka melakukan banyak hal yang dinilai bertentangan dengan norma dan aturan masyarakat yang ada.

Contohnya, belum lama ini PT. VDNI dan PT. OSS malah mendatangkan 49 TKA di Kendari ketika jelas-jelas WNA China tidak seharusnya berpergian di tengah pandemi. Hal ini tentu saja sempat membuat kehobohan hingga Kapolda Sulawesi Utara sampai melakukan misinformasi.

Kabarnya Pemerintah Pusat juga akan mendatangkan 500 TKA asal China ke Sulawesi Tenggara. Hal ini diketahui dari surat rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) yang diajukan pada 1 April 2020 oleh dua perusahaan, yakni PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) yang telah disetujui oleh Kementrian tenaga kerja.

Ini jelas mencurigakan karena Kemenaker sendiri yang Februari 2020 lalu menyampaikan kalau pekerja China tidak diizinkan masuk dan kerja di Indonesia. Apa ini artinya pemerintah tidak punya kuasa untuk menolak permintaan perusahaan?

Jangan-jangan bagi perusahaan itu, keberadaan investasi mereka di Morosi bikin mereka jadi raja yang bisa melakukan apa saja. Jadinya mereka merasa sah-sah saja untuk menabrak aturan selama investasi terus jalan.

Bagi saya ini sangat menyakitkan. Ketika banyak perusahaan mengumumkan bahwa mereka akan merumahkan sejumlah tenaga kerja lokal karena pandemi, perusahaan besar di Morosi ini malah ingin mendatangkan TKA asal negaranya.

Ini kita baru membicarakan perusahaan di satu daerah saja lho. Tapi pemerintah seolah tidak berdaya dan mau-maunya menuruti keinginan pemilik perusahaan itu.

Bagaimana kaum buruh tak asing di Negeri sendiri jika Pemerintah lebih mementingkan investasi asing jalan terus ketimbang memperhatikan nasib kaum buruh yang di PHK dimasa pandemi ini.

Mungkin ada benarnya jika pekerja aseng/asing lebih berharga di negeri ini ketimbang pemerintah memikirkan ribuan nasib buruh (lokal) yang mengalami PHK.

BACA JUGA Kalau Negara Gagal Nyediain Lapangan Kerja, Masak Buruh yang Bayar? atau tulisan Jaswanto Jahuddin lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version