Mi ayam, apa pun jenisnya, adalah makanan paling nikmat yang sering dikonsumsi orang Indonesia. Mau mi ayam dari Wonogiri, dari Aceh, dari Solo, dari Malang, asalkan menunya mi, pasti menyenangkan. Biasanya, pedagang mi ayam juga banyak berseliweran di mana-mana. Ada yang menetap di satu tempat, ada juga yang berkeliling dengan gerobak.
Mi yang beraneka ragam, kuah yang beraneka jenis, sambal yang maknyus, dan saus yang pedas sudah nggak perlu kita perdebatkan lagi. Apa pun cara makan kalian, mau sambal saja atau pakai saus dan kecap, nggak masalah. Belum lagi tambahan pelengkap seperti pangsit atau bakso di atas mi, hmmm… tentu menambah kenikmatan makan. Makan mi dipadukan dengan minum es teh atau es jeruk juga bikin lidah tambah bergoyang.
Gimana? Sudah ngiler?
Namun, saking nikmatnya mencicipi mi ayam, orang kadang lupa bahwa ada dua hal paling menyebalkan yang sebenarnya sering dirasakan saat makan. Dua hal ini jaraaaang sekali kita sadari. Jelas, kalau sudah berhadapan dengan semangkuk mi ayam plus topping pangsit, ceker, atau bakso, siapa lagi yang ingat kalau ada hal menjengkelkan di baliknya?
Pertama, tukang mi ayam nggak memberikan piring kecil untuk tulang belulang ayam. Alhasil setelah kulit dan daging kita makan habis dan menyisakan tulang belulang, kita harus melepeh tulang ke dalam mangkuk lagi. Apalagi kalau pakai topping ceker atau kepala ayam. Pas mau seruput kuahnya, eh tulang belulangnya ikut nyantol. Apes. Hayooo, siapa yang sering merasakan hal sama?
Mungkin tukang mi ayam nggak menyediakan piring kecil tambahan karena konsep ekonomis dan minimalis. Mereka biasanya hanya menyediakan fasilitas tisu, itu pun kalau kita makannya di warung permanen. Kalau nggak ada tisu, mau nggak mau melepeh tulang belulang sisa topping tadi ya di luar, atau kalau lupa masukkan kembali ke dalam mangkuk.
Urutan makan mi ayam biasanya seperti ini: seruput dulu kuahnya yang belum dicampur apa-apa, baru tambah saus atau sambal, aduk semua hingga rata, mulai makan mi, sambil makan mi kita turut menyantap ceker atau kepala ayam sebagai pelengkap. Nah, saat itulah hal menjengkelkan terjadi, minya masih ada, tulang belulangnya bingung mau dibuang ke mana. Dan seperti yang saya bilang, tulang belulang itu kita masukkan lagi ke dalam mangkuk, lalu makan lagi.
Semoga saja pedagang yang membaca ini bisa mengerti poin tentang perlunya tambahan mangkuk kecil untuk membuang tulang ayam. Sebagai fasilitas tambahan gitu lho, Kang!
Kedua, kecipratan sambal atau saus yang kita campurkan ke dalam mi. Biasanya poin menjengkelkan satu ini murni kesalahan kita sendiri, sih. Keasyikan nyeruput mi atau keasyikan mengaduk mi dengan saus dan sambal, eh sampai nyiprat. Hehehe.
Mungkin bagi sebagian orang, kecipratan kuah atau saus sambal ini adalah sensasi makan mi ayam. Namun, bagi sebagian lainnya, ini adalah hal menyebalkan. Apalagi kalau pakaian yang dipakai berwarna cerah. Sudah meninggalkan noda di pakaian, belepotan ke mana-mana, harus berhenti makan sejenak juga demi membersihkan cipratan kuah yang bercampur dengan saus dan sambal.
Yah, meskipun dua hal di atas menjengkelkan, mi ayam tetap jadi primadona. Harganya yang murah meriah dan rasanya yang maknyus, memang nggak ada lawan, deh.
Sumber Gambar: Pixabay