Sebagai seseorang yang pernah tinggal belasan tahun di Jogja dan tumbuh besar di Semarang, saya menyaksikan sederet perbedaan antara dua daerah ini. Meski kedua kota tersebut bertetangga dan sama-sama mengusung budaya Jawa, nyatanya ada perbedaan mendasar yang membuat saya terheran-heran. Tentu, tidak ada yang salah dengan perbedaan itu. Hanya saja, saya kudu pandai menyesuaikan diri manakala berinteraksi dengan warga dari masing-masing kota tersebut.
Sependek yang saya amati selama berdomisili serta bolak-balik di dua kota tadi, setidaknya ada tiga perbedaan yang paling mencolok. Bagi saya pribadi, hal ini cukup menarik. Sebab, kedua kota tempat saya pernah bertumbuh dan belajar tersebut berhasil mengajari saya secara langsung tentang arti peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.
Nongkrong di atas motor atau di tepi jembatan
Saat berkeliling Jogja, tidak jarang saya menemui sejumlah muda-mudi yang menghabiskan sore hari di pinggir jalan. Titik kumpul favorit mereka biasanya adalah sepanjang jembatan. Terkadang, motor yang mereka bawa dialihfungsikan seakan menggantikan bangku taman.
Hal semacam itu sulit dijumpai di Semarang. Dulu, bercengkrama di motor memang biasa dilakukan remaja Semarang di seputar kawasan Gombel yang remang-remang. Agak mengherankan juga pemilihan lokasinya. Di Simpang Lima, lokasi yang lebih terbuka dan nyaman dijadikan kopi darat karena ada banyak baku begitu sepi. Malah lokasi yang remang-remang seperti Gombel begitu ramai muda-mudi. Itu mengapa, aktivitas bercengkrama di atas motor punya label negatif di mata masyarakat Semarang, dianggap kurang pantas hingga detik ini.
Baca halaman selanjutnya: Toleransi tinggi …