Guru honorer yang belum memiliki sertifikasi seakan dipaksa untuk terus menelan getirnya pengabdian. Hal ini lantaran kebijakan pemerintah yang hanya fokus pada peningkatan gaji bagi guru ASN dan non-ASN dengan sertifikasi. Perlu digarisbawahi, harus sudah memiliki sertifikasi. Jika tidak memilikinya dapat dipastikan tidak ada jaminan dan upah layak sesuai dengan beban kerja yang dilakukan.
Kebijakan timpang tersebut ironisnya dilontarkan dalam pidato Presiden Prabowo Subianto saat peringatan Hari Guru Nasional tanggal 25 November 2024. Tentu hal ini memantik kecemburuan khususnya bagi para guru yang belum kebagian memeroleh sertifikasi. Gimana mau kebagian, ketersediaan kuota sertifikasi oleh pemerintah masih cenderung sangat minim. Belum lagi himpitan yang datang karena terkendala biaya atau karena aturan yang ketat dari pihak sekolah, yang pada akhirnya memaksa mereka harus lapang dada menerima kenyataan pahit untuk tidak mendapatkan sertifikasi.
Daftar Isi
Guru dan jaminan hidup layak
Posisi seorang guru semestinya jadi prioritas untuk diberikan kehidupan yang layak. Tak ada pengecualian bahkan bagi guru honorer yang tidak bersertifikasi. Karena mereka adalah aktor utama yang membentuk kualitas pendidikan. Tanpa adanya jaminan hidup yang layak jangan berharap kualitas pendidikan akan meningkat.
Sebab, bagaimana bisa seorang guru yang merupakan manusia biasa dapat memberikan yang terbaik jika mereka sendiri terhambat oleh kekhawatiran ekonomi, ketidakpastian pekerjaan, dan beban kerja yang tidak proporsional? Stres yang timbul akibat masalah-masalah ini tentu saja akan mengurangi kualitas mereka, sebab mereka harus membagi waktu dan energi untuk hal-hal di luar jam mengajar. Hingga pada akhirnya akan berpengaruh pada hasil belajar siswa yang tidak maksimal.
Beban yang dipikul guru honorer tak sebanding dengan upah yang diterima
Salah satu beban terberat bagi guru honorer adalah ketidakpastian upah yang layak. Gaji yang diterima sering kali sangat rendah dan tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Hasil survei yang dilakukan oleh lembaga Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menunjukan sebanyak 74,3% responden guru honorer atau kontrak memiliki penghasilan di bawah Rp2 juta per bulan. Dari kelompok tersebut, 20,5% di antaranya masih digaji dibawah Rp500 ribu per bulan. Kelewat miris upah yang diterima guru honorer sangat jauh di bawah standar upah minimum regional (UMR).
Padahal beban kerja guru honorer sering kali tak jauh berbeda dibandingkan dengan guru dengan status ASN. Bahkan guru honorer dapat mengajar lebih dari satu mata pelajaran atau bahkan mengajar di beberapa sekolah sekaligus. Dengan jam mengajar yang bisa mencapai 20-30 jam per minggu, mereka juga dituntut untuk mempersiapkan materi ajar, menilai tugas, dan mengevaluasi kemampuan siswa. Bayangkan betapa nelangsanya jadi guru honorer, sudah dapat upah tak layak tapi tetap harus menanggung beban seabrek.
Pemerintah wajib mensejahterakan guru tanpa memandang kasta
Amanat konstitusi adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan hanya tanggung jawab guru, tetapi juga tanggung jawab pemerintah untuk menciptakan sistem pendidikan yang mendukung kesejahteraan semua tenaga pengajar. Oleh sebab itu, pemerintah wajib memberikan perhatian serius terhadap kesejahteraan guru, tanpa melihat kasta mereka dari status ASN, non-ASN, atau honorer.
Penting untuk dipahami, bahwa guru baik yang berstatus ASN, Non-ASN maupun honorer, memiliki peran yang sama penting dalam dunia pendidikan. Semua guru, tanpa memandang perbedaan kastanya, memiliki mimpi dan tujuan yang sama: mencerdaskan kehidupan bangsa dan mempersiapkan generasi yang siap menghadapi masa depan.
Oleh karena itu, kesejahteraan guru seharusnya tidak dibedakan berdasarkan status kepegawaian. Apalagi hanya berpatokan dari kepemilikan sertifikasi. Memangnya selama ini sistem pendidikan di lembaga perguruan tinggi yang mencetak para guru belum cukup? Lantas, apa gunanya belajar di pendidikan tinggi dengan kompetensi yang memadai untuk menjadi guru, jika pada akhirnya masih dipaksa untuk mendapatkan pengakuan secara administratif belaka.
Apabila hal ini terus dilanjutkan tanpa solusi yang adil, impian untuk menciptakan pendidikan berkualitas di Indonesia hanya akan menjadi utopia yang sulit diwujudkan. Serta memaksa guru honorer untuk terus menelan sakit hati akibat kebijakan yang tak berpihak kepadanya adalah sebuah kebiadaban.
Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Rizky Prasetya