Fotografer Wisuda: Pemalakan Berdalih Profesi yang Diloloskan Panitia Acara

Fotografer Wisuda Pemalakan Berdalih Profesi yang Diloloskan Panitia Acara (Pixabay)

Fotografer Wisuda Pemalakan Berdalih Profesi yang Diloloskan Panitia Acara (Pixabay)

Fotografer wisuda ada saja yang meresahkan. Mereka mencegat peserta wisuda, nggak memperkenalkan diri sebagai penyedia jasa fotografi, hingga membuat korban mengira dirinya bagian dari panitia acara. Sungguh meresahkan.

Acara penuh khidmat itu berjalan lancar. Namun, tangis salah seorang lulusan mahasiswi tak tertahankan selepas acara. Bukan tangis haru melainkan tangis sebenar-benarnya tangis akibat merasa dijebak oleh penipuan berdalih fotografer wisuda.

Acara itu digelar oleh salah satu fakultas di Universitas Islam Negeri (UIN) Surakarta awal maret lalu. Iya, oleh fakultas, karena memang bukan wisuda yang sesungguhnya. Acara yang itu sudah dijadwalkan oleh rektorat untuk diadakan 10 hari selepas pelepasan wisudawan fakultas ini.

Mencegat mahasiswa yang hendak masuk ke gedung acara

Salah seorang mahasiswi yang nggak mau disebut namanya hadir dengan satu wali. Saat melangkah ke dalam gedung, tiba-tiba seseorang menegur. Dia menawarkan jasa jepretan foto. Mungkin dia mengira bahwa fotografer wisuda memang seperti ini.

Kata-katanya lugas dan menarik, membuat mahasiswi dan walinya itu mengiyakan. Dalam benak sang mahasiswi, sepertinya fotografer ini bagian dari rangkaian acara. Dia kira, hasil fotonya nanti bakal dijadikan album buku perpisahan sebagaimana di masa sekolah.

Nggak memperkenalkan diri

Ciri-ciri oknum fotografer wisuda ini adalah seorang bapak-bapak dan sudah standby sejak lama. Mahasiswi yang menjadi korban tadi datang cukup awal. Suasana sepi itu, tampaknya dimanfaatkan oleh pelaku untuk memperdaya mahasiswi dan walinya.

Alih-alih memperkenalkan diri sebagai jasa fotografi, dirinya malah berucap, “Mbak, Bu, foto dulu di sini.” Nggak ada satu kata yang menjelaskan bahwa dirinya adalah seorang penyedia jasa fotografer wisuda, apalagi membicarakan tarif percetakan foto. Nggak ada sama sekali.

Bahkan, bertanya kepada korban mengenai berapa jepretan yang dibutuhkan pun nggak dilakukan. Jepretan demi jepretan itu dilakukan semau-maunya sendiri. Korban yang masih merasa bahwa fotografer wisuda ini bagian dari acara.

Menagih saat mahasiswa keluar

Prosesi demi prosesi telah sukses dilaksanakan. Acara pelepasan itu ditutup dengan improvisasi panitia yang epik. Yakni, menyanyikan lagu Dewa 19 berjudul “Kangen” dengan suasana lampu mati dan ayunan nyala senter ponsel peserta acara bak konser-konser di malam hari. Epik, tapi sepertinya nggak perlu diadakan di acara semi resmi. Saya katakan “semi” karena memang bukan acara wisuda yang sesungguhnya.

Selepas acara ditutup, para tamu undangan keluar dari gedung yang terletak di salah satu hotel di Sukoharjo itu. Termasuk mahasiswa yang saya sebut di awal bersama dengan walinya. Namun, baru selangkah dari pintu keluar, oknum fotografer wisuda tadi langsung menyodorkan cetakan foto sebanyak empat lembar.

Setelah mengingat-ingat, mahasiswi itu menyadari bahwa paras bapak-bapak itu adalah fotografer yang menemuinya di depan tadi. Sontak sebuah pikiran melayang ke kepalanya, “Loh, ini kan bapak tadi, ada apa?”

Tiba-tiba meminta bayaran

Oknum fotografer wisuda ini meminta bayaran sebesar Rp20 ribu untuk satu lembar foto. Jadi, total yang harus dibayar adalah Rp80 ribu. Si mahasiswi itu langsung curiga bahwa dirinya telah dijebak oleh fotografer nakal.

Mahasiswi itu mana tahu bahwa fotografer ini bukanlah bagian dari rangkaian acara. Sepatah kata pun nggak diucapkan bahwa fotonya nanti akan dicetak dan ditarik harga per lembarnya. Kalaupun di awal dia bilang maksud dan tujuannya mencegat, sudah pasti ditolak jasanya. Wong, kondisinya lagi bokek.

Untuk seorang mahasiswi yang sudah habis banyak untuk wisuda, tentu malas mengeluarkan biaya lagi. Undangan untuk acara nggak penting itu saja sudah Rp300 ribu. Belum persyaratan yang lain.

Mahasiswi beserta walinya itu jadi merasa dipalak dan nggak bisa menahan tangis hingga sampai rumah. Sang wali, sebenarnya sudah menolak dengan berbagai macam alasan. Namun, mahasiswi itu takut jika foto yang sudah terlanjur dicetak itu disalahgunakan oleh oknum fotografer wisuda itu. 

Akhirnya, mahasiswi dan walinya itu mengorek-ngorek tasnya untuk mengumpulkan Rp80 ribu. Mahasiswi itu pulang tanpa sepeserpun uang di kantong, dompet, maupun tasnya. Tangis pun nggak bisa dicegah. 

Panitia pelaksana yang lalai

Kejadian seperti ini seharusnya diawasi fakultas yang bertanggung jawab. Paling nggak, ada satu sie dalam kepanitiaan yang bertugas mengatur dan mengawasi para penyedia jasa yang berseliweran.

Seharusnya dibuat aturan agar para penyedia jasa itu mengatakan yang sebenar-benarnya. Tata cara menghampiri peserta wisuda seperti kalimat yang wajib ada saat menyapa wisudawan, mempresentasikan jasa, hingga tarif jasa yang dipatok untuk cetakan foto perlembarnya harus ada. Semua itu harus diatur agar nggak terkesan mahasiswa yang datang dijebak dengan anggapan bahwa oknum fotografer wisuda itu bagian dari rangkaian acara.

Biaya undangan sebesar Rp300 ribu itu terlalu besar untuk acara yang hanya begitu saja. Apalagi tanpa perlindungan peserta terhadap oknum fotografer wisuda. Bahkan, acara wisuda yang sesungguhnya yang diadakan oleh rektorat nggak ditarik sepeserpun biaya. Ada sih, jaminan peminjaman toga sebesar Rp150 ribu, namun nanti kalau toganya dikembalikan, uangnya pun turut dikembalikan.

Penulis: Muhammad Arif Prayoga

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 4 Perbedaan Wisuda di Jepang dan Indonesia

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version