Film The Social Dilemma sedang ramai dibicarakan. Terlepas ia direkomendasikan oleh banyak influencer dan seleb, film ini memang bagus dari segi pemilihan dan pembawaan materi.
Materi di film yang sedang tenar ini sangat melawan arus, yakni mengkritik penggunaan smartphone pada masyarakat, terutama penggunaan smartphone oleh anak muda. Meskipun unsur-unsur smartphone membutuhkan sentuhan teknologi, film ini bisa menyampaikannya dengan baik dan mudah dicerna.
Film The Social Dilemma disuguhkan dengan animasi dan analogi yang pas. Animasi digunakan untuk menjadikan imajinasi kecanduan smartphone menjadi lebih mudah dipahami dan analogi digunakan untuk mendeskripsikan fungsi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dengan lebih simpel.
Argumen di film The Social Dilemma juga bisa dibilang sangat kuat. Mereka yang berbicara kebanyakan pernah bekerja di kantor pengembang aplikasi yang membuat candu para pengguna smartphone.
Dengan adanya animasi, analogi, dan pembawa argumen yang kredibel, film ini sukses untuk menakut-nakuti pengguna smartphone. Yang jadi masalah adalah apakah film ini bertanggung jawab kepada penonton yang sudah mereka takuti?
Nyatanya tidak, film The Social Dilemma bisa saya bilang hanya jadi momok seram yang menakuti para penonton. Alhasil, mereka yang ketakutan pun, siapa tahu, bisa menjadi trauma.
Pasalnya, film ini memang hanya memaparkan masalah-masalah yang sedang dialami oleh pengguna smartphone alias tidak ada solusi sama sekali yang diberikan. Beberapa “hikmah” memang disampaikan di akhir film, namun solusi-solusi tersebut hanya diucapkan, tidak dikaji penuh layaknya masalah-masalah yang diberikan sebelumnya.
Saya juga tidak yakin solusi-solusi tersebut dapat diingat oleh penonton The Social Dilemma. Gimana mau diingat, toh solusinya di akhir, ya keburu ketakutan duluan penontonnya. Kalau kata guru saya di tingkat SMA hal seperti itu cuma masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri.
Saya adalah orang yang sangat menunggu solusi-solusi dari permasalahan yang telah disampaikan. Sumpah saya nunggu banget, eh ternyata nihil. Akhirnya, saya malah mengembangkan solusi-solusi ini sendiri, itu pun berakhir dengan asumsi.
Banyak banget teman saya yang saya ajak diskusi soal kekosongan solusi di film ini, namun responsnya hanya begini, “Ya intinya smartphone tuh bikin nagih, makanya jangan pakai smartphone lagi.”
Menghilangkan penggunaan smartphone sangat tidak mungkin. Terlepas dari unsur nagihnya, smartphone berguna untuk memberi kabar ke teman bahwa besok ada janji, merencanakan liburan, bahkan sampai jadi pengingat untuk diri sendiri.
Seakan-akan solusi untuk menghilangkan kecanduan terhadap smartphone hanyalah solusi tunggal, mutlak, dan tidak dapat diganggu gugat. Begitu pula diskusi tentang permasalahan kecanduan smartphone, sepi, bagaikan kuburan di malam hari.
Sepertinya ada dua alasan mengapa diskusi tentang solusi dari permasalahan film ini diabaikan. Pertama, bisa jadi mereka sudah ketakutan duluan atau kedua, sudah termakan oleh solusi tunggal untuk tidak pakai smartphone lagi.
Efek penonton yang ketakutan bisa dibilang berdampak positif bagi dirinya, yaitu jadi menjauhkan diri dari smartphone yang jahat itu. Namun, kalau menjadikan mereka sebagai orang yang enggan diskusi, intoleran, dan merasa sok pintar, ya bahaya juga.
Solusi terbaik atas permasalahan yang ada di film ini, menurut saya, adalah dengan menghidupkan VPN ketika kalian mengeklik hal-hal yang direkomendasikan oleh aplikasi.
Solusi ini saya ketahui bukan dari film tersebut, melainkan dari YouTuber bernama Eno Bening di kanal YouTube Pandji Pragiwaksono. Memang sih video yang ada di kanal Pandji hanya bermodalkan screen recording dari suatu platform meeting online. Namun, isi dari omongan Eno Bening sungguh luar biasa, solutif pula.
Kalau suatu saat Eno Bening bertemu dengan Bu Tejo, pasti Bu Tejo tidak akan mengumpat Eno Bening tidak solutif, saya yakin. Jika ada dari kalian yang sangat ketakutan dengan permasalahan di film The Social Dilemma, nih coba dengerin omongan Eno Bening di video ini.
BACA JUGA Lu Bu dan Red Hare Adalah Sebenar-benarnya Mimpi Buruk Masa Kecil dan artikel Muhammad Fikri Arrahman lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.