Film ‘The Devil All the Time’, Agama dan Pergumulan Setan di Tubuh Manusia

Film 'The Devil All the Time', Agama dan Pergumulan Setan di Tubuh Manusia terminal mojok.co

Film 'The Devil All the Time', Agama dan Pergumulan Setan di Tubuh Manusia terminal mojok.co

Bagi para penggemar Avengers, tentu tidak asing lagi dengan adegan berkelahi Bucky Barnes melawan Spiderman dalam film Captain America: Civil War (2016). Seolah tidak puas dengan perkelahian yang hanya mengandalkan kekuatan super atau tidak sampai bunuh-bunuhan dan berdarah-darah, pemeran Bucky Barnes (Sebastian Stan) dan Spiderman (Tom Holland) bertemu kembali dalam film garapan Netflix berjudul The Devil All the Time (2020) dengan karakter yang jauh berbeda dan membuat salah satu dari jagoan ini harus “mendongak ke langit luas”.

Tidak seperti judulnya, film ini bukanlah film horor tentang setan yang biasanya dibumbui nada-nada jumpscare menyebalkan dan konfliknya terpecahkan melalui pesan-pesan dogmatis. Justru film ini hadir membawa narasi tentang bagaimana “hasrat setan” terbentuk di dalam tubuh manusia dan yang menarik, “hasutan setan” ini justru disebabkan oleh fanatisme terhadap agama yang berlebihan.

Manusia yang “kesetanan” ini bermula dari seorang veteran Perang Pasifik, Willard (Bill Skarsgård) yang ketika berdoa bersama anaknya, merasa terganggu dengan beberapa orang yang baru pulang dari berburu. Orang-orang tersebut dirasa Willard mengganggu kekhusyukan dirinya berdoa. Untuk memberi pelajaran agar anaknya berani melawan orang-orang yang berusaha mengganggu kehidupan pribadi, Willard tidak segan-segan melakukan kekerasan terhadap orang-orang tersebut di depan mata anaknya sendiri dengan dalih “Banyak bajingan jahat di luar sana”.

Pelajaran kekerasan dalam The Devil All the Time ini seolah-olah dibalas oleh Tuhan dengan memberikan penyakit kanker kepada istrinya. Merasa berdosa, Willard terus menerus berdoa meminta penyakit istrinya sembuh, sampai-sampai ia membunuh anjing peliharaan kesayangan anaknya dengan dalih “penebusan untuk menukar dengan kesembuhan istrinya”. Seolah-olah Willard mencoba menafsir kisah Nabi Ibrahim tentang pengorbanan. Namun, sayangnya Tuhan lagi-lagi tidak menjawab, istrinya meninggal, dan sehari setelah pemakaman, Willard memutuskan untuk bunuh diri dan menyalib anjingnya. Anaknya, Arvin (Ketika besar diperankan oleh Tom Holland) ditinggal sendiri di rumah dan dari kejadian ini ia bertemu pertama kali dengan Sherif Lee yang diperankan Sebastian Stan. Di kemudian hari, mereka dipertemukan lagi oleh dendam Sherif Lee terhadap Arvin karena sudah membunuh adiknya.

Film garapan Antonio Campos ini memang menarik dari segi pengembangan karakter, di mana pengenalan karakter dibuat terpisah dari cerita lalu dipertemukan lagi di akhir film dengan motif yang berbeda-beda bersama alur flashback. Babak demi babak The Devil All the Time selalu berakhir dengan kematian yang mengerikan dan digambarkan dengan “mendongak ke langit luas”.

Namun, yang pasti, . Tentu kita tidak asing dengan kelakar, “Eh jangan marah-marah sama orang asing, siapa tahu orang asing itu orang tfilm The Devil All the Time seolah-olah menyadarkan bahwa bisa saja setiap orang yang ditemui dengan sengaja atau tidak sengaja adalah orang yang akan menentukan hidup kitaua atau saudara jodoh kamu.”

Film ini mencoba untuk membawa pesan itu dan lari ke persekutuanmu. Hal tersebut bisa dilihat pada adegan pertama ketika Willard bertemu dengan calon istrinya di sebuah kafe, dan pada adegan itu pula Carl Henderson bertemu dengan Sandy yang kelak dibunuh oleh anak dari Willard, yaitu Arvin.

Kejutan lain dihadirkan melalui tokoh pendeta, setidaknya ada dua pendeta “gila”. Pendeta pertama bernama Roy Lafferty yang beranggapan bahwa dengan membuat seseorang atau dirinya terluka, semakin bisa memperkuat iman terhadap Tuhan. Anggapan ini membuat dirinya memutuskan untuk membunuh istrinya sendiri dan setelah itu berdoa kepada Tuhan untuk membangkitkannya lagi.

Pendeta kedua diperankan oleh Robert Pattinson yang menggunakan profesi dan dalih agama untuk bisa bersetubuh dengan perempuan yang ia inginkan. Lenora adalah salah satu korban yang diperkosa oleh pendeta itu. Ketika Lenora hamil, ia dibujuk pendeta untuk melakukan bunuh diri agar anak haram dari hasil persetubuhan dengan pendeta yang dihasilkannya tidak membawa petaka dan dosa. Oleh karena Lenora bisa dibilang begitu alim, lugu, dan terbutakan oleh dalil agama dari sang pendeta, ia pun menuruti apa yang diinginkan pendeta itu.

Lenora sendiri adalah anak dari Roy Lafferty dan adik tiri dari Arvin. Dengan dendam kesumat seperti apa yang telah Willard ajarkan kepadanya bahwa “banyak bajingan jahat di luar sana”, Arvin pun membunuh pendeta itu dengan pistol. Sekilas memang pendeta ini bisa jadi cerminan beberapa pemuka agama yang mesum, kita tentu tahu film Spotlight (2010) yang mencoba mengungkap kekerasan seksual di Vatikan, atau novel Orang-Orang Oetimu karya Felix yang mencoba mengungkap juga tentang kekerasan seksual di gereja-gereja Nusa Tenggara Timur.

Masih dalam ranah agama, film ini memberi pesan bahwa gangguan psikologis atau trauma tidak bisa langsung dipecahkan dengan dogma. Justru dogma-dogma akan menghasilkan trauma baru yang mengerikan seperti yang terjadi pada tokoh-tokoh dalam film The Devil All the Time. Kita juga tentu sering mendengar bahwa orang-orang yang mentalnya dianggap sakit adalah orang-orang yang jauh dari agama, padahal belum tentu demikian. Bisa saja sebaliknya. Film ini mencoba membuat kita memikirkan ulang tentang konsep keagamaan yang ada di masyarakat tanpa secara langsung menggurui.

Hal tersebut disematkan dalam dialog-dialog The Devil All the Time tentang keagamaan yang selalu berakhir nahas. Semisal ketika seseorang dengan fetish gila mencari korban untuk diperkosa, difoto, lalu dibunuh dengan memotong penis korban, menanyakan terlebih dahulu, “Apakah kamu seorang yang religius?” sebelum pasangan tersebut beraksi hanya untuk memuaskan fantasi seksualnya. Ketika ada dialog, “Kita bisa merasakan Tuhan di sini bukan?” akan terjadi sebuah peristiwa yang berakhir tragis dan memilukan. Entah maksudnya apa, tapi yang jelas film ini memiliki pretensi untuk mengajak penonton agar berpikir terbuka tentang apa yang telah kita anggap baik belum tentu baik.

Meskipun agama mengajarkan hal-hal yang baik, tidak selamanya orang-orang yang menjalankannya juga baik. Sebab tujuan seseorang beragama pun kadang tidak bisa dilihat dari seberapa sering mereka ke tempat beribadah. The Devil All the Time secara berani mencoba untuk mengupas hal tersebut. Kendati demikian, kalau dipikir-pikir, sepertinya film ini kurang cocok untuk orang yang pernah mengalami trauma psikologis, karena memang film ini sedepresif dan semuram itu.

BACA JUGA Kalimat ‘Siap, Bang Jago!’ dan Tanda bahwa Kita Sukar Menerima Kritik dan tulisan Ananda Bintang lainnya. 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version