Film ‘Soul’ Adalah Manual Book dari Fase Pascaremaja

Film 'Soul' Adalah Manual Book dari Fase Pascaremaja Terminal Mojok

Pernahkah kalian menonton atau membaca satu buku dan berpikir setelahnya, “Kayaknya ini menceritakan diri saya, deh.” Memang, itu ada teorinya. Bagaimana membuat premis dan cerita yang punya relasi didukung oleh karakter yang seakan-akan representasi kelompok atau individu tertentu. Tapi lebih jauh dari itu, saya cuma ingin bilang persetan dengan teori. Menonton film Soul ibarat melihat diri sendiri.

Sejauh ini, film Disney Pixar memang jarang tidak berhasil bikin saya menangis. Setidaknya bikin saya mikir dan feeling empty. Mulai dari seri Toy Story yang jadi favorit saya dan mungkin semua orang, atau bahkan yang cukup baru Coco, yang masih sempat saya saksikan di bioskop. Sedih, tidak pernah seberjamaah itu.

Hal yang sangat disayangkan dengan Soul yang hanya bisa disaksikan di layar HP, laptop, atau paling banter di layar televisi. Syukur-syukur kalau punya proyektor untuk nonton bareng. Saya benar-benar rindu nonton film ke bioskop.

Saya tidak akan banyak bicara struktur ceritanya. Saya cuma mau membahas bagaimana film Soul membuat pertanyaan dan menjawab pertanyaan yang merefleksikan diri saya. Sehingga, seperti judul dan kalimat pembuka tulisan ini, saya seperti melihat diri saya dalam film ini.

Percaya passion

Dulu waktu awal saya mulai senang bercerita dan membuat blog, cita-cita besar saya adalah menjadi penulis terkenal. Syukur jika bisa menerbitkan buku. Seiring berjalannya waktu, usia membuat saya jauh lebih mawas diri. Tentu ini bukan bentuk menyerah. Saya tidak menyerah. Cita-cita itu masih ada, bedanya saya tidak se-ngoyo dulu.

Saya pernah cerita tentang seorang teman yang bertanya kenapa saya tidak menjadikan menulis sebagai tempat saya berbisnis. Itu istilah dia yang sedang nyemplung di dunia bisnis. Padahal bisa saya sederhanakan sebagai: kenapa tidak menjadikan profesi penulis sebagai tempat cari uang?

Jawaban saya saat itu, bahkan sampai sekarang, adalah saya belum bisa memetakan urusan kesenian dan bisnis. Menurut saya, menulis itu kesenian. Hobi yang saya senangi. Bisnis jauh lebih serius dari itu dan melibatkan hal duniawi bernama uang. Ada banyak hal yang saya korbankan, dan tidak worth it bagi saya jika harus memperjuangkan hal itu.

Lebih baik menjadikan menulis sebagai hobi saja dan mencari uang dari hal yang lain, ketimbang mesti mengikuti hal yang tidak saya sukai untuk hal yang saya senangi. Saya sebenarnya tidak bisa menulis atas desakan di luar diri saya. Kadang, saya berpikir untuk apa menyia-nyiakan waktu untuk menulis hal-hal ini.

Namun, kadang-kadang saya masih bisa menemukan kesenangan kecil dari sana. Blog saya misalnya, adalah tempat saya bereksperimen. Dulu, saya kebanyakan menulis diari atau jurnal (sekarang pun masih sebenarnya), sekarang saya lebih senang menulis hal-hal lain. Ketika orang menyebut itu esai, saya bertanya di dalam hati, “Oh, itu esai, ya?”

Film Soul mengangkat isu ini dalam tokoh Joe Gardner, seorang guru les musik yang senang dengan jazz. Joe boleh dibilang sangat passionate dengan musik jazz. Namun karena beberapa faktor, ia malah meninggalkan hal yang ia cintai.

Hal internal dalam diri Joe merasa ragu bahwa jazz bisa membuatnya hidup. Makanya, di sela-sela menjadi guru les musik sebagai pekerjaannya, ia masih punya impian menjadi musisi jazz. Kecintaan ini datang dari masa kecil bersama ayahnya, ketika memainkan musik, Joe merasa sangat bahagia dan seperti menciptakan dunia sendiri.

Hal eksternalnya datang dari desakan ibu dan orang-orang terdekatnya yang merasa bahwa jazz sendiri tidak bisa membuat Joe hidup. Hal ini pula yang membuat Joe semakin ragu apakah ia mesti meninggalkan kecintaannya pada musik dan fokus pada kehidupannya. Menjadi guru les musik adalah pekerjaan yang selama ini masih membuatnya hidup.

Joe digambarkan memilih hidup dalam apartemennya sendiri ketimbang tinggal bersama Ibunya. Padahal, Joe belum mempunyai pasangan atau bahkan calon. Ini bisa mengindikasikan bahwa selayaknya orang-orang yang memasuki fase ingin mandiri, Joe memilih hidup sendiri dengan dalih apa yang ia senangi bisa menghidupinya.

Saya melihat diri saya di sana. Masuk ke jurusan Sastra Indonesia karena merasa hal yang saya sukai adalah bercerita. Kebetulan Sastra Indonesia adalah yang paling dekat dan masuk akal. Sempat membuat ibu saya kecewa karena pilihan saya, hingga tidak ingin sekalipun membebani blio terkait biaya sampingan seperti buku pendamping yang mesti saya beli.

Makanya, saya bukan tidak percaya dengan passion. Tai kucing lah dengan passion kalau misalnya saya masih belum bisa bikin dapur ngebul. Tai kucing lah dengan passion kalau keluarga dan orang terdekat saya masih kelaparan. Beberapa orang dibekali dengan privilese yang bisa mengejar hal itu tanpa perlu merasa takut. Kebetulan, saya bukan orang yang punya privilese itu.

Mengejar ego

Dalam film Soul, transisi dari perkenalan menuju konflik adalah ketika Joe terjatuh ke dalam sebuah lubang dan memasuki realitas alam bawah sadar. Istilah dalam film, Joe sedang di ambang kematian. Namun Joe tentu saja menolak keras takdir kematiannya, apalagi ia terjatuh ketika hendak pulang bersiap-siap menjalani hal yang sudah lama ia nantikan: menjadi musisi jazz.

Perjalanan panjang akhirnya membawa Joe kembali ke realitas kehidupan. Ia sampai ke club jazz milik Dorothea dan berhasil membuat ia percaya bahwa ia dilahirkan untuk bermain musik. Dengan alasan yang begitu kuat, Dorothea mengizinkan Joe untuk menjadi pianis dalam pentas klub malamnya.

Ketika tampil, Joe sangat menikmati penampilannya. Ia masih menjadi orang yang sama ketika dulu memainkan musik jazz. Bahkan, ia makin bersemangat ketika ibunya datang untuk memberi dukungan dan menikmati apa yang dicita-citakan Joe selama ini tercapai. Namun setelah penampilan itu, Joe merasa ada yang salah. Ia merasa kosong dan seakan-akan impiannya berada di ujung antiklimaks.

Joe kemudian bertanya kepada Dorothea, “Berikutnya apa?”

“Kita kembali besok malam dan tampil lagi,” kata Dorothea.

Joe terdiam. Dorothea bertanya, “Kenapa, Pak Guru?”

“Aku sudah menunggu hari ini dari seumur hidupku,” kata Joe.

Dorothea masih menunggu Joe berbicara.

“Aku pikir akan berbeda.”

Itu adalah adegan yang paling membekas untuk saya. Saya ingat tahun 2018, saat cerpen pertama saya dimuat di koran lokal. Impian saya untuk membuat buku saya perkecil menjadi hal-hal yang saya pikir bisa saya raih. Meski tidak terlalu ingin menerbitkan cerpen itu, saat dapat kabar cerpen itu akan naik saya juga ikut bahagia. Itu pengalaman pertama saya untuk bisa menerbitkan cerita pendek di media cetak.

Setelah itu, sama seperti Joe, setelah sekian lama menunggu, saya pikir akan berbeda. Ternyata sama saja. Saya masih ada di bumi, bangun pagi, dan minum kopi. Masih jadi mahasiswa yang dapat uang jajan dari orang tua. Tidak membuat hidup saya berubah. Toh, sama saja.

Dorothea memberi anekdot tentang ikan kecil yang bertanya kepada ikan tua bahwa ia ingin mencari apa yang orang sebut dengan lautan. Ikan tua mengatakan bahwa tempat ikan kecil berada adalah lautan. Ikan kecil menjawab ini adalah air. Ikan kecil tetap bersikukuh, “Aku ingin lautan.”

Sumber Gambar: YouTube What’s On Disney Plus

BACA JUGA Review Film ‘Soul’, Film Komedi Berat yang Begitu-begitu Saja.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version