Kalian pasti merasa situasi ekonomi saat ini itu terasa sulit. Itu bisa dilihat dari penciptaan lapangan kerja terbatas, kemiskinan meningkat, kesenjangan ekonomi makin dalam, daya beli menurun, dan banyak lagi fenomena di masyarakat yang menandakan bahwa ekonomi di dalam negeri itu sedang tidak baik-baik saja. Belum lagi ditambah kebijakan pemerintah yang plin-plan dan nggak jelas menambah luka bagi perekonomian. Pasalnya investor jadi enggan menanamkan modal di Indonesia. Lha, regulasinya saja nggak pakem.
Akan tetapi, anehnya, meski terasa sulit dan serba susah, masih banyak orang yang nonton konser dengan harga tiket selangit? Masih banyak pula orang-orang plesir dan skincare masih jadi produk yang laris manis. Bahkan, setiap ada smartphone keluaran terbaru, tetap aja tuh banyak yang beli. Iphone 16 misalnya, meski harganya mahal, orang-orang tetap berbondong-bondong pre-order. Kondisi ini membuat para buzzer bilang bahwa Indonesia sebenarnya baik-baik saja. Menteri Dalam Negeri sendiri sampai mengeluarkan statement, bukti daya beli tidak turun itu ya dilihat bahwa kenyataannya ibu-ibu masih suka pergi ke salon.
Daftar Isi
Mengenal fenomena ekonomi Lipstick Effect: Terlihat cantik, tapi sebenarnya tidak
Menyimpulkan ekonomi baik-baik saja nggak sesederhana kata Mendagri. Kondisi ekonomi nggak bisa dilihat sekadar dari sebuah perilaku konsumtif atas komoditas tertentu. Ada fenomena yang disebut dengan Lipstick Effect. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Leonard Lauder, mantan CEO Estée Lauder, yang mengamati peningkatan penjualan lipstik selama masa resesi ekonomi pada tahun 2001 di Amerika.
Sederhananya, fenomena ini menunjukan perilaku masyarakat yang tetap doyan belanja atau mengeluarkan uang demi barang atau aktivitas yang sifatnya tersier atau komplementer meski dalam kondisi ekonomi yang nggak baik-baik saja. Lalu apa sebenarnya motif yang mendasari perilaku ini? Umumnya adalah demi meraih kesenangan atau kepuasan diri untuk menghilangkan rasa khawatir di tengah sulitnya ekonomi.
Ilustrasinya, orang rela cuma makan nasi rames kasih kerupuk sehari sekali, asalkan uang mereka bisa dialokasikan untuk membeli barang-barang yang sebenarnya, kalau mereka gak beli pun mereka gak mati. Tapi karena ekonomi saat ini itu sulit, bikin stress, bahkan depresi, orang jadi mikir bahwa kesenangan dan kepuasan mereka nggak bisa hanya terpenuhi dengan makan tiga kali sehari atau kebutuhan primer lainnya saja. Mereka butuh komoditas lain, yang bisa memenuhi keinginan mereka.
Makin gawat di tengah tren media sosial
Mulanya, fenomena ini memperlihatkan perilaku orang-orang yang membeli barang-barang tersier yang hanya berharga murah. Dalam konteks krisis Amerika yang dibeli adalah produk kecantikan seperti lipstik atau bedak. Namun, seiring berjalannya waktu, Lipstick Effect bergeser ke perilaku konsumsi barang-barang tersier yang harganya relatif mahal. Hal itu karena tingkat kepuasaan dan objek kesenangan masyarakat pun makin berubah. Levelnya beralih ke barang atau aktivitas yang menguras pengeluaran lebih besar.
Terlebih penggunaan media sosial yang masif, membuat syndrome comparison (suka membanding-bandingkan) makin akut di tengah masyarakat. Akhirnya memunculkan fenomena FoMo (Fear Out Missing Out) yang kesannya membuat seseorang merasa nggak afdol kalau tidak ikut nyobain atau belanja barang yang lagi ramai dibicarakan. Hal paling umum yang mudah sekali kita jumpai adalah FoMo ke tempat-tempat wisata.
Paling ekstrim dan ramai hingga sekarang yang bisa juga dikaitkan dengan Lipstick Effect ini adalah fenomena judi online (judol). Maraknya orang terjun ke judol ini tentu karena adanya ekspektasi kesenangan dan kepuasaan yang diperoleh ketika mereka menang judol. Sebelum kesenangan atau kepuasannya tercapai, mereka terus-terusan judol. Meski akhirnya, kesenangan itu jadi semu.
Fenomena Lipstick Effect yang berbahaya
Dalam sudut pandang yang lebih luas, Lipstick Effect sebenarnya berbahaya bagi sebuah negara. Pertama, membuat perilaku konsumsi masyarakat bergeser ke arah yang tidak produktif. Masyarakat mengeluarkan uang berdasarkan pada dorongan emosional alih-alih dorongan kebutuhan. Instrumen seperti investasi, kesehatan, pendidikan, bisa tidak terpenuhi. Kalau terjadi terus menerus, akibatnya bisa stagnasi di sektor ekonomi. Iya, ekonomi Indonesia bisa berjalan di tempat. Tahun depan paling pertumbuhan ekonomi cuma 5 persen lagi. Gitu aja terus.
Kedua, menimbulkan ilusi ekonomi karena sebuah negara jadi terkesan baik-baik saja. Contohnya, kondisi yang disimpulkan baik-baik saja karena melihat masyarakatnya ramai dan “berkerumun” untuk membeli sesuatu, entah itu barang atau jasa. Namanya juga kerumunan, tentu terlihat sangat mencolok sehingga menutupi fakta kesengsaraan atau kesulitan dari masyarakat lain yang sebenarnya nggak ikut-ikutan.
Saya kasih ilustrasi. Pada 2024, pembelian iPhone di Indonesia itu mencapai 2,3 juta unit. Jika dibandingkan dengan total penduduk Indonesia yang mencapai 277 juta jiwa, angka tersebut hanya sekitar 0,83 persen. Sangat kecil. Sayangnya, fenomena Lipstick Effect membuat banyak orang terkecoh karena terlalu fokus pada kerumunan 2,3 juta pembeli tersebut. Akibatnya, muncul penafsiran keliru bahwa kondisi ekonomi baik-baik saja. Padahal masih ada 200-an juta penduduk lain yang masih bingung besok mau makan apa. Ini yang disebut ilusi ekonomi.
Lebih jauh lagi, Lipstick Effect ini berpotensi membuat pemerintah bisa salah dalam mengeksekusi kebijakan. Pasalnya mereka bisa jadi terjebak dalam asumsi bahwa daya beli masyarakat masih kuat. Padahal konsumsi barang kebutuhan utama masih tetap atau bahkan justru menurun.
Tetap boleh bersenang-senang kok asal lebih bijak
Ini bukan berarti kesenangan tidak boleh ada sama sekali ya. Pengeluaran untuk hiburan atau barang tersier tetap bisa dilakukan kok asal dilakukan dengan bijak. Pastikan kebutuhan primer sudah terpenuhi, serta dana investasi, dana darurat, dan proteksi kesehatan tetap menjadi prioritas utama. Dengan begitu, kita tidak hanya menjaga keseimbangan finansial pribadi, tetapi juga berkontribusi pada pola konsumsi yang lebih sehat bagi ekonomi secara keseluruhan.
Nah, itulah penjelasan sederhana tentang Lipstick Effect dan dampaknya ketika dinormalisasi serta dibiarkan berlarut-larut. Fenomena ini membuat ekonomi sebuah negara tampak cantik dan stabil di permukaan. Padahal di balik itu, ada masalah struktural yang akut dan tidak terselesaikan.
Itu mengapa penting untuk lebih bijak dalam memahami pola konsumsi di sekitar kita. Jika melihat ada yang gemar membeli skincare mahal, sering gonta-ganti HP, atau boros belanja di marketplace, jangan langsung berkesimpulan bahwa semua baik-baik saja. Tanyakan, mereka makannya berapa kali sehari? Atau punya tagihan pinjol atau enggak? Siapa tahu, di balik gaya hidup konsumtif mereka, ada kondisi finansial yang sebenarnya sedang tidak sehat.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 7 Siasat Kelas Menengah agar Bisa Bertahan di 2025
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.