Dua pulau di Indonesia, Pulau Bali dan Pulau Lombok terpilih masuk 10 pulau terbaik Asia. Indonesia memang dianugerahi bentang alam yang sangat indah dan keramahan masyarakatnya. Namun, ada pekerjaan rumah yang dihadapi kita bersama, yaitu mental masyarakatnya masih buruk dalam merawat anugerah keindahan alam yang tersedia itu.
Bagaimana tidak saya menyimpulkan hal itu? Ada berita terbaru dari Lombok, segerombolan anak muda malah dugem di lokasi perkemahan Savana Propok, Kabupaten Lombok Timur. Akibat ulah mereka, Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) menutup lokasi tersebut.
Selain dianggap tidak etis, mereka juga melanggar protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Bayangkan, di savana yang luas pada malam hari yang sunyi, anak-anak muda itu memutar musik dengan suara keras, memainkan cahaya dari senter, dan berkerumun sambil berjoget bak berada di diskotik.
Anak-anak muda di Lombok yang melakukan aktivitas seperti dugem di alam terbuka itu, semacam mempertegas bahwa mental masyarakat kita memanglah buruk. Mereka tidak bodoh, mereka manusia-manusia pintar kok. Buktinya tahu cara memutar musik dengan suara keras, tahu cara memakai senter di malam hari agar berkelap kelip seperti lampu diskotik, dan tahu cara memasang tenda yang baik. Otak mereka sepertinya masih berada di dalam tempurung kepalanya. Hanya saja, kepekaannya terhadap lingkungan sekitar yang masih belum dipahami.
Bagaimana bisa di alam terbuka mereka bikin kegaduhan dan bertingkah seakan sedang dugem. Anu, mereka tentu saja punya hak untuk dugem atau apapun namanya itu, asal di tempat yang tepat. Ini kok malah dilakukan di alam pada malam hari, dan situasi pandemi Covid-19 belum berakhir. Saya juga tidak yakin kalau semua sampah yang mereka hasilkan dibawa semuanya kembali.
Saya tak habis pikir. Setahu saya orang datang ke wisata alam untuk menepi dari hiruk pikuk perkotaan, menikmati sunyinya alam di bentangan savana pada malam hari agar beban masalah bisa rontok. Lah, segerombolan orang itu malah mendengarkan musik dengan suara keras, berteriak-teriak, dan memainkan lampu senter.
Apa bedanya dengan suasana di perkotaan, bukan? Kalau seperti itu, mereka hanya pindah tidur saja dari kamar mereka ke alam terbuka. Kemudian mengusik sunyinya alam untuk memuaskan ego mereka. Ego mereka untuk memosting foto terbaru di tempat wisata yang sedang hits. Seakan-akan mereka berani tampil beda dengan bergaya ala dugem di alam terbuka. Video viral mereka itu pun, saya yakin awalnya direkam untuk gaya-gayaan belaka.
Tentu saja tingkah segerombolan orang yang dugem di savana itu hanya kisah kecil dari buruknya mental masyarakat kita berkaitan dengan alam. Sudah banyak cerita tentang pendaki gunung yang meninggalkan sampah di gunung saat mendaki, padahal banyak dari mereka melabeli diri sebagai pencinta alam. Atau bagaimana sampah di pantai dan laut yang begitu banyaknya mengotori perairan tersebut.
Contoh-contoh itu bakal semakin panjang kalau menjabarkan tingkah laku masyarakat sehari-hari. Seperti membuang sampah di kali, membuang sampah sembarangan, dan perilaku buruk lainnya yang sudah kita tahu bersama.
Dalam survei di awal, disebutkan Pulau Bali berhasil masuk ke peringkat 6 dengan skor 88,14 dan Pulau Lombok di posisi 10 dengan skor 80,00. Dalam survei itu, seperti yang saya kutip dari berita di detik.com itu, para pembaca diminta untuk menjelaskan aktivitas, pemandangan, atraksi alam, pantai, makanan, keramahtamahan serta evaluasi keseluruhan saat mereka berlibur ke pulau di Asia. Sebagai orang yang tinggal di Lombok, saya merasa bangga atas keberhasilan itu. Namun juga merasa miris, bahwa mental masyarakat kita masih kurang baik dalam menjaga anugerah itu.
Banyak hal yang mesti dibenahi, tugas berat ada di pemerintah dan kesadaran masing-masing. Lah, yang membuang sampah sembarangan bukan hanya dari orang berpendidikan rendah kok. Mata kepala saya sendiri melihat botol minuman atau bungkus snack meluncur keluar dari jendela mobil mahal. Ini membuktikan mental kita memang buruk dalam menjaga alam, dalam menjaga keberlanjutan kehidupan di pulau yang dianggap terbaik ini.
Hampir di semua destinasi wisata di Indonesia yang tidak memiliki pengawasan ketat, hampir pasti akan dijumpai sampah yang berserakan. Belum lagi kalau berbicara vandalisme, coret-coretan di bangku, kursi, bahkan di pepohonan langka lumrah kita jumpai.
Ini tidak hanya terjadi di Pulau Lombok saja, hampir di semua daerah. Baru-baru ini juga tengah viral foto dan deskripsi tentang pendatang yang meninggalkan sampah di Fatukopa, daerah Timor Tengah Selatan (TTS), NTT. Kemudian anak-anak asli daerah itu jadi semacam “tukang pungut” sampah yang berserakan dari para pengunjung.
Lantas akan menjadi apa selanjutnya label salah satu pulau terbaik di Asia atau label lainnya yang memuji keindahaan alam Indonesia? Apakah hanya sebatas puji-pujian untuk menarik wisatawan, agar perputaran uang bisa terus berjalan? Sementara ketersediaan sarana kebersihan tidak memadai, edukasi kepada masyarakat tentang pariwisata berkelanjutan yang lemah, dan sikap abai masyarakat pada kelestarian alam terus berlanjut.
Jika tidak dibenahi dan masyarakat enggan belajar untuk peduli pada lingkungan alam, maka cerita dugem atau hal-hal negatif lainnya yang dilakukan saat beraktivitas di alam bisa saja akan terjadi lagi di masa depan.
BACA JUGA Derita Jadi Cowok Kurus: Pakai Fashion Apa pun Tetep Aja Nggak Keren! dan tulisan Atanasius Rony Fernandez lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.