Divock Origi, Bukti Sepak Bola Punya Tempat Spesial untuk Keberuntungan

divock origi

Gol yang dicetak Divock Origi di ujung laga melawan Wolverhampton bisa bermakna macam-macam. Bagi fans Chelsea itu adalah tanda bahwa mereka harus merelakan puncak klasemen minggu ini. Bagi fans United itu berarti list bully-an minggu ini berkurang satu. Bagi fans Arsenal bisa jadi gol itu tidak penting sama sekali. Sementara bagi saya, dan mungkin fans Liverpool lain di luar sana, bisa dimaknai dari sebuah gelas kaca yang dibanting menjadi berkeping-keping.

Ketika Divock Origi masuk menggantikan Jordan Henderson, semua juga mengerti, Liverpool tengah menghadapi kebuntuan akut. Klopp tidak memasukkan Minamino untuk memberinya jam bermain seperti biasanya. Sebab, ia tahu bahwa football without Origi is nothing.

Sang Pria Belgia punya tempat spesial di hati banyak orang. Golnya ke gawang Barcelona dua tahun silam tidak mungkin bisa lenyap dari ingatan begitu saja. Ia sedang membelakangi Arnold yang didapuk sebagai penendang penjuru kala itu. Tentang bagaimana bisa terlintas di kepalanya untuk memberi kode mata kepada Arnold atau bagaimana bek Barcelona tidak menyadari keberadaannya sama sekali, itu adalah ranah Tuhan, sebab hanya diri-Nyalah yang tahu. Dan, sisanya adalah sejarah.

Selain momen itu, pada 2018, dia menjadi satu-satunya pemain Liverpool yang masih yang berlari mengejar bola yang jatuh ke mistar di atas kepala Pickford. Setelah mengalahkan Barcelona, ia menyegel gelar Liga Champions keenam Liverpool melalui golnya ke gawang Hugo Lloris. Belum lama ini, dia bisa berdiri tanpa pengawalan sama sekali di depan gawang Norwich untuk kemudian mencetak gol dengan tendangan kalajengking. Maka dari itu, tidak tepat mempertanyakan “berapa” kepada Divock Origi. Pertanyaan tentangnya adalah soal “bagaimana”.

Saya memiliki cara tersendiri untuk mendefisinikan Origi. Jika Diogo Jota dan Roberto Firmino adalah “the right man, for the right time, for the right place“, Origi adalah “the perfect man, for the perfect time, for the perfect place.” Menjadi “right” atau “tepat” itu mudah. Tapi tidak demikian dengan menjadi “sempurna”.

Mari kita menghitung terlebih dahulu. Sepak bola adalah permainan 90 menit. Jika satu menit adalah 60 detik, maka permainan sepak bola berlangsung selama 5400 detik. Dari detak jam analog sebanyak itu, berapa detaknya yang “sempurna”? Butuh waktu delapan detik sejak bola disepak melambung oleh Van Dijk hingga Origi menceploskannya ke dalam gawang Jose Sa. Artinya, di laga melawan Wolves, peluang munculnya detik “sempurna” itu hanya satu banding enam ratus tujuh puluh lima atau 0,148 persen.

Luas lapangan Molineux adalah 100 x 64 meter persegi. Jika posisi Van Dijk dibulatkan ke tengah lapangan, berapa persentase yang jadi ruang “sempurna” dari luas separuh lapangan? Hanya satu meter persegi dari 3200 meter persegi. Dan tidak ada yang tahu dimana tepatnya satu meter persegi itu berada.

Origi memang tidak memberikan konsistensi yang dibutuhkan Liverpool ketika menghadapi musim yang panjang. Ia tidak seperti Salah yang berlari 90 menit penuh. Juga bukan Diogo Jota yang piawai membuka celah untuk rekan-rekannya. Kemampuan spesial Origi adalah perpaduan antara misteri dan keajaiban. Origi adalah soal bagaimana dia selalu berada di posisi dan waktu yang sempurna.

Liverpool mengalahkan Wolves dengan gol tunggal di pengujung laga. Teman saya yang seorang fans Chelsea protes, katanya Liverpool hanya beruntung. “Ya, memang benar.” kata saya sambil tertawa puas. Sebab, Origi lah yang bikin keberuntungan itu datang.

Sumber Gambar: Instagram @divockorigi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version