Masuk akhir Agustus 2020, isu dinasti politik makin panas. Kedekatan tokoh menjadi narasi utama. Paling baru, Rahayu Saraswati, keponakan Prabowo Subianto akan maju di Pilkada Tangsel. Saras mengawali karier politiknya melalui organisasi sayap Gerindra (TUNAS) dan menjabat sebagai kepala bidang pengembangan.
Sebagai mantan artis dan presenter, kehadiran Saras mendapat sambutan baik dari masyarakat Tangsel. Saras dianggap sosok muda yang cocok untuk memimpin Tangsel. Kritikan karena kedekatannya dengan Prabowo pun cuma sayup-sayup saja. Berbeda dengan Gibran di Solo dan Kustini Sri Purnomo di Sleman.
Setelah nama Gibran seperti menjadi “inisiator” naiknya lagi isu ini, kini ada Kustini Sri Purnomo, yang namanya ikut terseret setelah mendapatkan “restu” dari PDIP untuk maju di Pilkada Sleman 2020. Kustini akan didampingi Danang Mahersa, kader PDIP.
Kustini Sri Purnomo, seperti kita tahu, adalah istri dari Bupati Sleman saat ini, Sri Purnomo. Majunya Kustini dianggap sebagai sebuah upaya untuk “mencengkeram” Kabupaten Sleman, digenggam sangat kuat dalam kekuatan dinasti Purnomo. Bahkan masih Agustus 2020, ketika Pilkada belum digelar, sudah ada tuduhan kalau Kustini kelak akan dilanjutkan oleh anaknya, yang kini menjadi anggota DPRD Sleman, Raudi Akmal.
Hal kedua yang kita tahu adalah isu dinasti politik bukan barang lama. Sudah ada sejak berdekade yang lalu. Toh kalau mau jujur, hampir semua wilayah di Indonesia ini dipimpin oleh sosok yang masih punya pertalian hubungan dengan pendahulunya. Dari Klaten sampai Bontang. Dari Banten sampai Banyuwangi.
Masih banyaknya kepala daerah yang terkait dengan pejabat lama atau elite politik lokal, menunjukkan sebagian masyarakat masih lebih cenderung memilih berdasarkan ketokohan dan keturunan seorang kandidat.
Pemilih masih belum melihat pentingnya nilai moral, kompetensi, dan kapasitas dari seorang calon tanpa harus mengusung embel-embel nama besar di belakangnya. Meritokrasi agaknya masih belum menjadi pegangan bagi mayoritas pemilih. Apalagi, partai politik yang menjadi kendaraan bagi kebanyakan kandidat, juga ditengarai masih banyak yang belum menerapkan pola kaderisasi dengan baik.
Apalagi ketika calon pendahulu tidak neko-neko, bersih kasus hukum, dan kerjanya nyata. Masyarakat cenderung tidak ambil pusing. Sosok yang akan menjawab dianggap pasti akan melanjutkan “semua kebaikan itu”. Ini FAKTA. Kamu bisa melacaknya di tengah panasnya perdebatan Pilkada Sleman.
Banyak warga Sleman yang merasa isu dinasti politik bukan isu yang terlalu urgent. Warga Sleman lebih mementingkan isu ketahanan pangan dan keamanan, di mana di masa Sri Purnomo, terhitung cukup baik. Bahkan indeks kebahagiaan Sleman cukup tinggi. Hal-hal positif itu membuat isu dinasti menjadi mentah.
Yang menjadi narasi utama para penolak Kustini Sri Purnomo, kebanyakan berdasarkan asumsi. Sebuah “perkiraan”, usaha meraba-raba dalam gelap, berkaca dari daerah lain yang di dalamnya terjadi praktik dinasti politik. Ketika dihadapkan kepada sanggahan “belum tentu” dan “jangan curiga”, narasi mereka menjadi mentah.
Apa lagi alasannya kalau bukan: “Karena belum terbukti. Apalagi saat ini, demokrasi sangat terbuka, memberi warga banyak alternatif ketika kelak calon melanggar konstitusi.” Agumen seperti itu, menurut saya, sangat kuat. Cukup sulit untuk menabrakkan Kustini Sri Purnomo dengan tokoh-tokoh di daerah lain yang dinasti politiknya membawa dampak buruk untuk nama baik sebuah wilayah yang dipimpin.
Ingatan-ingatan itu, di mata saya, seperti “ingatan yang terbeli” saja. Ingatan yang tidak berdasar kepada argumen yang kuat. Ingatan yang hadir hanya karena kecurigaan dan perbandingan dengan daerah lain. Hati-hati kalau menyusun argumen. Bisa saja, Kustini Sri Purnomo malah bisa bekerja lebih baik ketimbang suaminya. Bagi warga Sleman, yang seperti itu sudah cukup memuaskan.
Saya bukan pendukung dinasti politik. Namun, argumen kontra yang hadir untuk Kustini Sri Purnomo sangat lemah. Ingat ya, argumen yang disusun untuk menjatuhkan Kustini Sri Purnomo harus menyerang dirinya, bukan argumen-argumen yang malah disasarkan kepada Sri Purnomo. Mengapa? Ya saat ini, Kustini Sri Purnomo bukan penentu kebijakan, kan. Sesederhana itu.
Ingatan yang terbeli juga menjadi kritik saya untuk netizen Indonesia. Warga Indonesia tercinta yang ingatannya sangat pendek. Mengapa isu-isu seperti ini selalu seksi 5 tahun sekali? Kalau misalnya dampak dinasti politik terjadi setiap hari, kenapa kencangnya suara kontrak hanya sayup-sayup 5 tahun sekali?
Karena ketika pemilihan umum selesai, orang-orang kembali ke kehidupan masing-masing. Bergelut dengan segala kesulitan hidup. Ingatan protes hilang begitu saja. Tertinggal di forum-forum kecil di tengah kedai kopi. Menjadi agenda pergerakan 5 tahun ke depan ketika pemilihan umum kembali digelar.
Tidak banyak orang yang mau dan bisa konsisten memperjuangkan isu ini. Bahkan, maafkan saya kalau menjadi curiga. Narasi-narasi ini hidup karena dimodali oleh calon lawan dari Kustini Sri Purnomo. Zaman sekarang, tidak ada yang gratis selain bernapas.
Pula, sangat sedikit dari kita yang setia dengan perjuangan. Ideologi mudah terbeli. Bersembunyi dari balik topeng akun palsu. Berteriak sangat lantang tanpa berani unjuk muka.
BACA JUGA Makan Gorengan Kustini Sambil Nyeplus Lombok Rawit atau tulisan lainnya dari Muhammad Pribadi Fuad.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.