Dilema yang Sering Dihadapi Lulusan Luar Negeri

Dilema yang Sering Dihadapi Lulusan Luar Negeri terminal mojok

Lulus dari universitas luar negeri dengan ijazah dan gelar Master atau PhD yang katanya keren itu ternyata tak semembahagiakan yang dipikir orang-orang, lho. Saat kembali ke tanah air tercinta, para lulusan luar negeri ini harus belajar lagi untuk survive di negeri sendiri. Ada proses adaptasi, bertahan, dan bersabar yang harus mereka jalani.

Perjalanan hidup selama bertahun-tahun di tanah rantau memang sedikit membuat para lulusan luar negeri ini terlena akan keindahan negeri tetangga. Mereka mungkin sedikit lupa tentang negerinya sendiri yang “masih gini-gini aja” atau justru di luar ekspektasi karena “saking majunya” di beberapa aspek kehidupannya.

Reserve culture shock

Kalau ada culture shock (gegar budaya), ada juga reverse culture shock (gegar budaya balik). Gegar budaya balik adalah sebuah fenomena yang dialami oleh orang yang pernah tinggal sementara di suatu daerah asing dan kembali lagi ke lingkungan asalnya. Meski nggak dari luar negeri pun, hal ini tetap dialami para perantau yang mudik ke daerah asalnya. Sama seperti kita beradaptasi saat pertama kali tiba di tanah rantau, saat balik ke tempat asal pun kita harus beradaptasi kembali. Sesimpel itu sebenarnya.

Hanya saja, tentu tak semudah yang diucapkan.

Langkah pertama yang harus dilakukan saat pulang dari studi di luar negeri adalah menarik napas dan mengembuskannya dengan sangat perlahan tanpa berekspektasi berlebihan tentang masa depan. Eh, sebegitunya? Nggak juga, sih. Intinya, anggap saja memulai lagi semuanya dari nol, maksud saya.

Seampuh apa pun persiapan mental dan fisik kembali ke tanah air, tetap saja ekspektasi tiap orang itu berbeda. Meski sudah menyiapkan hati dan pikiran untuk “jangan terlalu berharap lebih”, tetap saja akan selalu ada hal yang cukup bikin syok, kok. Sekecil apa pun itu. Masalah fisik misalnya, bisa jadi kalau pulang merantau dari negara maju dan bersih makanannya, begitu makan kembali masakan di Indonesia malah diare sampai opname di rumah sakit. Soal lain, ya anggap saja syok-syok kecil yang akan membuat hidup lebih berwarna.

Keluhan tentang pekerjaan dan cuan

Memang beda sih kalau para lulusan luar negeri yang hanya “cuti bekerja karena kuliah” dan lulusan yang lepas dari tempat kerjanya (anggap saja lulusan ronin). Ronin adalah sebutan samurai tak bertuan sehingga tak punya tempat untuk mengabdi. Lulusan ronin ini beneran harus dari nol setelah kembali dari studinya di luar negeri.

Yang harus dilakukan selanjutnya adalah menyetarakan ijazah luar negeri. Ini agak wow sih prosesnya karena untuk universitas dan jurusan yang baru harus menjalani pengurusan dokumen bla bla yang cukup ribet. Kalau lancar sih, ya dapat gelar Master dan PhD-nya. Setelah mendapat ijazah yang disetarakan, barulah bisa bersaing dengan lulusan-lulusan master dan doktor dalam negeri lainnya untuk mencari pekerjaan. Syukur-syukur dapat kenalan, link, koneksi, orang dalam, dan bla-bla-bla lainnya sehingga akan sedikit lebih mudah untuk mendapat pekerjaan. Ingat, tak semua lulusan master atau PhD luar negeri harus selalu menjadi dosen, lho.

Maka, masalah selanjutnya adalah soal cuan. Kadang lulusan luar negeri merasa gaji yang diterimanya sedikit. Iya, mungkin memang sedikit kalau dibandingkan dengan uang beasiswa yang dulu setiap bulan mereka terima tanpa harus keluar keringat untuk bekerja. Atau memang kecil dibanding upah part time mengantar koran setiap pagi atau jadi pelayan restoran yang dulu mereka jalani. Sungguh, ini masalah yang sangat bikin kuping panas kalau mendengarnya.

Ada banyak keluh kesah mengenai pekerjaan dan cuan ini. Ada yang mengeluh, katanya dosen baru dengan ijazah S2 dan S3 luar negeri tapi gajinya kecil, mungkin tak sampai dari jumlah subscriber-nya Jerome Polin. Waduh. Mereka juga masih harus berjuang mencari tempat mengajar menjadi dosen sampai rela mengajar di tempat yang kurang familier di telinga orang-orang. Padahal mereka punya semangat tinggi untuk mengabdi dan berkontribusi kepada negara. Maka, mungkin akan ada yang merasa dan bilang kalau talenta mereka tak dihargai. Waduh.

Bagi lulusan luar negeri perempuan, terutama yang sudah menikah dan menjadi ibu, mungkin lebih mengerikan lagi. Ketika mereka memilih berkarya dan berkontribusi kepada tanah air dari ranah domestik, maka akan dibilang, “Capek-capek kuliah di luar negeri, pulang ya momong juga, jadi ibu rumah tangga juga.” Padahal komentar seperti itu ya tak perlu dilontarkan karena pastinya mereka punya banyak pertimbangan di balik pilihan itu. Lagi pula, berkontribusi bisa dari mana saja, kan?

Dilema lainnya ya karena kurang terekspos jadinya lulusan luar negeri dikira nggak berkontribusi. Seperti beasiswa LPDP yang mewajibkan setiap lulusan luar negeri yang telah menyelesaikan studi untuk kembali dan berkarya di Indonesia, misalnya. Biasanya ya hanya yang cerah gemilang yang ditampilkan. Padahal kalau dipikir, ya nggak perlu semua harus masuk layar kamera dan terpampang nyata di medsos LPDP, kan? Kontribusi ya kontribusi saja, kan?

Akhirnya, balik lagi ke diri lulusan luar negeri sendiri lah. Sebelum kembali ke tanah air juga sebisa mungkin mempersiapkan diri, fisik, dan mental secara lebih kuat. Persiapan reserve culture shock wajib banget dilakukan. Malah kalau perlu, ya konsultasi atau mengambil hikmah cerita pengalaman senior yang sudah dulu kembali ke tanah air.

Ekspektasi yang berlebihan terhadap masa depan di tanah air kadang tak sesuai dengan realita yang akan ditemui nanti. Pikiran seperti, “Ah gue kan udah master, udah PhD, lulusan luar negeri pula, pasti gampang lah cari kerjaan,” tak akan mempan dan 100% berhasil, kecuali sudah mendapat tawaran pekerjaan atau memang sudah ada jalannya. Kalau yang masih harus melamar sana sini, ya harus bersaing ketat dengan master dan doktor lulusan dalam negeri juga. Toh yang penting ijazahnya, kan?

Jadi, jangan merasa kalau talenta tak dihargai lah. Talenta sebagai lulusan luar negeri juga bakal dihargai kok, tapi mungkin nggak sebanyak dan semahal gaji yang diinginkan. Eh iya, saya juga lulusan luar negeri, lho, dengan beasiswa. Tanpa ikatan dinas. Nggak ada “kewajiban tertulis” untuk kembali ke tanah air dan berkontribusi setelah lulus, tetapi saya memilih pulang, lho. Kangen oseng-oseng mercon soalnya.

Sumber Gambar: Unsplash

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version