Ramai pemberitaan baru-baru ini yang intinya mengancam para pemilik toko kelontong bahwa tidak akan ada lagi penjual elpiji eceran. Berkaca dari beberapa tulisan di media ini, saya merasa kepercayaan diri pemerintah terlalu tinggi kalau sampai nggagas apa yang dijual toko kelontong.
Toko kelontong selalu dianggap sebagai solusi ketika pengangguran atau yang sengaja menganggur punya ruang kosong di rumahnya. Dengan memaksimalkan tata ruang di rumahnya, dijual lah beberapa barang penunjang kehidupan tetangga. Seperti, air minum, sembako, alat-alat rumah tangga, obat-obatan, rokok, bensin, termasuk juga elpiji.
Aneh rasanya kalau toko kelontong tidak menjual gas elpiji, sedangkan barang ini termasuk kebutuhan yang amat sangat pokok selain sembako dan bensin. Keberadaan toko kelontong ini mempemudah untuk warga di sekitarnya yang mau masak untuk mendapatkan melon besi ini.
Tapi memang, rasanya warung-warung ini terlalu mengambil untung atas penjualan gas untuk rakyat miskin ini. Di tempat saya, rata-rata toko kelontong menjualnya dengan kisaran harga 19 ribu hingga 20 ribu, sedangkan pemerintah memasang harga eceran tertinggi (HET) di harga 15.500. Tetapi dibandingkan dengan harga elpiji nonsubsidi, harga itu masih dianggap mashok, baik untuk kebutuhan pribadi, maupun keperluan usaha mikro.
Kalau mau jujur-jujuran, sebenarnya yang buat harga di warung-warung semahal itu bukan karep dari mereka sendiri. Selain karena persediaan yang bergantung dengan naik turun permintaan pasar karena sejumlah kebutuhan, sebenarnya ada satu masalah yang buat harganya terlalu tinggi. Kalau mau tahu, sini saya bisiki, pelaku sebenarnya adalah antek-antek Pertamina sendiri.
Pertamina memang getol melakukan pengawasan penyaluran dari SPBE ke agen elpiji Pertamina. Harganya selama ini stagnan di angka Rp14.250 karena pengawasannya begitu ketat dan penuh ancaman pemutusan hubungan usaha (PHU).
Menurut saya, para pemilik agen elpiji yang dibawahi langsung oleh Pertamina ini tidak ada yang berani main harga karena berisiko kepada bisnis milyaran rupiah miliknya. Lagian, transaksinya biasanya menggunakan bank, baik transfer ataupun aplikasi mobile, jadi kecurangan sangat mudah untuk dilihat.
Lalu, siapa biang kerok sebenarnya?
Baca halaman selanjutnya
Mahal kena semprit, murah bikin pailit
Masuklah kita pada pembahasan terkait siapa yang menjadi biang kerok dari melangitnya harga elpiji. Semua ini terjadi akibat kesewenangan oknum pemilik pangkalan elpiji. Sebenarnya saya bingung mau nyebut oknum atau bukan. Biasanya oknum jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan yang jujur, tapi menurut pengamatan saya sebagai kalangan bawah, hanya satu dari beberapa pangkalan elpiji yang ada di sekitar rumah saya.
Sebenarnya pemerintah melalui Pertamina dengan beberapa agen elpijinya telah memberikan plang yang khas dengan warna hijau tuanya kepada para pangkalan elpiji subsidi. Dalam plang itu sebenarnya tertulis jelas harga eceran tertinggi (HET) yakni Rp15.500 dan beberapa nomor untuk melaporkan kesewenangan pangkalan terkait penyaluran elpiji subsidi.
Beberapa oknum pangkalan sengaja menyembunyikan plang itu supaya tidak dilihat oleh khalayak. Nah, ini baru saya yakin oknum karena memang kebanyakan pangkalan ada plangnya sih. Kalaupun ada plangnya, bisa saya simpulkan pembeli elpiji tidak terlalu nggagas plang resmi tersebut.
Saya pernah menggagas plang itu dengan membacanya secara lugas di depan penjaga pangkalan, eh pegawai pangkalan itu malah berkilah, “Itu HET mas, harga eceran terendah,” seolah saya tidak pernah diajari membaca di sekolah.
Pangkalan-pangkalan tak jujur ini biasanya mengambil untung sebanyak Rp1.500 hingga Rp3.500 di luar dari keuntungan bagi hasil resmi dari Pertamina sebagai upah penyaluran sebanyak Rp1.250 per tabung elpiji.
Kalau dipikir-pikir, pangkalan yang jujur keuntungannya kecil juga. Dengan kuota 100 tabung per minggu, dalam sebulan hanya menambah tabungan sebanyak setengah juta rupiah saja. Pantas kalau pada akhirnya para pengecer resmi Pertamina ini ngelunjak kalau upahnya hanya segini. Kayaknya perlu punya beberapa pangkalan baru bisa mencukupi kebutuhan.
Walaupun yang dilakukan para pangkalan ini salah dan tidak bisa dibenarkan karena menjadi penyebab tingginya harga elpiji subsidi di dunia perwarungan, saya paham dengan kondisi mereka.
Mereka menginvestasikan uang mereka untuk ikut andil sebagai penyalur subsidi dengan uang yang tidak sedikit. Buat beli tabung dari agen saja sudah butuh belasan juta. Belum lagi biaya administrasi dan bayar makelar penjualan pangkalan elpiji. Kalau ditotal, bisa lebih dari 20 juta.
Dengan untung hanya Rp500.000 perbulan, boro-boro untung, balik modal saja perlu waktu hampir bahkan lebih dari empat tahun. Sungguh bisnis yang kalau dihitung hanya bisa dilakukan oleh orang-orang gabut yang punya uang puluhan juta tapi bingung mau diapakan uangnya.
Setelah mengerti akar permasahalan terkait dunia subsidi elpiji ini, mari kita kembali ke masalah toko kelontong alias warung rumahan. Pemerintah mengancam pemutusan akses terhadap bisnis elpiji subsidi tak resmi ini tanpa mempertimbangkan bahwa cucu perusahaan mereka sendiri lah yang berulah. Saya bilang cucu karena eksistensinya ada dua layer di bawah Pertamina.
Sebenarnya saya ada sebuah saran mengenai permasalahan ini, tetapi sepertinya tidak akan berjalan baik di negeri penuh oknum ini. Saran saya mengatur harga eceran di warung. Tapi, berkaca dari kasus minyak goreng kemarin, sepertinya saya tidak jadi menyarankan hal ini. Bukanya jadi murah, malah langka nanti.
Daripada melarang pengecer untuk menjual di warung mereka, sebaiknya Pertamina melakukan introspeksi terhadap anak cucunya. Sebaiknya lebih getol pengawasan kepada pangkalan. Jangan lupa pula memberi pengetahuan kepada calon pangkalan bahwa penyaluran subsidi elpiji dalam bentuk bisnis pangkalan lama balik modalnya.
Penulis: Muhammad Arif Prayoga
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mengganti Elpiji dengan Kompor Induksi ketika Aliran Listrik Belum Merata, Pemerintah Sehat?