Setelah beberapa tahun berkelana, akhirnya saya pun berkesempatan untuk pulang ke Kabupaten Lembata. Secara status kependudukan, saya memang berasal dari Lembata. Hingga pada gilirannya orang tua saya “melempar” saya ke Jawa untuk sekolah kemudian berlanjut hingga bekerja.
Lama tidak pulang (setidaknya 3 tahun), di mata saya, Lembata tentu banyak berubah dan berkembang, meski semua itu masih tidak cukup mendorongnya menuju daerah yang mandiri dan kuat secara ekonomi. Yah, Lembata masih berjalan di tempat sehingga tidak mentereng, lebih jauh malah masuk kategori daerah 3T dari sejak dijadikannya sebagai Kabupaten
Kepulangan saya tentu mempertemukan saya dengan kawan-kawan lama. Di antara mereka ada yang sebelumnya merantau lama, ada yang memutuskan kembali dari perantauan dan ingin menetap hingga tua, dan ada pula yang memang sejak awal tidak pergi ke mana-mana. Bertahan di Lembata dan menjadi saksi perubahan yang begitu lambat dari Kabupaten yang terdiri dari 1 pulau ini.
Tapi, dari mereka saya mendapat cerita tentang sebuah dilema yang sama, yaitu nasib mereka secara ekonomi ketika memutuskan pulang dan bertahan di Lembata. Antara mereka tetap merantau dan membiarkan kampung halaman mereka menua atau pulang dengan konsekuensi harus hidup dengan penuh keterbatasan.
Lembata tak ramah anak muda
Mayoritas putra-putri daerah Lembata yang segenerasi seperti saya, adalah penerus dan pemegang estafet untuk segala bentuk persoalan di Lembata. Ketika mereka memutuskan merantau, kemudian enggan untuk kembali ke Lembata, efeknya begitu kompleks, mulai dari sosial, budaya, dan ekonomi.
Dari yang paling dasar saja, misalnya desa. Saat ini banyak desa di Lembata yang minim kontribusi dari generasi muda karena mayoritas dari mereka pergi merantau. Oleh karena itu, para anak muda diminta tidak berlama-lama di tanah perantauan karena telah banyak desa-desa kosong yang penghuninya kebanyakan adalah orang-orang berusia lanjut.
Kita semua tahu, bagaimana pengelolaan desa saat ini membutuhkan tangan-tangan muda yang otaknya adaptif dengan peradaban. Jadi kalau yang mengisi orangnya hanya itu-itu saja, maka desa hanya akan berputar pada porosnya, tanpa bergerak ke arah kemajuan. Potensi-potensi desa pun jadi nggak bisa dioptimalkan. Para orang tua di Lembata khawatir dengan hal itu.
Hal pelik lainnya adalah soal adat dan kesukuan. Keduanya adalah aspek penting dan sakral yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Lembata.
Generasi sebelumnya khawatir, nilai-nilai adat yang telah dijaga, perlahan pudar dan hilang karena terputus koneksinya dengan generasi muda saat ini. Pasalnya, praktik memberi pengajaran, mengarahkan, dan membimbing aktualisasi dari tiap nilai adat terhenti karena anak mudanya pada perantau. Segala praktik tersebut pada akhirnya dilakukan oleh orang-orang tua lagi.
Seluruh keresahan di atas memang mendasar, tapi persoalannya semua itu begitu dilematis ketika melihat Lembata yang tak bisa memberikan jaminan kestabilan ekonomi bagi para anak muda yang menetap.
Investor sulit masuk
Penanaman modal yang jadi pemicu munculnya lapangan pekerjaan, sangat terbatas di Lembata. Pada tahun 2021, Lembata tercatat memiliki skor perizinan investasi terendah se-NTT yaitu hanya 15.319, dibanding Belu/Manggarai Timur/Sikka yang skor mendekati 60.000. Rendahnya skor perizinan ini menandakan kalau Lembata punya struktur dan regulasi yang menyulitkan investor masuk secara formal. Ini yang membuat praktik investasi modal formal hampir tidak terjadi di Lembata. sangat sedikit proyek usaha besar, modal sosial/informal lebih dominan.
Akibatnya apa? Ya lapangan kerjanya sempit. Pekerjaan aman hanyalah PNS dan pegawai bank. Sisanya kalau mau punya ekonomi baik ya jadilah pedagang. Sektor informal lain seperti perkebunan/pertanian, perikanan, dan peternakan tidak menawarkan kue ekonomi yang baik karena umumnya hanya dijadikan sebagai pengaman kebutuhan dasar semata.
Di sisi lain, kebutuhan secara ekonomi tiap hari makin meningkat. UMK Lembata itu sekitar 2,3 jutaan. Memang angkanya lebih besar dari beberapa daerah di Jawa. Tapi harga kebutuhan pokok di sana sangatlah tinggi. Banyak komoditas yang harus diambil dari luar pulau sehingga membutuhkan biaya logistik yang tinggi. Efeknya tentu pada harga akhir dari tiap komoditas atau produk yang dijual.
Di sisi lain, tanggung jawab adat atau kesukuan juga membutuhkan biaya yang nggak sedikit. Setiap urusan keluarga, ada nilai adatnya. Sehingga tiap pertemuan, acara, dan sejenisnya, mengeluarkan biaya yang nggak sedikit.
Taruhlah untuk acara nikah saja. Di Lembata umumnya mensyaratkan belis (seperti maskawin) berupa gading gajah. Nah satu gading saja harganya sudah ratusan juta. Belum lagi syarat lainnya seperti jumlah Binatang ternak dan kain tenun watek yang harganya ratusan ribu. Itu baru satu jenis acara, belum lainnya yang minimal pada setiap pertemuan ada makan besarnya.
Realitas yang dilematis
Realitas di atas tentu menimbulkan dilema dan tekanan (secara nggak langsung) bagi anak muda. Mereka mungkin bisa saja acuh, tapi tetap saja mereka akan memikul stigma sebagai generasi pemutus tradisi dan harapan kampung halaman.
Lebih jauh, Ini membuat “pulang kampung” menjadi tindakan yang secara emosional dan kultural memang terkesan mendesak, tapi secara ekonomis hampir mustahil dilakukan tanpa pengorbanan besar.
Menjaga adat bukan hanya dinilai dari kehadiran secara fisik, tapi juga soal kemampuan menghidupi diri dan keluarga di dalam sistem sosial dan ekonomi yang stagnan. Kalau struktur sosial menuntut partisipasi aktif dalam kehidupan di desa dan kesukuan, tapi tidak menyediakan mekanisme pendukung ekonomi yang memadai, ya sama saja menyuruh orang berenang sekaligus mencari ikan, tapi nggak pernah dikasih perlengkapan renang dan jaring ikan.
Dari situlah, perlu sebuah refleksi bersama. Dimulai dari pertanyaan sederhana, apakah tradisi dan adat memang harus dijalankan sebagaimana dulu, meski di sisi lain ketika sumber daya dan konteks hidup sangat berbeda?
Kemudian, kalau para pemuda sudah mengorbankan diri, apakah memungkinkan bahwa suku dan adat yang punya banyak nilai-nilai baik diarahkan sebagai pendorong ekonomi lokal? Jadi nggak hanya sebagai aspek yang menekan ekonomi tapi juga memberikan efek kejut yang positif bagi ekonomi lokal? Tapi balik lagi, apakah semua itu layak dan nggak melunturkan kesakralan sebuah suku atau adat?
Pada akhirnya, dilema Ini adalah persoalan sistemik. Karena ini soal bagaimana masyarakat, adat, dan pemerintah daerah harus saling berperan bersama menciptakan kesempatan bagi generasi muda untuk hidup layak tanpa harus melupakan akar budaya mereka. Kalau tidak, desa akan terus kosong, adat akan kehilangan pewaris, dan yang tertinggal hanya nostalgia.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Nestapa Hidup di Kabupaten Lembata
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
