Di YouTube, Saya Lebih Suka Suara Musisi Versi Konser daripada Rekaman Studio

Di YouTube, Saya Lebih Suka Suara Musisi Versi Konser daripada Rekaman Studio terminal mojok.co

Di YouTube, Saya Lebih Suka Suara Musisi Versi Konser daripada Rekaman Studio terminal mojok.co

Saya bukan pengguna Spotify, jadi aktivitas mendengarkan lagu masih menggunakan YouTube. Lagu-lagu yang saya sukai random serandom-randomnya, bisa dimulai dengan Chrisye, lalu Monkey to Millionaire, lantas Adhitia Sofyan, berlanjut ke Avenged Sevenfold, mendadak ke Kangen Band, kemudian secara ajaib muter Stars and Rabbit. Benar-benar acak dan bagi banyak orang lumayan mengganggu.

Selain itu, saya juga lebih suka memutar lagu versi rekaman konser alias live dibandingkan versi studio. Lagi-lagi, kebiasaan saya ini dianggap mengganggu bagi orang lain. Katanya, rekaman saat konser itu terlalu berisik, banyak basa-basi dari penyanyi di sela-sela lagu, dan yang pasti kualitas suara si penyanyi biasanya nggak sebagus pas versi rekaman.

Weh, tapi bagi saya justru hal-hal di atas itulah poin plusnya. Saya menikmati riuhnya suasana konser. Saya menunggu-nunggu bagaimana penyanyinya ngobrol-ngobrol dulu di sela lagu. Pun saya nggak mempermasalahkan kualitas suara si penyanyi yang kadang emang nggak konsisten antara saat rekaman di studio dan saat manggung.

Bagi saya, mengetahui kualitas suara si penyanyi yang langsung di panggung adalah hal penting. Kalau kualitas pas manggung ternyata nggak sebagus pas rekaman di studio, ya sudah nggak apa-apa. Kalau ternyata suaranya sebagus pas versi rekaman, justru menjadi kehebatan sendiri bagi si penyanyi.

Sewaktu muter video konser Avenged Sevenfold dan melihat banyak manusia yang lompat-lompat mengikuti irama lagu A Little Piece of Heavens, saya ikut merasakan gelora luar biasa. Sebagai orang yang belum pernah nonton langsung konser Avenged Sevenfold, memutar video konser mereka adalah kenikmatan tersendiri.

Atau untuk band lokal, saya sangat menyukai konser Stars and Rabbit. Setiap kali mereka manggung di Jogja, saya selalu mengupayakan nonton dan nimbrung di sekumpulan manusia yang kerap disebut anak senja itu. Bodo amat sebutannya apa, yang jelas saat Mbak Elda minta para penonton ngangkat tangan dan ikut nyanyi, saya dan semua penonton pasti ikut nyanyi.

Puncaknya, ya pas Mbak Elda lompat-lompat sambil ber-aiyaiyah-aiyaiyaiyaiyah-aiyaiyah itu. Wasli, semua penonton pasti ngikutin dan vibesnya bikin merinding disko. Magisnya lagi, suasana itu juga tetap terasa saat nonton video konser Stars and Rabbit di YouTube. Sensasi merinding-merinding sedap itu tetap menjalari seluruh tubuh, dan hal itu nggak bakal bisa dirasain jika hanya mendengar versi rekaman studionya.

Bahkan saya berani bilang, lagu Man upon the Hill milik Stars and Rabbit jauh lebih bisa dinikmati pada versi konser dibandingkan versi rekaman. Di versi rekaman, suara Mbak Elda cempreng total dan lumayan mengganggu bagi sebagian orang. Sementara pas versi konser, walahh nggak ada tandingannya.

Barangkali karena hal ini pula saya nggak suka Spotify. Jarang ada, atau malah mungkin nggak ada, lagu versi konser yang bisa didengarkan. Semuanya adalah lagu versi rekaman di studio yang suara penyanyinya jernih, stabil, sudah diedit, nggak ngos-ngosan, dan mulus total mirip jalanan di sekitar 0 KM Jogja yang selalu diurusi setiap tahun itu. Sementara versi konser sering kali si penyanyi lupa lirik, salah nada, salah kunci gitar, salah mukul drum, senar putus, dan segenap kesalahan-kesalahan lain yang mungkin terjadi. Itu semua menarik bagi saya. Sangat menarik melihat dinamika-dinamika musisi saat konser tanpa bermaksud ngetawain musisi itu sendiri.

Akan tetapi, itu bukan berarti saya anti versi rekaman studio, ya. Saya menikmati juga versi rekaman studio dengan segala polesannya yang bikin cantik. Namun, ya itu tadi, versi konser tetap lebih ngena bagi saya.

Memang kelemahan menikmati konser di YouTube adalah pada kualitas gambar dari rekaman konser. Banyak video konser musik yang hanya berupa rekaman kamera ponsel dari penontonnya, gambarnya goyang-goyang, dan suaranya ngalor ngidul nggak jelas. Untuk menunggu versi bening dari penyelenggara konser memang memakan waktu, bahkan bisa saja emang nggak ada. Jumlah video konser yang bening dan audionya jernih memang nggak terlalu banyak. Akan tetapi, cukuplah untuk dinikmati sambil nunggu ada konser beneran di seputaran Jogja yang bisa saya datangi.

Makanya, menonton konser musik di YouTube bagi saya yang suka nonton konser secara langsung, lebih bikin puas dibandingkan nonton musik video dari musisinya itu. Vibes konsernya itu loh yang nggak tergantikan. Jadi, sambil nunggu konser non virtual boleh diselenggarakan lagi, menonton konser di YouTube bisa menjadi alternatif.

Lucunya, konser belum boleh diselenggarakan, tapi acara DJ-DJ-an di beberapa kedai kopi Jogja kok santai-santai saja diselenggarakan, ya?

BACA JUGA Deddy Corbuzier Pernah Bikin Program yang Nggak Laku-laku Amat di Kanal YouTubenya dan tulisan Riyanto lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version