Devi Atok, Carok, dan Usaha Menantang Maut demi Keadilan

Devi Atok, Carok, dan Usaha Menantang Maut demi Keadilan

Devi Atok, Carok, dan Usaha Menantang Maut demi Keadilan (Pixabay.com)

Devi Atok adalah penerang di setiap jalan yang gelap, energi di saat semuanya mulai letih untuk berjuang, alasan perjuangan ini tak pernah padam. Tapi, ia hanyalah manusia biasa

“Kemarin pulang sama Bapakku diberikan kain (sewek) dan celurit, kalau kamu takut ambil kainnya, kalau kamu anakku bawa celurit ini”

Ini adalah sepotong kalimat pada status WhatsApp yang saya baca di Twitter. Dari pojok kiri atas terpampang dengan jelas nama kontak Deviatok23 (Devi Atok), seorang Ayah yang kehilangan dua putrinya di malam mencekam Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022

Sewek (kain) dan celurit merupakan dua buah lambang yang menandakan sebuah keberanian dan pengecut. Sebagai laki-laki, mereka akan dicap berani jika memilih celurit dan akan dianggap sebagai sosok kesatria yang siap mengembalikan harga diri atau marwahnya.

Lalu, jika seorang laki-laki lebih memilih sewek atau kain, maka akan dianggap sebagai pengecut karena dianggap takut untuk berjuang dan lebih rela harga dirinya diinjak-injak oleh pihak lain. Sependek yang saya ingat, kurang lebih seperti inilah perumpamaan terkait celurit dan sewek.

Devi Atok kehilangan semuanya

Lanang kok wedian, nggawe sewek ae”

Mungkin kalimat di atas adalah sebuah candaan, namun jika ditelaah tidak secara ofensif, sewek adalah “hinaan” untuk laki-laki. Sewek di Jawa identik dengan perempuan dan—maaf—akan berarti lebih lemah atau lebih penakut jika dibandingkan laki-laki. Ya, benar adanya bahwa budaya patriarki di Jawa masih cukup kental.

Sebagai salah seorang saksi hidup kejadian tersebut, air mata saya perlahan mulai menetes ketika membaca status itu. Saya paham betul rasanya ditinggalkan oleh seseorang yang paling kita sayang. Ditinggalkan selama-lamanya, tanpa pamit dan tanpa pertanda.

Dia hanyalah sopir tebu yang ke sana ke mari, siang dan malam mencari sesuatu bernama keadilan. Ia hanyalah seorang laki-laki, yang harga dirinya terinjak-injak, dan dia hanyalah seorang Ayah yang kehilangan salah satu alasan untuk tetap melanjutkan kehidupan. Benar, Devi Atok kehilangan sesuatu yang tak ternilai harganya dan tak bisa dibeli dengan apapun.

Mungkin, amarah Devi Atok sudah berada di titik paling puncak. Story WhatsApp menjadi medianya untuk menyalurkan emosi yang tak lagi mampu ia redam. Alih-alih memilih jalur “putih” seperti biasanya, kini Sam Devi ingin memilih jalan lain. Jalan yang mungkin bisa mengembalikan marwahnya sebagai Ayah, sebagai laki-laki, dan sebagai manusia.

Puncak rasa muak seorang Ayah

Devi Atok adalah salah satu cahaya yang menerangi jalan anak-anak Malang yang berjuang mencari keadilan. Bagaikan sebuah lilin, Sam Devi selalu berada di barisan paling depan. Ia adalah penerang di setiap jalan yang gelap, energi di saat semuanya mulai letih untuk berjuang, alasan perjuangan ini tak pernah padam.

Namun, Devi Atok tetaplah manusia. Kesabaran itu sudah menemui batasnya ketika sebuah putusan sidang menyatakan bahwa angin menjadi penyebab ratusan nyawa melayang. Saya tak mau membicarakan keputusan ini terlalu dalam, karena dilihat dari sisi manapun, ini adalah sesuatu yang sangat-sangat tak masuk akal dan sulit diterima logika manusia normal.

Saya tahu betul bagaimana Devi Atok selalu berjuang mencari pembunuh kedua putrinya, bahkan ia adalah keluarga korban pertama yang mengajukan autopsi terhadap jasad kedua buah hatinya. Alasannya hanya satu, mencari penyebab mengapa mereka meninggal dunia.

Alih-alih mendapatkan dukungan, Devi Atok justru mendapatkan tekanan dari beberapa pihak. Ketika saya berbagi cerita terkait Tragedi Kanjuruhan dengan salah satu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Kota Malang, saya mendapat sebuah cerita yang menarik dan mampu membuat saya merinding.

Asumsi-asumsi liar

Sejalan dengan tekanan dan ancaman yang juga dialami Sam Devi, pihak LBH di mana saya bertukar cerita juga mengamini hal tersebut. Ada salah satu keluarga korban yang pada pagi hari menyerahkan surat kuasa untuk mengusut kematian anaknya kepada LBH. Namun, hanya berselang beberapa jam, surat kuasa itu dicabut dan pihak keluarga mengaku sudah ikhlas.

Bagi saya yang saat itu pertama kali mendengar cerita itu, tentu ada rasa tak percaya. Asumsi-asumsi liar mulai berlarian di kepala saya. Banyak jawaban-jawaban mentah untuk menjawab dua pertanyaan liar di kepala saya: siapa dan mengapa.

Saya memang belum menjadi Ayah, tapi saya adalah laki-laki yang mungkin suatu saat nanti menjadi seorang Bapak. Tapi, satu yang saya yakini, jika saya berada di posisi Sam Devi, saya akan melakukan hal yang sama. Tak mungkin kurang, dan pasti akan lebih.

Carok dan tolok ukur harga diri laki-laki

“Tak ajak carok yang membunuh anakku, nyawa dibayar nyawa” begitulah beliau menutup tulisan di status WhatsApp-nya.

Budaya carok sangat kental dengan mereka, para laki-laki Madura. “oreng lake mate’ acarok, oreng bine mate’ arembi” yang berarti laki-laki mati karena carok dan perempuan mati karena melahirkan. Harga diri, dalam budaya Madura memang dipandang setinggi itu. Dengan kacamata psikologi, laki-laki Madura menganggap diri mereka ada seorang kesatria, dan pada beberapa hal haruslah diselesaikan dengan cara kesatria pula.

Carok adalah sebuah kearifan lokal, yang mana sebagai bukti bahwa masyarakat Madura sangat tidak terima jika harga diri mereka didiskriminasi oleh pihak lain. Sehingga, ini yang membuat budaya carok ini sangat melekat dengan masyarakat Madura.

Untuk yang belum mengetahuinya, dilansir dari Wikipedia, carok adalah sebuah perkelahian yang biasanya dilakukan oleh dua orang laki-laki atau bisa lebih untuk menyelesaikan masalah yang menyangkut harga diri. Biasanya, dalam pertarungan ini, laki-laki akan menggunakan senjata berupa celurit.

Duel adalah jalan terakhir jika suatu masalah tidak bisa diselesaikan dengan cara baik-baik. Biasanya, pemenang adalah mereka yang masih hidup pada pertarungan berdarah itu. Ya, ini tak lebihnya pilihan hidup dan mati dari seorang laki-laki.

Harapan itu akan tetap hidup

Perang yang tidak akan pernah kami menangkan. Setidaknya kami tetap berjuang

Begitulah bunyi dari sebuah bendera yang terpasang di salah satu sudut Kota Malang. Bagi saya ini adalah kalimat terbaik, karena mampu membuat tubuh ini merinding beberapa saat setelah membacanya.

Dari tulisan di bendera itu, saya yakin bahwa masih ada serpihan keadilan di kasus ini. Saya masih yakin akan ada kemenangan bagi mereka-mereka yang tetap berjuang mendapatkan haknya. Bagi saya, harapan itu ibarat sebuah lilin, ia menjadi penerang di saat gelap dan menjadi penuntun pada setiap kaki ini melangkah.

Perjuangan Devi Atok adalah bukti sebuah cinta paling murni. Tidak. Tidak. Devi Atok, bagi saya adalah definisi cinta itu sendiri. Dan, sesuai dengan puisi yang ditulis Wiji Thukul, bahwa kebenaran akan terus hidup.

Penulis: Devandra Abi Prasetyo
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Jangan Heran, Orang Madura Memang Harus Demo Apalagi Menyangkut Harga Tembakau

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version