Desa Guyangan, Kecamatan Krucil, Kabupaten Probolinggo, yang katanya terkenal sebagai “tanah surga”, sekarang malah jadi “tanah neraka” buat petani. Gimana nggak, di sini segala tanaman tumbuh subur kayak kecambah, tapi sekarang malah tumbuh maling yang lebih subur dari tanaman itu sendiri.
Kalau dulu pencurian di sini cuma seputar motor, televisi dan sapi, sekarang maling-maling ini punya selera baru: tanaman petani. Dari singkong, kopi, manggis, durian, sampai ubi porang, semuanya dicuri tanpa ampun.
Ini bukan lagi “tanah surga”, tapi “tanah sial”.
Daftar Isi
Tanah subur jadi sasaran empuk maling. Sebagian pelakunya tetangga sendiri
Baru kemarin saya dapat kabar dari bapak, katanya sebagian ubi porang di ladang kami dicuri. Dia bilang, “Porangnya dicuri orang, Nak.” Santai, kan? Tapi kecewa juga sih. Ini bukan soal porang doang, talas juga ikut dicuri.
Di Desa Guyangan Probolinggo, maling kayak kamu, iya kamu, yang datang tanpa permisi dan pergi tanpa kabar. Kalau dulu mereka main di rumah, sekarang mereka lebih suka main di ladang. Mungkin lebih aman, jauh dari pengawasan manusia, jadi nggak perlu pusing lihat wajah-wajah petani yang kebingungan.
Kenapa ya, maling sekarang jadi ngelantur ke ladang? Karena, menurut sebagian korban, pencuri ini sebagian adalah tetangganya sendiri. Mereka tahu apa yang ditanam dan lokasi ladang para petani.
“Makin dekat ke ladang, makin dekat sama keuntungan cepat tanpa harus keluar modal banyak,” begitu kira-kira.
Petani di Desa Guyangan rela tidur di ladang, tapi tetap saja rugi berlipat-lipat
Ini dia yang bikin petani Desa Guyangan sekarang nggak tahan. Mereka sudah capek nanam, merawat, dan berharap panen. Tapi, di akhir cerita, yang mereka panen malah kekecewaan. Harga tanaman jatuh, gak laku, susah payah dirawat, tapi malah dicuri tanpa ampun. Sudah merugi di pasar, ditambah tanaman hilang akibat maling. Berasa ditipu dan rugi berkali-kali lipat!
Saking seriusnya masalah ini, beberapa petani sampai nekat bikin gubuk kecil di ladang. Tidur di situ malam-malam hanya untuk menjaga tanaman. Bayangkan, tidur di ladang, berjaga sampai mata bengkak, demi apa coba, kalau bukan demi menghindari tanaman dicuri maling?
Kalau tidur di rumah aja nggak nyaman, apalagi tidur di ladang? Itu sih level paling gila. Tapi ya, apa boleh buat, petani Desa Guyangan Probolinggo nggak punya pilihan lain.
Para maling ini pinter. Mereka tahu kapan harus beraksi dan bagaimana caranya. Biasanya, mereka melancarkan aksinya saat malam tiba, pas semua orang tidur, dan pas sebelum pasar tradisional Kecamatan Krucil—yang buka setiap hari Rabu dan Sabtu.
Mereka ngambil tanaman, langsung dijual ke pasar—langsung untung. Sementara petani, cuma bisa pasrah, berusaha memantau ladang yang letaknya jauh dari pekarangan rumah.
Bolak-balik memantau tanaman. Tapi maling lebih cepat beraksi
Petani di Desa Guyangan sekarang harus rela bolak-balik dari rumah ke ladang, meski siang hari, yang jaraknya nggak dekat. Kadang, bahkan nggak mungkin untuk memantau tanaman setiap hari. Mau lihat tanaman di ladang? Harus naik motor—yang sering kali butuh waktu berjam-jam. Sementara maling cukup datang, ambil, dan kabur.
Bahkan sahabat saya seenaknya jidat bilang, “Ya sudah, buat pos ronda lah, bangun gubuk kecil di ladang.” Nggak semudah itu, goblok. Membuat pos ronda itu butuh biaya, tenaga, dan kerja sama.
Harapan saya sih, petani Desa Guyangan Probolinggo nggak terus-terusan jadi bulan-bulanan maling. Jangan biarkan ladang subur jadi sasaran empuk maling. Kalau terus begini, lama-lama tanah “surga” ini hanya tinggal nama tanpa panen, tanpa petani, dan tanpa masa depan.
Kita harus ingat, petani adalah “pahlawan tanpa nama”. Tanpa mereka, tidak ada kopi, tidak ada manggis, tidak ada ubi porang. Kalau mereka jatuh, ya seluruh rakyat Indonesia juga ikut jatuh.
Penulis: Adi Purnomo Suharno
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Probolinggo Itu Kota di Jawa Timur, dan Kami Bukan Orang Madura meski Pakai Logat Madura