Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Nusantara

Tinggal di Pelosok Sumatera Selatan Cuma Bikin Menderita, Warga Pilih Merantau karena Nggak Ada Perubahan

Karisma Nur Fitria oleh Karisma Nur Fitria
20 Agustus 2025
A A
Tinggal di Pelosok Sumatera Selatan Cuma Bikin Menderita, Warga Pilih Merantau karena Nggak Ada Perubahan

Tinggal di Pelosok Sumatera Selatan Cuma Bikin Menderita, Warga Pilih Merantau karena Nggak Ada Perubahan (unsplash.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Beberapa waktu lalu saya membahas soal asal dan asli daerah saya. Kali ini, saya akan lebih fokus menceritakan daerah asal saya, Sumatera Selatan. Tepatnya di sebuah desa bernama Sukamukti, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Desa yang tidak pernah muncul di permukaan selain cerita soal konflik tanah yang tidak berkesudahan. 

Saya tidak akan membahas konflik-konfliknya di sini. Melainkan derita hidup di daerah pelosok yang apa-apa susah. Saya paham ketika menulis ini pasti beberapa pembaca akan ada yang berkomentar, “Banyak kok di daerah lain yang lebih parah,” atau “Nggak bersyukur! Di daerah A dan B lebih parah lagi!”, dll.

Mari kita sama-sama mengesampingkan ego membandingkan satu dengan lainnya. Ini hanyalah keluh kesah saya sebagai warga biasa. Beruntung kalau pemerintah daerah membaca tulisan ini dan memberikan aksi nyata.

Yah, setidaknya cuma ini yang bisa saya coba lakukan. Masalahnya, sejak lahir sampai sekarang, permasalahan di Sumatera Selatan masih berputar di lingkaran yang sama. Maksud saya, ayolah, masa iya mau begini terus? Hadeh.

Hidup di tengah perkebunan karet dan sawit Sumatera Selatan

Sebagian jamaah Mojok mungkin nggak kebayang ya hidup di tengah perkebunan karet dan sawit? Gambarannya begini. Buka pintu depan, pemandangannya jalan tanah liat merah. Balik buka pintu belakang, pemandangannya kebun karet. Buka jendela sebelah rumah, lihatnya kebun sawit. 

Meski begitu, tetap ada yang menarik dari tinggal di tengah perkebunan karet dan sawit. Mau tahu? Tengah malam datang lebih cepat dari seharusnya. Coba bayangkan, jam 8 malam di sini rasanya kayak sudah jam 10 malam. Nggak ada lagi aktivitas di luar rumah. Serem.

Ketika saya menceritakan soal ini, yang paling sering ditanyakan orang selanjutnya adalah soal jarak. Misalnya, “Lha, terus jarak ke kota berapa lama?” atau “Kalau kamu ke sekolah berapa lama?” Jawaban saya biasanya bikin para penanya ini kaget.

Jadi begini. Namanya saja tinggal di pelosok Sumatera Selatan, tentu jauh dari mana-mana, ya. Naik mobil dari desa saya menuju kabupaten kota, Kayu Agung, saja butuh waktu sekitar 3 jam. Kalau ke Palembang? Biasanya butuh waktu sekitar 6 jam, kecuali lewat tol. Kalau lewat tol bisa dipangkas jadi 4 jam saja. Waktu segitu kalau di Jawa sih sudah bisa lintas provinsi.

Baca Juga:

Lalu Lintas Medan Terlalu Barbar untuk Perantau Asal Surabaya seperti Saya

Cerita Orang Malang Merantau ke Semarang, Nggak Cocok dengan Kulinernya dan Berakhir Makan Pecel Lele Hampir Tiap Hari

Selama perjalanan itu, pemandangan yang bisa saya nikmati hanya seragam. Maksudnya, kalau nggak perkebunan karet ya perkebunan sawit. Jangan harap melihat pemandangan lain, ya.

Jalan tanah merah masih jadi teman abadi

Selama 22 tahun saya hidup, ada satu hal yang tidak pernah berubah dari desa saya di Sumatera Selatan sana. Jalan desa yang setia dengan tanah merah. Melihat desa sebelah yang bolak-balik menambal jalan aspalnya cuma bisa bikin saya dan kawan-kawan menelan ludah. 

Saya dan kawan-kawan pernah menaruh harapan kepada perangkat desa. Setiap kali ada perbaikan jalan, biasanya kami bakal bersemangat. “Wah, jalannya dibenerin, nih!” atau ‘Otw aspal nggak sih ini?” Sampai akhirnya kami menyerah dan jadi trust issue.

Soalnya tiap kali ada janji perbaikan jalan desa, ujung-ujungnya cuma ditimbun pakai tanah merah lagi. Apalagi kalau setelah ditimbun, terus hujan turun. Bukannya jadi bener, jalan makin hancur. Kalau kalian mengenal istilah “nasi sudah jadi bubur”, kami warga Sukamukti Sumatera Selatan punya istilah “jalan sudah jadi bubur” ketika hujan turun.

Bayangkan, kalian harus berangkat ke sekolah tapi jalanan yang harus dilewati rusak parah. Jalannya berlubang, lengket, dan banyak genangan yang bikin jalan semakin parah. Kalau melintas dengan motor siap-siap nyangkut, sih.  

Belum lagi kalau hujan berhari-hari dan warga mau ke kota. Duh, sudah pasti bingung mau lewat mana. Soalnya ibarat kata “maju kena, mundur juga kena.” Mau lewat mana-mana juga nggak bisa menghindari jalan bubur itu. Nasib.

Mati listrik itu hal sepele, tapi bikin repot  

Selain jalan tanah merah yang nggak pernah berubah. Ada satu hal lagi yang sudah jadi sahabat dekat warga Sukamukti, Sumatera Selatan. Apa lagi kalau bukan mati listrik. Terlebih lagi waktu puasa, sebuah keniscayaan kalau nggak mati listrik. 

Sebetulnya warga sini sudah terbiasa dengan yang namanya mati listrik. Coba tanya deh, pasti hampir di setiap rumah warga ada mesin generator set. Kami sudah siap siaga mengantisipasi kegelapan malam kalau PLN lagi jahil.

Malahan di rumah saya dulu ada mesin diesel yang sanggup menerangi beberapa rumah di sekitar. Ya mau gimana lagi. Saat itu listrik belum masuk desa. Listrik baru masuk ke desa kami sekitar tahun 2008. 

Masalah penerangan sudah aman. Tetapi yang bikin repot kalau mati listrik itu sinyal beserta jaringan internetnya ikut mati. Kalau kalian dulu sekolah angkatan Covid lalu ada teman yang tiba-tiba nggak bisa ikut kelas dengan alasan mati listrik, percayalah itu memang benar terjadi. Mau sampai menangis pun sinyal dan jaringan internet nggak akan muncul kalau sudah mati listrik di desa saya.

Merantau jadi solusi ketika tidak ada perubahan yang terjadi di Sumatera Selatan

Nah, dari semua masalah yang terjadi di pelosok Sumatera Selatan tersebut, cukuplah untuk membuat warga memilih merantau ke kota. Termasuk saya. Bahkan banyak pemuda desa yang awalnya merantau untuk melanjutkan studi tapi nggak mau balik lagi. Ya mungkin karena sudah telanjur nyaman menikmati fasilitas yang serba ada di kota. 

Saya nggak menyalahkan hal ini, kok, saya paham betul gimana kenyamanan dunia kota. Saya pun terpaksa mencari kenyamanan dan pelayanan yang lebih baik di kota atau daerah lain. Bukan karena saya nggak cinta rumah, tapi karena nggak ada perubahan di sana. Saya jadi berpikir perlu keluar dari sana untuk melihat apa saja yang harusnya desa saya bisa lakukan. Apalagi saya merantau ke Jogja, tempat yang memang nyaman untuk segalanya.

Kalau kalian bertanya, “Terus, kamu mau menetap di Jogja dan nggak kembali ke desa?”. Saya pikir ini pertanyaan aneh, ya. Kalaupun nantinya saya akan menetap di Jogja atau di kota mana pun, bukan berarti saya nggak akan kembali ke desa. 

Saya juga punya banyak mimpi untuk desa saya. Menjadi desa yang lebih ramah pendidikan, aman, dan nyaman. Satu lagi, setidaknya saya ingin melihat desa di pelosok Sumatera Selatan ini punya jalan aspal. Hehehe.

Penulis: Karisma Nur Fitria
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Pengalaman Saya Tinggal di Pedalaman Sumatera Selatan Sebagai Masyarakat Transmigran.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 20 Agustus 2025 oleh

Tags: desa pelosokmerantauOgan Komering IlirPelosok Daerahsumatera selatan
Karisma Nur Fitria

Karisma Nur Fitria

Karisma Nur Fitria, dari menulis dia jadi suka jalan-jalan.

ArtikelTerkait

Suku Sunda Nggak Kuat Merantau Itu Anggapan Sesat (Unsplash)

Benarkah Orang Suku Sunda Nggak Punya Nyali untuk Merantau seperti Suku Lain?

28 Oktober 2023
Keunikan Suku Semende dari Sumatera Selatan, Ketika Anak Perempuan Sulung Mendapatkan Privilese

Keunikan Suku Semende dari Sumatera Selatan, Ketika Anak Perempuan Sulung Mendapatkan Privilese

31 Mei 2023
culture shock merantau MOJOK.CO

Culture Shock Orang Cirebon yang Merantau ke Yogyakarta Diselamatkan oleh Magelangan Warmindo

8 Juli 2020
5 Makanan yang Cocok Disantap Pakai Kuah Cuko selain Pempek, Silakan Coba dan Buktikan Mojok.co

5 Makanan yang Cocok Disantap Pakai Kuah Cuko selain Pempek, Silakan Coba dan Buktikan

8 Oktober 2024
Culture Shock Orang Jogja Saat Merantau ke Surabaya

Culture Shock Orang Jogja Saat Merantau ke Surabaya: Salah Saya Apa kok Dipisuhi Cak Cuk Terus?

5 September 2023
Mengenal Pagar Alam, Kota Kecil di Tengah Indahnya Pemandangan Alam Sumatera Selatan

Mengenal Pagar Alam, Kota Kecil di Tengah Indahnya Pemandangan Alam Sumatera Selatan

24 Mei 2023
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Pengajar Curhat Oversharing ke Murid Itu Bikin Muak (Unsplash)

Tolong, Jadi Pengajar Jangan Curhat Oversharing ke Murid atau Mahasiswa, Kami Cuma Mau Belajar

30 November 2025
Pengalaman Transit di Bandara Sultan Hasanuddin: Bandara Elite, AC dan Troli Pelit

Pengalaman Transit di Bandara Sultan Hasanuddin: Bandara Elite, AC dan Troli Pelit

1 Desember 2025
Alasan Saya Bertahan dengan Mesin Cuci 2 Tabung di Tengah Gempuran Mesin Cuci yang Lebih Modern Mojok.co

Alasan Saya Bertahan dengan Mesin Cuci 2 Tabung di Tengah Gempuran Mesin Cuci yang Lebih Modern 

5 Desember 2025
Menengok Bagaimana Penjaga Palang Kereta Api Bekerja, Termasuk Berapa Gajinya dan Gimana Cara Mendaftarnya  

Menengok Bagaimana Penjaga Palang Kereta Api Bekerja, Termasuk Berapa Gajinya dan Gimana Cara Mendaftarnya  

1 Desember 2025
Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

1 Desember 2025
8 Alasan Kebumen Pantas Jadi Kiblat Slow Living di Jawa Tengah (Unsplash)

8 Alasan Kebumen Pantas Jadi Kiblat Slow Living di Jawa Tengah

3 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lagu Sendu dari Tanah Minang: Hancurnya Jalan Lembah Anai dan Jembatan Kembar Menjadi Kehilangan Besar bagi Masyarakat Sumatera Barat
  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.