Derita Lulusan ISI Jogja, Lulus Tak Menjamin Langsung Bisa Menafkahi Diri karena Sarjana Seni Kurang Dibutuhkan Industri

Derita Lulusan ISI Jogja, Lulus Tak Menjamin Langsung Bisa Menafkahi Diri karena Sarjana Seni Kurang Dibutuhkan Industri

Derita Lulusan ISI Jogja, Lulus Tak Menjamin Langsung Bisa Menafkahi Diri karena Sarjana Seni Kurang Dibutuhkan Industri

Banyak hal menguntungkan yang bisa didapat jika masih menyandang status sebagai mahasiswa. Sebagai alumni ISI Jogja, ada penyesalan kecil karena lulus kuliah tepat waktu, bahkan mendahului teman-teman sendiri.

Saya dulu selesai kuliah dalam waktu 3,5 tahun, sebuah anomali bagi anak kampus seni. Ada beberapa derita yang dirasakan oleh lulusan ISI Jogja, atau malah disadari oleh mahasiswa on-going yang sudah terlanjur nyemplung.

Berbuat salah itu lumrah, kan mahasiswa masih belajar

Mengapa lebih menguntungkan jika masih berstatus mahasiswa terutama di ISI Jogja? Jawabannya karena banyak proyek kesenian, magang, dan banyak kegiatan lainnya mensyaratkan peserta masih mahasiswa. Status tersebut meligitimasi banyak hal, termasuk bahwa mahasiswa masih belajar dan diperbolehkan membuat kesalahan. Kalau ada honorarium pun nggak perlu dalam hitungan yang profesional.

Perbedaan yang terasa itu kalau statusnya sudah lulus, jadinya merasa bertanggungjawab dan harus berbuat hal yang benar. Dalam hal apa pun, lulusan ISI Jogja (dan ya lulusan kampus lain pada umumnya) dianggap punya keilmuan yang tinggi sehingga tidak berhak melakukan kekeliruan seperti para mahasiswa. Tidak ada ruang untuk kesalahan, sekalipun itu untuk pemula.

Tidak semua lowongan kerja butuh sarjana seni

Kenyataan pahit yang harus ditelan para lulusan ISI Jogja adalah tidak semua perusahaan di dunia kerja membutuhkan sarjana seni. Mungkin lulusan dari program studi desain, animasi, film, dan yang berbasis digital lainnya masih peluang mendapat kerjaannya lebih tinggi. Tapi yang lain, beda cerita.

Di luar kebutuhan tenaga yang tadi saya sebutkan, lulusan dari program studi seni yang lain tidak punya tempat, atau bisa dikatakan sangat sedikit. Mau jadi aktor dan penari, saingannya banyak. Mau jadi perupa dan musisi ternama juga prosesnya lama. Pokoknya nggak masuk akal lah, bikin pening. 

Dilema mahasiswa ISI Jogja: kalau pulang nyusahin ortu, mending cuti dan kerja apa pun

Saya kenal beberapa teman, bahkan seangkatan saya yang menolak untuk menyelesaikan studi, tapi juga enggan untuk membulatkan keputusan dan pulang ke kampung halaman. Walau sudah lazim terjadi, itu sangat disayangkan. Mereka merasa kuliah di ISI Jogja tidak sesuai dengan passion. Pembelajarannya nggak masuk, mending bolos aja dan cari kegiatan lain.

Saya serius, beberapa sudah putus asa dan nggak mau pulang ke orang tua. Kembali ke kampung halaman hanya akan menjadi beban dan menyusahkan orang tua. Menyelesaikan seluruh SKS dan skripsian juga nggak berminat, akhirnya milih menetap dan ambil cuti, setelah itu cari kerja serabutan. Mereka terombang-ambing dalam pusara ketidakpastian.

Baik yang lulus atau pun belum lulus, banyak teman yang saya kenal akhirnya menyerah dan tidak mengabdi lagi pada dunia seni. Ada yang lulus akhirnya pilih menjadi barista, admin sosial media, begitu juga koki dan waitress. Itu semua demi membiayai hidup, menyambung hari demi hari, dan bulan demi bulan entah hingga kapan di perantauan yang kejam dan tak kenal ampun.

Baca halaman selanjutnya

ISI Jogja harus berbuat sesuatu

Pesan untuk ISI Jogja

Sejak kampus ini mengalami perubahan kebijakan, banyak mahasiswa dari berbagai latar belakang bisa masuk dan bergabung. Kuota penerimaannya juga bertambah banyak hingga 4 kali lipat jumlahnya, termasuk di program studi saya. Di saat yang sama, ISI Jogja belum siap mencetak generasi yang mampu mengisi kekosongan di industri dan berkontribusi bagi dunia kerja. Sangat sedikit yang benar-benar diserap dunia kerja. Jadinya oversupply. 

Saya hanya bisa iba sama mereka yang berekspektasi tinggi, berharap masuk ISI Jogja bisa jadi pelaku seni yang hebat dan mudah mencari uang. Padahal pada kenyataannya, kampus yang terletak di Sewon Bantul ini turut berkontribusi mencetak banyak pengangguran dan lulusan yang profesinya menyeberang dari koridor keilmuan. 

Saya tetap bangga jadi lulusan ISI, tapi juga berharap semakin gencarnya penguatan hardskill, softskill dan mendorong mereka untuk bereksplorasi ke lintas bidang. Supaya kelak, lulusannya bisa turut menciptakan lapangan pekerjaan untuk adik-adik almamaternya, bukan menambah angka pengangguran begitu dan melestarikan mata rantai kemiskinan. 

Penulis: Lintang Pramudia Swara
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Bertahun-tahun Tinggal di Sewon Bantul Bikin Paham Dunia Gelap Mahasiswa ISI Jogja, Warga sampai Pasrah

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version