Hidup di daerah transmigrasi tidak selalu enak, lebih banyak tantangannya. Setidaknya itulah yang saya rasakan di daerah Musi Rawas Sumatera Selatan. Kalian dapat dengan mudah menemukan orang Jawa di kabupaten ini karena program transmigrasi yang dilakukan pemerintah bertahun-tahun lalu.
Transmigrasi merupakan program pemerataan penduduk di wilayah baru yang masih minim pemukiman. Ada beberapa alasan seseorang memilih bertransmigrasi. Salah satunya, ingin terhindar dari hiruk pikuk kota. Selain itu, kebanyakan dari transmigran ingin memulai kehidupan baru.
Itu mengapa, tidak sedikit dari transmigran yang berharap kehidupannya akan lebih baik daripada ketika hidup di kota. Namun, itu sepertinya sulit terwujud, apalagi di Musi rawas Sumatera Selatan. Selain soal adaptasi, faktor-faktor di bawah ini menjadi keluh kesah penduduk transmigrasi.
Daftar Isi
#1 Musi Rawas Sumatera Selatan sering ada konflik batas wilayah
Sebagai salah satu warga Musi Rawas, saya kerap menemukan penduduk yang mempermasalahkan batas wilayah. Tidak jarang persoalan ini berujung konflik berkepanjangan. Mereka mengeluh lelah berurusan dengan permasalahan semacam ini. Belum lagi setiap ada pembangunan, konflik soal batas-batas ini sudah menjadi hal yang pasti mereka alami.
Adanya konflik soal batas wilayah menjadi salah satu tekanan hidup di wilayah transmigrasi. Hal ini nyata terjadi di Musi Rawas. Bagaimana tidak? Konflik ini bisa saja berkelanjutan hingga menciptakan hubungan yang tak lagi harmonis. Situasi seperti ini tentu membuat beberapa transmigran merasa terasing.
#2 Perekonomian sulit, harga bahan pangan melejit
Wilayah transmigrasi yang rata-rata berada di pelosok kabupaten membuat transmigran kesulitan mencari pekerjaan. Kalau di daerah saya, kebanyakan bekerja sebagai petani karet. Namun, pekerjaan ini tidak menjamin kehidupan yang sejahtera. Itu mengapa tidak sedikit orang tetap merantau ke kota terdekat untuk bekerja.
Di sisi ekonomi sulit, harga pangan pun menjadi masalah bagi para transmigran. Kenaikan bahan pangan yang tak sebanding dengan pendapatan warga menciptakan sebuah tekanan. Apalagi belum lama ini sempat ada kenaikan bahan pangan seperti beras dan minyak. Harga Rp10.000 per 1 kilogram karet nggak menjamin kehidupan para transmigran terpenuhi.
#3 Kecemburuan sosial penduduk setempat
Keberadaan masyarakat transmigrasi kadang kala menciptakan kecemburuan sosial. Kecemburuan ini biasa dipicu pembangunan yang dianggap lebih banyak dilakukan di wilayah transmigrasi. Penduduk setempat justru menilai kesempatan dan peluang lebih besar diberikan kepada warga transmigran, sehingga masyarakat asli merasa tertinggal. Akan tetapi, pada hakikatnya wilayah transmigrasi adalah wilayah pembangunan. Kecemburuan inilah yang membuat transmigran seakan kehadirannya salah di mata penduduk setempat.
Tidak hanya itu. Fanatisme kedaerahan juga dirasakan oleh penduduk transmigrasi di Musi Rawas. Adat dan budaya yang dimiliki para transmigran kadang kala berbanding terbalik dengan adat dan budaya setempat. Situasi seperti ini menciptakan anggapan bahwa kebiasaan adat para transmigran justru menyinggung kebiasaan adat penduduk setempat. Tak ayal, anggapan seperti ini bisa berujung percekcokan. Penduduk transmigran selain merasa terintimidasi mereka juga tidak mendapatkan pengakuan.
Penulis: Cicilia Putri Herlinda
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Mengenal Stasiun Kertapati Palembang, Stasiun Unik yang Terlupakan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.