De Djawatan, Hutan Wisata Banyuwangi yang Nyatanya Nggak Secantik di Media Sosial

De Djawatan, Hutan Wisata Banyuwangi yang Nyatanya Nggak Secantik di Media Sosial

De Djawatan, Hutan Wisata Banyuwangi yang Nyatanya Nggak Secantik di Media Sosial (Unsplash.com)

De Djawatan memang menarik perhatian wisatawan beberapa tahun terakhir ini. Kawasan pepohonan rindang dan sejuk ini menjadi salah satu aset berharga bagi Kabupaten Banyuwangi yang sangat diminati banyak orang, terlebih orang-orang dari luar kota.

Jika kita melihat hutan wisata ini di beberapa platform media sosial, keindahannya seolah tak tertandingi. Bahkan, beberapa influencer ternama Indonesia pun tak sedikit yang mengunjungi tempat ini untuk healing maupun selfie belaka.

Letak geografisnya yang tak jauh dari keramaian kota, membuat hutan kecil ini jadi unik. Terletak di pusat Kecamatan Cluring, Banyuwangi, De Djawatan mudah dikunjungi. Akses jalan menuju ke sana pun lumayan bagus, agak berbeda dengan beberapa tempat wisata lainnya di Banyuwangi yang mayoritas jalanannya terkesan amburadul.

Akan tetapi, bagi saya, De Djawatan masih jauh dari kata memuaskan untuk menjadi tempat wisata. Banyak aspek yang harus dievaluasi dan tentunya menjadi PR bagi pemerintah setempat dan pengelola yang tak boleh dipandang sebelah mata. Jika kekurangan-kekurangan ini dibiarkan begitu saja, bukan tak mungkin dapat merusak ekspektasi wisatawan yang datang ke hutan wisata ini.

Warung kopinya banyak, tapi tempat sampahnya sedikit banget

Salah satu daya tarik hutan De Djawatan Banyuwangi adalah alamnya. Maka nggak usah heran kalau banyak orang pergi ke sana untuk foto-foto dan memposting foto mereka dengan caption “back to nature”. Saking lekatnya dengan alam, hutan wisata ini pun sering dijadikan venue acara beberapa komunitas pencinta alam. Namun gimana jadinya kalau sebuat tempat wisata yang mengandalkan daya tarik keindahan alamnya justru dikelilingi sampah yang berserakan?

Tentu saja hal kontradiktif ini mengganggu semua pihak. Minimnya tempat sampah di De Djawatan Banyuwangi dan kurangnya edukasi kepada wisatawan yang datang, membuat sampah seakan menjadi musuh utama penanggung jawab tempat ini. Kehadiran warung kopi di area hutan wisata ini memang dibutuhkan wisatawan yang datang. Tapi, kalau jumlah warung kopi nggak sebanding dengan tempat sampah yang disediakan, bukankah malah bikin sampah berantakan?

Alih-alih menikmati pemandangan alam yang hijau, cantik, memanjakan mata, wisatawan yang datang malah melihat tumpukan sampah berceceran karena minimnya tempat sampah. Duh.

Baca halaman selanjutnya: Kurang terawat…

Fasilitas di De Djawatan kurang terawat

Di hutan wisata ini, selain dimanjakan oleh pepohonan yang rindang, kita juga bisa bersenang-senang menggunakan beberapa fasilitas untuk berkeliling hutan yang telah disediakan. Misalnya, naik delman, sewa motocross, hingga sewa ATV. Sayangnya, pihak De Djawatan terkesan hanya memikirkan keuntungan tanpa memedulikan perawatan fasilitas-fasilitas tersebut.

Kebetulan rumah saya dan De Djawatan nggak jauh-jauh amat, jadi kadang kalau lagi gabut saya sengaja mampir ke sana untuk ngopi. Seringnya kegiatan cuci mata saya juga terganggu ketika melihat bangunan-bangunan yang mulai kelihatan usang dengan lumut menempel di sekitarnya.

Saya pernah punya pengalaman kurang menyenangkan di tempat ini. Ceritanya ada berbagai spot selfie bagi wisatawan di De Djawatan, salah satunya adalah pohon besar di tengah hutan yang diberi anak tangga agar bisa dinaiki wisatawan yang ingin melihat view De Djawatan dari atas. Ketika saya menaiki anak tangga itu, saya melihat ada beberapa yang keropos. Untungnya waktu itu anak tangganya nggak jebol dan saya nggak jatuh.

Banyak orang masuk naik sepeda motor

Hutan wisata yang awalnya diproyeksikan bagi wisatawan yang ingin menikmati keindahan alam seakan dirusak oleh beberapa oknum yang membawa motor ke dalamnya. Orang-orang yang masuk naik sepeda motor ke dalam De Djawatan Banyuwangi ini adalah wisatawan “jalur belakang”. Jadi, seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya, lokasi hutan ini nggak jauh dari pusat kota, bahkan dekat perkampungan. Hal inilah yang dimanfaatkan beberapa oknum yang ingin masuk ke area hutan wisata secara gratis.

Banyaknya orang yang masuk ke area hutan naik motor ini seakan jadi hal umum. Sebenarnya sih kalau mereka mau masuk lewat jalur belakang, ya itu urusan mereka sendiri. Masalahnya, kebanyakan dari mereka justru mengganggu wisatawan lain yang sedang menikmati alam dengan berjalan kaki karena mereka masuk naik motor. Padahal kan kendaraan bermotor nggak diperbolehkan masuk sampai area hutan.

Kalau hal-hal di atas masih belum bisa diperbaiki pengelola De Djawatan Banyuwangi, bukan tak mungkin wisatawan enggan datang ke sini. Nanti kalau sepi pengunjung, bukannya jadi hutan wisata malah jadi hutan angker lagi. Kan lebih seram.

Penulis: Rino Andreanto
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 5 Tempat di Banyuwangi yang Baiknya Nggak Dikunjungi.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version