Sebenarnya agak ngeri-ngeri sedap waktu pertama kali nonton drakor The Great Shaman Ga Doo Shim. Kalau bukan karena pemain utamanya Kim Sae Ron yang cantik dan Nam Dae Reum calon oppa ganteng, durasinya yang cuma 20 menit dan tayang seminggu sekali sudah membuat saya mundur teratur. Namun, ceritanya yang ringan dan ada romansa khas anak sekolah membuat saya tetap lanjut menonton drakor The Great Shaman Ga Doo Shim ini.
Bayangkan saja, pada episode pertamanya sudah ada adegan siswa bunuh dengan terjun dari gedung tinggi. Meski dalam drama fantasi tersebut siswa bunuh diri karena dirasuki roh jahat, tetap saja hal itu membuat kita bertanya-tanya, apakah bunuh diri bagi siswa SMA di Korea Selatan itu adalah hal yang biasa?
Kasus bunuh diri
Pada tahun 2019, kasus bunuh diri di Korea termasuk dalam 4 besar di dunia, dan nomor satu di Asia dengan angka kematian 28.6 per 100.000 jiwa. Kalau kita melihat data, pada tahun 2015 saja, bunuh diri menjadi penyebab kematian yang cukup tinggi. Untuk usia 10-an, setidaknya ada 27.1 % meninggal dunia karena bunuh diri. Usia 20-an 41.3%, 30-an 35.5%, dan 40-an ada 18.5%.
Selain data, kasus bunuh diri para selebritas Korea juga kerap menjadi sorotan karena seolah-olah menegaskan bahwa kehidupan di Korea itu sangat sulit bagi semua orang. Tahun 2017 ada kasus bunuh diri Kim Jong Hyun dari Shinee dan tahun 2019 ada kasus bunuh diri Sulli dari F(x) dan Goo Hara ex-member KARA. Yang terbaru adalah artis Jo Hana melakukan bunuh diri pada 25 April 2021. Tak hanya selebritas, tahun 2009 juga ada kasus Presiden Roh Moo Hyun bunuh diri. Wali Kota Seoul, kepala sekolah, pemain bisbol, pemain voli, pemain sepak bola profesional juga ada yang bunuh diri. Meski penyebab sebenarnya tak pernah diketahui secara jelas, kasus bunuh diri menjadi sangat biasa di Korea.
Bukankah kalau figur publiknya saja begitu, hal ini bisa saja menjadi semacam kewajaran dan pembenaran kalau orang biasa juga melakukannya?
Metode bunuh diri yang paling umum adalah dengan menghirup racun yeontan karbon monoksida. Ada juga yang terjun dari Jembatan Mapo yang lebih dikenal sebagai jembatan bunuh diri atau jembatan kematian. Angka terbanyak kasus bunuh diri dilakukan orang tua karena mereka merasa menjadi beban bagi anak-anaknya. Sebuah hal yang menyayat hati, ya.
Patriarki budaya kerja yang sangat kuat, kemiskinan, body shaming, dan cyber bullying yang dianggap biasa cukup membuktikan bahwa sepertinya memang tak mudah bisa hidup di Korea dengan santai tanpa tekanan. Meski pemerintah berusaha keras menanggulangi kasus bunuh diri ini, bahkan sampai menamakan Jembatan Mapo menjadi “jembatan kehidupan”, kasus bunuh diri tetap saja masih tinggi jumlahnya.
Sebenarnya ada banyak drakor yang sedikit mengisahkan tentang bunuh diri dengan berbagai penyebabnya. Meski katanya drama itu tokoh dan kejadiannya hanyalah fiktif belaka, setidaknya kita bisa melihat sedikit gambaran realita kehidupan di Korea dari drakor seperti The Snow Queen, Andante, Boys Over Flowers, I Can Hear Your Voice, Pinocchio, Sassy Go Go, Save Me, Oh My Venus, Solomon’s Perjury, dll. Ternyata bunuh diri itu memang ada di Korea.
Anak sekolah stres
Satu tahun ajaran sekolah di Korea terdiri dari dua semester, semester pertama dari bulan Maret sampai Juli dan semester kedua dari bulan Agustus sampai Februari. Anak SMA setidaknya menghabiskan waktu 16 jam dengan kegiatan sekolah, termasuk kursus/ les tambahan di hakwon (semacam bimbel). Orang tua juga berlomba-lomba untuk memasukkan anak mereka ke bimbel terbaik. Bagi orang tua kaya, akan sangat mudah melakukan ini, sementara bagi yang tak mampu, pergi ke bimbel adalah mustahil karena biayanya sangat mahal. Kalau kita melihat dari drakor School 2017 atau drakor sekolahan lainnya, kita bisa melihat bahwa persaingan ranking di sekolah Korea itu sangat sengit, ketat, dan kompetitif.
Kalau dilihat dari data tahun 2015, setidaknya ada 27.1% usia belasan tahun yang masih duduk di sekolah atau awal kuliah memang melakukan bunuh diri ini. Dikatakan juga bahwa 46% siswa SMA Korea mengalami stres. Stres bisa terjadi karena tekanan dari keluarga mereka sendiri karena mengharapkan mereka sukses secara akademik dan bisa masuk universitas favorit sehingga kelak akan mudah mendapatkan pekerjaan. Universitas favorit di Korea itu biasanya disingkat SKY (Seoul National University, Korea University, dan Yonsei University). RM BTS juga sempat menyinggung ini, lho, dalam lagu “Change” dengan menyatakan bahwa pendidikan di Korea terlalu ketat dan membebani mental siswanya. Dalam lagu “N.O”, RM BTS juga mempertanyakan apakah dengan masuk ketiga universitas favorit itu akan membuat siswa dan orang tuanya bahagia padahal siswa dipaksa untuk belajar secara berlebihan yang malah membuat mereka menderita.
Bagi yang tak bisa memenuhi ekspektasi keluarga, mereka akan merasa gagal dan tidak dihargai, bahkan oleh keluarga sendiri. Merasa stres dan depresi, minum alkohol, kekurangan tidur, dan hubungan sosial yang tidak baik bisa semakin membuat siswa-siswa SMA ini semakin tertekan. Malah katanya satu dari tiga siswa SMA Korea pernah berniat bunuh diri dan menghilang dari kehidupan ini.
Terakhir bulan Juli 2021 lalu, ada kasus bunuh diri siswa Gangwon Foreign Language High School bernama Lee Hyun Seob. Meski diduga penyebabnya adalah bullying di asrama, sampai sekarang masih belum jelas kebenaran kasusnya. Lee Hyun Seob meninggalkan surat untuk ibunya dan sempat menulis pesan minta tolong sebelum akhirnya memutuskan untuk bunuh diri. Dari pesan itu, dapat dilihat bahwa Lee Hyun Seob memang mengalami tekanan dan depresi akibat rumor yang beredar di sekolahnya.
Pemerintah Korea Selatan sangat berupaya untuk mencegah kasus bunuh diri di kalangan siswa SMA ini dengan berbagai cara. Di antaranya dengan memperbaiki kurikulum pendidikan, menutup website tentang bunuh diri, melakukan bimbingan konseling dan penyuluhan terhadap siswa di sekolah, memasang sistem anti bunuh diri, menempelkan tulisan-tulisan penyemangat hidup di dinding jembatan dan stasiun, dll.
Ada juga pendirian Sekolah Kematian Seoul Hyowon Healing Center yang menawarkan siswa untuk mencoba merasakan pengalaman kematian. Siswa akan dimasukkan ke dalam peti untuk beberapa saat dan dikunci serta pura-pura akan dikuburkan. Para siswa diharapkan bisa merenungi masalah mereka sendiri-sendiri. Sebelum masuk ke dalam peti, siswa diminta untuk membuat wasiat terakhir dan membawa fotonya sendiri. Sebuah hal yang sebenarnya sangat dramatis. Diharapkan setelah mengikuti pengalaman ini, siswa lebih bersemangat menjalani hidup dan lebih menghargai kehidupannya sendiri.
Meski dalam drakor The Great Ga Doo Shim hanyalah fantasi karena bunuh diri dirasuki roh jahat, kenyataan bahwa SMA tempat Ga Doo Shim belajar melakukan ujian dan perangkingan siswa memang terjadi juga di sekolah-sekolah di Korea.
BACA JUGA Kalau Kamu Pengin Tinggal di Jepang, Jangan Kaget dengan 6 Hal Ini dan tulisan Primasari N Dewi lainnya.