Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) melalui Ketua Majelis Pertimbangannya, Muhammad Asri Anas mengungkapkan bahwa dana desa yang diberikan pemerintah pusat sebesar Rp1-2 miliar itu masih sangat kecil. Oleh karena itu, penyesuain dana desa menjadi prioritas dalam revisi UU Desa.
“Dalam hitungan kami, pagu Dana Desa yang paling ideal itu adalah 8 sampai 10 persen dari APBN. Dengan begitu, setiap desa akan menerima dana desa Rp5 miliar sampai Rp10 miliar” kata Asri dikutip dari Republika.co.id
Sebagai orang yang berangkat dan berasal dari desa yang bapaknya pernah jadi bagian dari perangkat desa, saya sepakat bahwa kemajuan desa membutuhkan pondasi yang kuat dari segi ketersediaan dana dari bantuan pemerintah pusat. Tapi, kucuran dana jumbo yang ketentuannya harus dihabiskan dalam setahun hanya akan memperpanjang deretan kasus penyelewengan dana dan optimalisasi dana yang tidak efektif.
Saya sering menganalogikan desa beserta perangkat dan lurahnya yang tiap tahun menerima kucuran dana desa seperti mahasiswa UKM yang sering kali kebingungan dengan program apa yang harus hadirkan agar dana dari kampus dapat dihabiskan. Ujung-ujungnya, program yang dihadirkan hanya setingkat seminar nasional yang tak memiliki keberlanjutan. Sifatnya populis, hedonis, dan terkesan eksklusif. Sudah begitu berbayar lagi.
Penyerapan Dana Desa yang tidak efektif
Saya teringat dengan cerita teman saya pada 2019 yang begitu bersemangat menyampaikan bahwa desanya sedang menyiapkan proses transformasi menjadi desa digital. Alokasi dana desa untuk menyokong agenda itu hampir dari Rp1 miliar.
Dia membayangkan seluruh warga desa dapat mengakses layanan internet secara gratis karena sudah terintegrasi secara menyeluruh untuk jaringan internet di setiap sudut-sudut desa. Dia juga membayangkan, di setiap pos kamling RT atau RW di desanya akan banyak anak muda yang betah dan bersedia mengikuti agenda ronda malam karena internet mudah diakses dan gratis.
Dia juga sudah berangan-angan, di balai desanya nanti ada semacam tempat khusus untuk mereka yang ingin menikmati fasilitas internet sembari menunggu berkas-berkas desa yang mengurusnya kadang menunggu waktu lama.
Ada optimisme dan harapan. Tapi, itu hanya menjadi utopia di dalam pikirannya. Hanya jadi residu yang kalau diingat kembali membuatnya sangat membenci dengan kepolosannya di masa lalu.
Desanya memang akhirnya terpasang fasilitas wifi, tapi jangkauannya hanya sejauh radius 100 meter dari balai desanya dengan anggaran yang dikeluarkan hampir Rp1 miliar. Angan-angannya runtuh, yang ada hanya para pemuda desa yang nampak seperti para pengemis wifi yang tiap malam nongkrong di depan pagar balai desa sambil menatap gawai mereka. Belakangan, fasilitas wifi itu kini lebih sering mati. Miris memang
Itu hanya satu kasus. Banyak kasus penggunaan dana desa yang ala kadarnya, namun memakan nominal yang sangat besar. Pembangunan jalan desa yang memakan biaya ratusan hingga miliar, tapi kualitas dan ketahanannya amat sangat buruk. Tujuannya agar plotting anggaran desa lebih mudah karena sudah jelas mau digunakan untuk apa.
Ada juga desa yang hanya sibuk mempercantik halaman balai desanya ketimbang membangun fasilitas publik yang mendukung aktivitas masyarakat desanya. Bahkan secara makro, hingga saat ini hadirnya dana desa tak memiliki pengaruh signifikan terhadap ketersediaan lapangan kerja di lingkungan desa. Merantau masih jadi pilihan orang-orang desa dalam mencari kerja.
Jawa Tengah, yang gubernurnya (katanya) sangat peduli sama rakyatnya saja tercatat masih memiliki 923 desa yang masuk dalam zona kemiskinan.
Rentan praktik korupsi
Lebih mengkhawatirkan lagi, dana desa Rp10 miliar itu hanya akan membuat para cukong dan mafia proyek di desa makin tersenyum lebar. Karena mereka tahu, para kepala desa dan perangkatnya hanya akan sibuk mencari strategi bagaimana cara menghabiskan anggaran Rp10 miliar itu, alih-alih merancang program-program pemberdayaan ataupun penyediaan fasilitas publik yang berkualitas untuk warga desa.
Banyak proyek desa yang secara praktiknya kental dengan KKN. Proyek puskesmas desa yang menggarap keluarga dari dari Kepala Desanya. Proyek Sekolah, dianggarkan dengan dana miliaran tapi bangunannya langsung keropos setelah 5 tahun pemakaian. Semua praktik itu tentu berpotensi makin subur ketika dana desa diperbesar jumlahnya.
Desa, dengan segala makhluk yang unik di dalamnya hanya butuh kontrol yang jelas dan kepala desa yang kreatif atas dana desa yang diberikan. Jangan sampai, dana Rp10 miliar itu malah membuat desa menjadi manja dan tidak berdikari dengan seluruh potensi yang dimilikinya.
Saya tidak menganggap bahwa semua desa itu pengelolaan dana desanya tidak efektif dan kreatif. Desa macam Panggungharjo dapat menjadi benchmark bagaimana sebuah desa dapat mengoptimalkan fungsi Bumdes (yang dibangun dari dana desa) secara efektif dan memberdayakan masyarakat sekitar.
Kalau Rp10 miliar itu wajib diberikan kepada desa, maka sebaliknya, desa juga harus wajib dikontrol dan dipantau secara penuh oleh pemerintah pusat. Para Kepala Desa yang kemarin menuntut 9 tahun masa jabatan itu wajib membuat master plan pembangunan ekonomi desa untuk 10 tahun mendatang dari dana desa yang diterima.
Laporan pertanggungjawaban dilakukan langsung di hadapan pemerintah pusat dalam hal ini adalah Kementerian Desa. Siap nggak para Kades-Kades terhormat? Jangan jago kandang hanya mau melaporkan pertanggungjawaban penggunaan dana desa di hadapan masyarakat desa yang sering kalian akali itu.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Penambahan Masa Jabatan Kepala Desa: Kalau 6 Tahun Dirasa Kurang Maksimal, Mungkin Situ Memang Ampas