Daihatsu selalu hadir di keluarga saya sebagai pabrikan kendaraan nomor satu, seolah Daihatsu itu sendiri merupakan nama marga kami. Mulai dari Zebra, Espass, Hijet 1000, hingga Charade tahun 1984, pernah mampir dalam sejarah keluarga kami. Bapak saya mungkin maniak Daihatsu, tapi saya nggak. Lantaran nggak banyak kenangan baik yang tersimpan buat saya terkait Daihatsu. Meski begitu, jasanya tak pernah saya lupakan, apalagi itu adalah pabrikan mobil pertama yang saya pegang kemudinya.
Daihatsu Charade 84 adalah sebuah mobil yang hadir ke dunia untuk memberikan kebahagiaan. Bukan untuk saya, tapi untuk orang-orang yang tertawa dan mengejek mobil itu. Tentu nggak masalah. Saya menganggap beda selera itu bukan masalah karena saya sendiri juga setuju. Saya nggak suka bentuk Daihatsu Charade.
Mobil yang sebaya dengan Daihatsu Charade banyak yang lebih keren. Sebut saja Toyota Starlet atau Honda Civic Wonder. Si Charade ini serba nanggung. Dibilang cepat, jelas nggak. Desain tubuhnya juga kurang gahar dan sporty. Interiornya pun seadanya. Tapi, itu harus bisa kita maklumi bersama. Harganya yang murah seperti cucunya, si Ayla, membuat kita nggak boleh berharap banyak.
Yang paling terasa mengganggu adalah keadaan tubuhnya. Ia seakan terbuat dari kardus. Kena air sedikit bisa lumer. Engsel pintunya susah untuk rapat, wajar ditemui pada mobil Charade lain. Lantainya juga mudah berlubang saking tipisnya. Tubuhnya ringkih dan nggak layak untuk pergi jauh.
Tapi, dari semua masalah itu, akhirnya saya menyadari banyak hal lain dari dirinya. Ia memberikan banyak pelajaran hidup pada saya. Kadang, hidup memang harus penuh perasangka baik dan sesekali boleh mengutip quote bijak.
Daihatsu Charade ini punya mesin super irit, begitu juga kecepatannya. Ia menyadarkan saya bahwa nggak baik mengumbar nafsu dan memberi pelajaran soal hubungan timbal balik. Ia tak banyak menuntut, cukup lima liter untuk jalan-jalan sepuas hati. Karena saya memberi sedikit padanya, maka saya nggak boleh berharap yang muluk-muluk. Mobil ini irit dan nggak menyusahkan dompet, nggak seharusnya saya mencercanya. Harganya yang murah bikin saya harus bisa memaklumi segala keterbatasannya.
Daihatsu Charade nggak bisa ngebut. Di atas 80 km/jam tubuhnya bergejolak meski aspalnya halus. Mirip rasanya dengan naik odong-odong dua ribuan satu putaran. Bahkan bendi Parangtritis dengan kuda paling binal sekalipun lebih halus jalannya. Saya harus bisa menahan diri dan memahami kondisi. Menahan nafsu, itu kuncinya.
Meski ada yang menyerempet si Charade, saya nggak boleh mengejar. Bahkan motor Beat yang mungkin belum lunas sekalipun, nggak berani saya kejar. Takut si Charade ambrol. Sikap sabar dan nrimo ing pandum ia ajarkan dengan sangat baik.
Pintu yang bergetar di kecepatan 40 km/jam selalu membuat saya ingat dengan Tuhan. Saya masih ingin hidup dan menyambung mimpi-mimpi saya. Kesenggol sedikit, saya yakin mobil itu bisa gepeng, begitu juga orang di dalamnya. Mobil ini pernah nggak sengaja ditendang anak kecil. Pintunya langsung singit, miring seketika. Jangan sampai ada yang duduk di kapnya. Jaminan ambles, seperti lumpur hisap.
Kondisinya yang serba bikin pekewuh, membuat keluarga saya selalu berhati-hati. Sabuk pengaman selalu terpasang, kecepatan maksimal 50 sampai 60 km/jam, dan yang pasti selalu berdoa. Ya, membuat penumpangnya mengingat Tuhan, itulah kehebatan dari Daihatsu Charade. Mobil kecil yang mampu berdakwah. Mirip para peserta dai cilik. Ia hadir untuk mengingatkan saya tentang Tuhan.
Saya sering lupa dengan Tuhan. Saya manusia yang kurang baik. Beda halnya saat sudah di atas mobil itu. Ujuk-ujuk tingkat religiositas saya meningkat dengan signifikan. Bisa turun dari mobil itu dan selamat sampai tujuan adalah bukti perjalanan dengan tingkat spiritual paling puncak dalam hidup saya. Saya makin percaya dengan kuasa dan rahmat Tuhan. Dan itu tak hanya sekali, melainkan berkali-kali.
Ia memang bukan Honda Jazz atau pun LCGC baru lainnya yang kalau kita naiki rasanya nggak mau berhenti. Berbeda dengan Daihatsu Charade 84 yang bikin kapok melulu. Pada akhirnya, mobil itu memang dijual. Tapi jangan khawatir, saya tetap masih alim. Bukan karena iman saya yang tinggi, apalagi ibadah saya yang makin lancar, melainkan karena bapak saya memutuskan membeli Daihatsu Zebra 90-an yang perilakunya sama saja. Yah, setidaknya kami bisa berbagi pengalaman spiritual dengan lebih banyak orang.
Sumber Gambar: Love Krittaya via Wikimedia Commons
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.