Dulu bude pernah menasehati saya mengenai petungan weton. Katanya, “Nek arepe rabi nggak usah ngitung weton, Er. Timbang getun.” (Jika mau menikah tidak usah menghitung weton, Er. Daripada menyesal). Iya juga, pikir saja. Kalau hasilnya bagus, sih, nggak apa-apa. Lha kalau hasilnya jelek, terus malah menjadikan beban pikiran? Lama-lama kita tersugesti pula. Namun, bukankah weton juga menentukan hari-hari baik untuk menikah?
Sebenarnya, saya tengah dekat dengan seseorang. Sebut saja namanya Mas. Sedari awal saya sudah merasa cocok dan klik dengannya. Lantaran ingin tahu wetonnya apa, saya pun menanyakan tanggal lahirnya. Saya ingin tahu karakternya berdasarkan wetonnya, meski kadang banyak yang nggak sama. Sekaligus saya pengin tahu perhitungan weton kami. Saya sih, berharap bagus.
Di zaman yang serba canggih ini pun, weton bukan lagi sebagai aib. Sebab dengan tahu kapan lahirnya, tinggal cek di Ki Demang dan akan terlacak wetonnya.
Ah iya, bagi yang nggak tahu apa itu weton, weton adalah hari lahir seseorang dengan pasaran-nya. Pasaran di sini yang dimaksud adalah penyebutan lima hari dalam tanggalan Jawa yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Setiap weton memiliki neptu atau jumlah angka dari suatu hari dan pasaran. Misalnya, weton Sabtu Pahing. Sabtu mempunyai nilai 9 dan Pahing juga bernilai 9. Maka neptu-nya adalah 18.
Nah, kembali kepada weton si Mas. Betapa terkejutnya saya ketika tahu pasaran-nya Pahing. Sedangkan saya mempunyai pasaran Wage. Dan dalam kepercayaan Jawa, pernikahan antara Wage dan Pahing (Geyeng) itu tidak baik karena akan banyak percekcokan dan tidak akan bertahan lama. Seketika nasihat bude saya terngiang-ngiang. Mau pura-pura tidak tahu, sudah terlanjur tahu. Jawa keras, Lur. Weton ora pas tresnamu kandas (Jawa keras, Lur. Weton tidak pas cintamu kandas).
Sebenarnya dalam menentukan kecocokan pasangan, ada pula perhitungan neptu. Setiap pasangan dicari neptu-nya dan dijumlahkan. Misalnya pasangan mempunyai weton sama-sama Sabtu Pahing yang mempunyai neptu 18. Maka 18+18=36. Angka 36 tersebut yang menjadi patokan dalam menentukan nantinya rumah tangganya akan seperti apa. Atau angka 36 tersebut dibagi 5 atau 7, sisa dari pembagian tersebut yang dijadikan patokan hubungan berumah tangga nantinya.
Setiap weton mempunyai hari naas dan hari baik. Hari naas ini artinya hari yang tidak baik untuk melakukan acara, berpergian, dan sebagainya. Hari naas ini juga diyakini sebagai keadaan lemahnya seseorang. Maka inilah alasannya orang tua kita mewanti-wanti agar jangan sampai weton kita diketahui orang banyak. Nah untuk hari baik ini, dalam acara pernikahan dijadikan rujukan untuk ijab kabul dan melaksanakan resepsi. Njlimet kan, ya?
Dalam perhitungan neptu ini, antara saya dan si Mas ketemu hasil yang bagus. Penjumlahan weton saya dan Mas ini ketemu tinari, yang artinya akan banyak menemukan kesenangan, banyak rezeki, tidak sampai hidup kekurangan, dan akan banyak mendapatkan begja. Tapi kok ya terganjal di Geyeng?
Alasan mengapa Wage dan Pahing ini dilarang, karena keduanya sama-sama mempunyai watak yang keras, ngeyel, dan tidak mau mengalah. Wage yang keras kepala dan Pahing yang tidak mau kalah. Sehingga timbul percekcokan dan rentan pisah. Namun apakah pasangan yang bukan Wage dan Pahing menjamin tidak ada percekcokan dan tidak rentan pisah? Bukankah dalam rumah tangga selalu ada masalah, bergantung bagaimana kita menyikapi dan menyelesaikannya?
Toh sebenarnya selama saya kenal dengan si Mas, belum pernah (dan semoga jangan) ada permasalahan yang serius sampai gontok-gontokkan mempertahankan pendapatnya. Sejauh ini perdebatan paling banter ya pendapat si Mas tentang buah matoa yang disebutnya buah kelengkeng. Dan ia tidak mau mengalah. Eh itu penting nggak, sih? Wkwkwk.
Justru yang saya khawatirkan adalah bagaimana kalau nanti orang tua saya tahu kalau kami ini Geyeng? Meski orang tua saya tak pernah menyinggung sama sekali masalah Geyeng ini, tapi untuk urusan kepercayaan mencari jodoh menurut pakem Jawa, orang tua saya termasuk yang garis keras. Apalagi ibu, beliau sering mewanti-wanti saya untuk tidak menikahi lelaki yang ini dan itu, dalam kepercayaan Jawa tentunya.
Lalu, bagaimana kalau kami tetap ingin melanjutkan ke jenjang pernikahan karena “kadung tresna”?
Lantaran keresahan ini, saya pun curhat kepada teman saya. Sebut saja namanya si Mbak. Ia berkata, “Semua bisa diatur, Er. Aku punya teman yang orang tuanya Geyeng dan masih bertahan hingga saat ini. Hanya saja, mereka menyiasatinya dengan salah satu memilih bekerja di luar kota. Saat mereka bertemu pun, pasti berantem. Tapi nggak sampai lempar-lemparan piring, masih dalam kewajaran. Makanya, untuk meminimalisir sering bertemu inilah mereka memutuskan LDR. Ya kuncinya satu, saling percaya.”
Karena cerita dari si Mbak ini, saya berniat untuk terus melangkah berjuang. Memperjuangkan cinta saya. Eaaa, dasar bucin!
BACA JUGA Sudahlah, Ramalan Weton Itu Kan Nggak Penting-Penting Amat atau tulisan Ervinna Indah Cahyani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.