Cilandak vs Cipayung: Sama-sama Daerah Pinggiran Jakarta, tapi Vibe-nya Beda Jauh, Cilandak Lebih Mahal, Lebih Mewah!

Cilandak vs Cipayung: Sama-sama Daerah Pinggiran Jakarta, tapi Vibe-nya Beda Jauh, Cilandak Lebih Mahal, Lebih Mewah!

Cilandak vs Cipayung: Sama-sama Daerah Pinggiran Jakarta, tapi Vibe-nya Beda Jauh, Cilandak Lebih Mahal, Lebih Mewah! (Dokumentasi penulis)

Lagi-lagi saya dihempas kenyataan betapa bedanya Jaksel dengan Jaktim. Ini semua gara-gara pengalaman saya ke Cilandak kemarin, dan membandingkannya dengan Cipayung, tempat saya tinggal.

Hampir seluruh kehidupan saya berputar di Jakarta Timur. Dari lahir, tinggal, sampai sekarang bekerja. Baru-baru ini saya akhirnya berkesempatan tinggal sebentar di Jaksel. Bukan untuk alasan yang menyenangkan sih, saya di sana untuk menemani ibu yang dirawat di RS Fatmawati di Cilandak Jaksel.

Ibu sempat masuk HCU selama seminggu. Di ruang ranap itu, keluarga nggak boleh menemani di dalam kamar. Rumah sakit menyediakan “ruang” tersendiri buat penunggu pasien HCU tapi saya memilih buat nggak bermalam di sana. Alasannya apa, lebih baik disimpan buat tulisan lain saja. 

Syukurnya, ada kawan saya yang rumahnya dekat dari RS Fatmawati. Saya putuskan untuk menginap di sana saja. Selama menginap di sana, saya jadi merasakan langsung keseharian versi orang Jaksel. Saya nggak nyangka, ternyata rasanya begitu berbeda dengan kehidupan di Jakarta Timur. 

Padahal ini masih sama-sama di Jakarta! Tapi kesenjangan antara dua kawasan ini tidak bisa diabaikan.i

Cilandak vs Cipayung: kesenjangan imej

Tak hanya sama-sama di Jakarta, Cilandak dan Cipayung pun sama-sama berada di pinggiran wilayah Jakarta. Dua “pojok Ibu Kota” secara harfiah. 

Saya baru menyadari fakta ini, ya ketika menginap di rumah teman saya. Sebelumnya, saya selalu membayangkan Cilandak sebagai kawasan elit Jaksel yang dekat pusat kota. Soalnya begitulah narasi marketingnya orang properti.

Cilandak punya Cipete dan dekat dengan Blok M, dua tempat paling kalcer se-Jakarta. Di Cilandak juga banyak perkantoran besar dan RSUP Fatmawati, tujuan rujukan segala rumah sakit lain di Jakarta. Dengan semua kesibukan itu, Cilandak nggak mungkin pinggiran Ibu Kota dong. 

Pinggir Ibu Kota tuh kayak rumah saya di Cipayung, Jakarta Timur. Yang selalu disangka Jakarta coret sama banyak orang. Yang kalau nggak ada Mabes Hankam, rasanya nggak cukup penting untuk dianggap sebagai bagian dari Ibu Kota.

Tapi tuan rumah saya kekeh. “Ini Jakarta pinggiran, Kar! Nggak jauh dari sini udah Depok sama Tangsel tau,”

Saya melirik maps. Ternyata betul, batas selatannya Cilandak adalah Cinere, Depok. Dan sebelah baratnya adalah Kota Tangerang Selatan.

Saya pikir, sama dong kayak Cipayung di Jakarta Timur. Batas selatan Kecamatan Cipayung juga Depok, lho! Bisa-bisanya dua kecamatan yang sama-sama bersinggungan dengan Depok nan ajaib itu punya vibes serta imej yang begitu kontras.

Pembayaran cashless

Salah satu penyebab kesenjangan imej itu tentunya adalah perbedaan gaya hidup. Cilandak dan Cipayung punya gaya yang berbeda dalam melakukan banyak hal. Perbedaan itu hingga ke aktivitas paling biasa namun penting dalam kehidupan manusia, yaitu bertransaksi. 

Betapa terkejutnya saya ketika bisa bayar warung seafood di Cilandak menggunakan QRIS. Sederhana, tapi warung seafood di Cipayung nggak bisa. 

Padahal, dibanding dengan yang saya kunjungi di Cilandak, warung-warung seafood langganan saya di Cipayung itu jauh lebih besar dan ramai. Tapi bayarnya masih kudu pake cash. 

Jangankan warung makan. Tempat cuci mobil di Cilandak yang dari luar terlihat abal-abal juga bisa nerima QRIS dan kartu debit. Iya, kartu debit. Sedangkan di Cipayung, terutama daerah Ceger, rasanya nggak ada deh tempat cuci mobil & motor yang cashless. 

Pokoknya, di Cipayung kamu masih bakal kesulitan bertransaksi kalau lupa tarik tunai minimal sekali seminggu. Kontras dengan Cilandak yang ramah buat manusia cashless.

Serba lebih mahal 10 ribu

Entah mana yang duluan membayangi Cilandak: imej elit atau harga serba mahal. Hampir segalanya di Cilandak itu lebih mahal daripada di Cipayung.

Contohnya tempat cuci mobil abal-abal itu. Jasa cuci mobil biasa di tempat seperti itu ditarif Rp45 ribu. Kalau di Cipayung, harga segitu sudah bisa cuci hidrolik tau! Sedangkan harga cuci mobil biasa hanya Rp35 ribu. Dan di tempat cuci mobil yang proper pula. 

Selain itu, yang paling bikin jiwa ngirit ini menjerit adalah tarif parkir rumah sakit yang lebih mahal. Ibu saya sebelum ke RS Fatmawati sempat dirawat di rumah sakit dekat rumah, yaitu RS Adhyaksa. Di RS Adhyaksa, tarif parkir rawat inap adalah Rp10 ribu perhari. 

Sementara di Fatmawati, tarifnya Rp20 ribu per hari! Padahal, apa sih yang beda? Kan, sama-sama numpang naro mobil doang. Kenapa mesti lebih mahal sih??? Jaksel oh Jaksel.

Macet sampai malam

Kesenjangan selanjutnya yang saya rasakan antara Cilandak di Jaksel dengan Cipayung, Jakarta Timur adalah tentang definisi jam malam. Ada beberapa hari ketika saya baru balik dari RS Fatmawati di atas jam 9 malam. Saya kira, jalanan ke rumah teman saya bakalan lengang. Soalnya, jam 9 itu udah bukan rush hour pulang kantor, kan?

Salah besar! Sesampainya saya di persimpangan Jalan Raya TB Simatupang-Jalan Raya RS Fatmawati, wah jangankan lengang. Yang ada malah sebaliknya! Baik mobil maupun motor jalannya merayap. Padahal hari nggak hujan, dan bukan weekend pula.

Selain memang masih banyak pengendara yang memadati jalan, ada juga pool taksi dadakan yang menyumbat arus lalu lintas di persimpangan besar itu. Hamparan warna biru taksi Bluebird dan Xanh XM menghiasi pinggiran Jalan TB Simatupang, nggak jauh dari kolong Stasiun MRT Fatmawati. Mereka mangkal di depan sebuah SPBU Pertamina, menyulapnya menjadi pool taksi dadakan ketika malam tiba. 

Makin malam, makin ramai yang mangkal. Siap mengangkut pekerja Ibu Kota yang turun dari MRT setelah lembur sampai begitu larut. 

Melihat kemacetan hingga lewat jam 9 ini tentunya bikin saya agak culture shock. Soalnya, pemandangan padat merayap di Jalan Raya Mabes Hankam sebagai jalanan terbesar di Cipayung hanya ada sampai jam 8 malam. Selepas itu sudah lengang total, ibarat mengundang buat kebut-kebutan. 

Cilandak terlalu sibuk bagi warga Cipayung yang terbiasa nyantai

Ramainya suasana Cilandak bikin saya rindu dengan ketentraman Cipayung. Apalagi teman saya juga cerita, setelah ada stasiun MRT di dekat rumahnya, kawasan situ jadi nggak aman. Kelewat banyak orang yang bukan warga lokal berlalu lalang di sekitar rumah dia untuk ke stasiun MRT. 

Memang jadi pro kontra tersendiri sih, tinggal di daerah yang padat dengan kesibukan. Di satu sisi, dekat dengan segala fasilitas terbaik bisa sangat memudahkan hidup. Tapi di sisi lain, banyak orang yang nggak kita kenal pada berdatangan pula ke fasilitas tersebut. Sebut saja RS Fatmawati dan Stasiun MRT Fatmawati, dua fasilitas yang mengundang keramaian nyaris 24 jam di sekitar rumah teman saya. 

Saya terbiasa tinggal di daerah yang bersinonim dengan kata santai. Maka bagi saya, menjadi pengalaman tersendiri untuk bisa merasakan tinggal di Cilandak, Jaksel yang begitu sibuk meski hanya beberapa hari. 

Suatu pengalaman yang awalnya saya pikir bakal biasa-biasa saja, mengingat toh saya bukannya ke luar kota. Saya masih di dalam Jakarta juga. Tapi ternyata pengalaman ini menjadi menarik ketika saya mulai menyadari berbagai detail perbedaan, serta kesamaan geografis yang tak disangka-sangka antara Cilandak Jaksel dengan Cipayung, Jakarta Timur.

Penulis: Karina Londy
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Cilandak Jakarta Selatan Daerah Elite tapi “Tak Aman”, Gaji di Bawah UMR buat Kredit Motor Langsung Hilang sebelum Sebulan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version