Caping vs Esai Mojok: Dua Kutub Berbeda yang Menyemarakkan Dunia Literasi Kita

caping mojok MOJOK

caping mojok MOJOK

Caping: Catatan Pinggir. Sebuah rubrik awet yang diisi oleh Goenawan Mohamad (GM) di Majalah Tempo. Ya, sampai sekarang masih ada. Bertahan lebih dari 4 dekade.

Saya suka membaca Catatan Pinggir. Ada satu kesan yang saya dapatkan ketika membaca Catatan Pinggir. Tidak pernah berusaha membuat pembacanya paham. Dengan segala ke-mlipiran-nya, belak-beloknya, kutipan-kutipannya dan keragu-raguan penulisnya, tidak pernah saya mendapatkan semacam kesimpulan yang jelas dari catatan pinggir.

Saya tidak tahu, mengapa bisa seperti itu tetapi disukai orang banyak. Termasuk saya. Mungkin, sebagaimana menonton film misteri dengan plot twist. Senang dibuat merasa penasaran, walaupun pada akhirnya menggantung juga.

Mahbub Djunaedi, di dalam bukunya, Kolom Demi Kolom, yang diterbitkan Ircisod, salah satu penerbit dari Diva Press Grup, GM memberikan pengantar. Di dalam pengantar itu GM mengatakan bahwa beliau iri dengan Mahbub Djunaedi yang bisa menyampaikan gagasan atau respons terhadap isu-isu penting dengan balutan humor. Yang tentu saja membuat orang mudah mencernanya.

Pada 2014, Mojok dot Co rilis dengan jargon andalannya: “Sedikit nakal banyak akal”. Dan saya kira, kendati gaya humornya berbeda dengan Mahbub Djunaedi, esai Mojok menjadi semacam reinkarnasinya Mahbub Djunaedi.

Esai Mojok tidak hanya memuat tulisan-tulisan menghibur yang terkesan receh namun asyik saja. Banyak juga tulisan-tulisan dari penulis atau bahkan tokoh dengan kredibilitas yang diakui, yang tulisannya diterbitkan Mojok. Ariel Heryanto, Hairus Salim, Eka Kurniawan, Mahfud Ihwan, Iqbal Aji Daryono, Kalis Mardiasih, Abdul Gaffar Karim, Ulil Abshar Abdalla, Hasanudin Abdurakhman, hingga Muhidin M Dahlan. Itu beberapa penulis kenamaan, baik yang muda atau tua yang tulisannya terbit di rubrik Esai Mojok.

Salah satu ciri utama dari tulisan-tulisan di Esai Mojok adalah bahasanya yang ringan dan jenaka. Bisa dikatakan sangat mudah dipahami pembaca. Kalau tulisan-tulisan di mojok bisa dipahami dengan empat kali seruputan teh hangat, tulisan-tulisan di Caping bahkan tidak bisa dipahami setelah menghabiskan empat gelas teh hangat dengan gelas-gelas besar seperti di warung-warung.

Ibarat kutub, Caping dan Esai Mojok adalah dua kutub yang sangat bertolak belakang. Namun, tetap asyik. Keduanya menyemarakkan dunia literasi kita.

Lalu mana yang terbaik? Tergantung sudut pandangnya. Kalau dari sudut pandang estetika, dalam artian lembut, bertempo sedang namun misterius, tentu saja tulisan-tulisan Caping lebih baik. Kalau dari sudut pandang estetika, dalam artian yang kasar, bertempo cepat, dan blak-blakan  tentu saja tulisan-tulisan esai Mojok lebih baik.

Dari segi ketersampaian gagasan, kalau dari sudut pandang menyukai keragu-raguan, tidak berniat membuat pembaca paham Caping lebih baik. Tetapi kalau dari sudut pandang kejelasan gagasan, ingin membuat pembaca paham, dan menghibur tentu saja Mojok lebih baik.

Kalau mau digeneralisasi kemudian keduanya ditandingkan tidak bisa. Keduanya istimewa sesuai wilayahnya sendiri-sendiri.

Namun, yang jelas, orang tidak akan bisa menjadi GM. Kalau ada orang sekarang-sekarang ini mencoba meniru gaya GM dengan porsi akut dalam menulis, alih-alih dibaca, tulisan itu akan dilempar jauh-jauh oleh redaktur mana pun. Yang bisa menjadi GM, dan sah menjadi GM dengan catatan pinggirnya hanya GM sendiri.

Kalau esai Mojok, sejauh yang saya lihat lebih luwes. Tulisan-tulisan di rubrik Esai tahun 2014 dengan 2020 berbeda. Kalau dulu secara tema suka-suka. Sekarang lebih terkesan memilih isu-isu penting saja. Kalau bukan isu-isu penting, memuat tema receh yang benar-benar pilih tanding asyiknya ketika dibaca. Tentu saja dengan karakter tulisan standar esai Mojok.

Caping itu prasasti. Oleh karenanya tidak ada yang bisa menyamai, juga tidak bisa berkembang. Ya sudah seperti itu. Esai Mojok sangat bisa berkembang. Berubah-ubah sesuai tren tulisan yang populer di masa-masa tertentu.

Keduanya berpotensi untuk berumur lebih panjang lagi. Kalau Caping sudah terbukti berumur sangat panjang dan agaknya juga akan terus ada. Itu terjadi karena bentuk patennya. Kalau esai Mojok, walaupun relatif sangat muda jika dibandingkan Caping, dari segi gaya tulisan yang adaptif dengan perkembangan zaman, rubrik Esai Mojok juga bisa berumur panjang.

Perbedaan-perbedaan itu tak perlu memicu untuk saling hujat sebagaimana para penggemar anime. Perbedaan-perbedaan itu patut kita syukuri. Bagaimanapun itu semua bagian dari proses berkembangnya dunia literasi kita. Sekian.

BACA JUGA Anime Menyelamatkan Saya dari Hasutan “Bakal Drakor Pada Waktunya” dan tulisan Dani Ismantoko lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version