Bulan Puasa Gini Enaknya Nyinyirin Dinasti Bupati Kediri

dinasti politik kediri bupati simpang lima gumul arc de triomphe paris mojok

dinasti politik kediri bupati simpang lima gumul arc de triomphe paris mojok

Saya nggak akan ikut campur terlalu dalam soal skandal Bupati Klaten yang membagikan hand sanitizer bertempelkan foto dirinya. Selain karena saya bukan warga Klaten, kabupaten saya sendiri juga punya masalah yang serupa tapi tak sama, yakni rezim keluarga yang bergantian menguasai Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

Dinasti politik di Kediri bermula ketika Pak Soetrisno mulai berkuasa dua periode sejak 1999 hingga 2009, yang kemudian dilanjutkan istrinya Hariyanti Soetrisno mulai 2010 hingga sekarang (ini adalah periode keduanya). Konon, setelah masa jabatan sang istri berakhir tahun ini, mereka sudah menyiapkan orang dekat yang akan meneruskan visi “pembangunan” mereka.

Saya disini nggak akan ngomongin yang berat-berat seperti kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang isunya sudah beredar liar di masarakat. Saya di sini hanya akan menyorot kebijakan-kebijakan yang sudah dan yang harusnya mereka hasilkan.

Meskipun sebenarnya sangat banyak yang pingin saya nyinyirin, saya hanya akan membeberkan tiga saja terlebih dahulu sebagai pemanasan.

Pembangunan Simpang Lima Gumul

Di awal pembangunannya, bangunan ini digadang-gadang akan menjadi ikon kebesaran Kabupaten Kediri untuk menarik wisatawan dari luar Kediri berbondong-bondong mengunjunginya. Ending yang diinginkan, rakyat Kabupaten Kediri bangga mempunyai ikon sebesar dan seterkenal ini.

Memang benar, bangunan monumen ini berhasil menjadi tempat yang paling dicari oleh orang-orang dari luar Kediri untuk berfoto hingga menghabiskan waktu di tempat yang mirip seperti Arc de Triomphe atau gerbang kemenangan yang ada di Kota Paris. Berbagai pertunjukan besar juga sering diadakan di lahan kosong yang berada tak jauh di sisi utara monumen, ada juga pasar malam yang juga berada area sebelah utara monumen.

Sayangnya, saking luasnya monumen ini beserta area yang ada di sekitarnya, pembangunannya harus mengorbankan berhektare-hektare lahan sawah milik warga. Lahan yang dulu banyak memproduksi tebu, beras, dan jagung sekarang dipaksa berubah menjadi hamparan aspal luas yang terkesan gersang apalagi dengan minimnya pepohonan kecuali di area barat yang pohon-pohonnya mulai membesar.

Jangan harap bisa menemui suasana seperti di Kota Paris yang ramai orang jalan kaki dan terdapat area pedestrian yang nyaman bagi pejalan kaki.

Seperti yang saya sebutkan di atas, jalan-jalan beraspal yang superluas di sekitar area monumen malah memanjakan wisatawan yang menggunakan kendaraan bermotor, sering kali karena saking luasnya mereka memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi, yang tentu saja membahayakan pejalan kaki. Bahkan di dalam area pasar malam, dengan pongahnya pengendara motor akan mengklakson Anda apabila Anda menghalangi jalannya.

Jalan melingkar yang berada di depan monumen adalah jalan nasional, yang tentu saja sangat ramai kendaraan termasuk truk dan bus besar. Hal itu menjadikan udara yang dihirup wisatawan yang berada di dalam area monumen adalah polusi yang tentu saja sangat berbahaya bagi paru-paru.

Fasilitas di dalam monumen pun juga masih sangat terbatas. Banyak fasilitas yang hingga kini belum berfungsi dengan baik seperti tangga dan lift menuju puncak monumen yang hingga kini masih ditutup tanpa alasan yang jelas.

Pelebaran jalan sembarangan

Akhr-akhir ini Pemkab Kediri sedang gencar-gencarnya memperbaiki dan melebarkan beberapa ruas jalan di beberapa wilayah. Hasilnya, banyak jalan yang dulunya sempit dan berlubang kini menjadi mulus dan bertambah superlebar. Terdengar bagus, namun jika dilihat dari perencanaan tata kota, ini sangat berbahaya karena dalam prakteknya, justru masyarakat dirugikan dengan semakin lebarnya jalan di depan rumah mereka.

Contohnya adalah Jalan Totok Kerot yang menghubungkan beberapa desa yakni Paron, Sumberejo, Bulupasar, dan Kambingan yang melewati SMKN 1 Ngasem, tempat saya menimba ilmu beberapa tahun lalu.

Semula, jalan itu sangatlah sepi, bahkan ketika teman saya berjalan main hape dan tak sadar sudah ke tengah-tengah jalan, dia nggak kenapa-napa karena nggak ada satu pun kendaraan yang lewat pada waktu itu. Bahkan menurut saya, tidur di tengah jalan pun nggak akan ketabrak ketika itu.

Namun, semuanya berubah ketika jalan di Desa Kambingan dan Bulupasar diperlebar dua kali lipat. Truk-truk besar dengan pongahnya melewati jalan itu dengan kecepatan yang sangat tinggi. Tentu saja sangat membahayakan siswa yang sering menyeberang jalan untuk mencapai parkiran. Karena parkiran sekolah terpencar di beberapa tempat dan terpisah dari bangunan utama sekolah. yang mengharuskan murid berjalan kaki.

Aspal jalan dibuat sangat mepet dengan rumah-rumah warga. Warga harus ekstra hati-hati jika mempunyai anak atau orang tua yang sudah pikun. Karena lengah sedikit saja, mereka bisa saja disambar oleh truk-truk besar yang semakin hari semakin ugal-ugalan.

Kecelakaan sudah bukan barang langka lagi terjadi yang memakan banyak memakan korban jiwa. Hebatnya, kebijakan memperlebar jalan ini terus dilakukan di wilayah-wilayah lainnya.

Ambulans susah dicari

Ketika berkuliah di Jember, saya baru tahu kondisinya tidak jauh berbeda dengan Kabupaten kediri. Bupatinya sama-sama cewek dan sama-sama punya kebijakan pembangunan yang nyeleneh.

Akan tetapi, Pemkab Jember mempunyai ambulans-ambulans milik pemkab yang tersebar di seluruh desa dan kelurahan di Kabupaten Jember, yang siap sewaktu-waktu jika ada masyarakat yang membutuhkan. Hal yang sama nggak ada di Kabupaten Kediri.

Beberapa hari lalu, tetangga saya mengalami stroke hingga mengakibatkan kelumpuhan di seluruh tubuhnya. Cucu-cucunya dengan sigap menanyai tetangganya yang mempunyai mobil termasuk keluarga saya. Sayangnya, ayah saya waktu itu lagi bertugas dan saya masih belum bisa menyetir. Mereka kebingungan mencari orang lain yang mempunyai mobil dan bisa mengendarainya.

Hal ini sebenarnya bisa dihindari apabila setiap desa atau kelurahan mempunyai minimal satu mobil ambulans. Padahal di beberapa kabupaten di sekitar Kediri sudah menerapkan kebijakan ini. Alhasil, kami ketinggalan selangkah dari kabupaten-kabupaten ini.

Kabar baiknya

Kediri tidak seperti Klaten. Kami masih mempunyai wilayah kotamadya yang dipimpin oleh wali kota yang kerjanya lumayan bagus sih, walaupun saya juga ingin nyinyiri kapan-kapan. Jadi, jika suntuk, orang-orang kabupaten bisa mengibur diri ke daerah kota dengan banyak pilihan wisata, bisa ke mal, bioskop, atau sekedar nongkrong di dermaga Kali Brantas yang banyak angkringannya.

Sumber gambar: Wikimedia Commons

BACA JUGA Namanya Saja Power Point, Bukan Power Word, Jadi Isinya ya Harus Poin, Bukan Hasil Copasan Word!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version