Sebagai orang Jawa yang baru-baru ini pindah ke Samarinda, Kalimantan Timur, saya harus mengakui bahwa biaya hidup di sini sangat mencekik. Saya harus mengeluarkan uang Rp1,3 juta untuk sewa kamar kos per bulan dan minimal Rp50 ribu untuk makan sehari. Sebuah angka yang cukup fantastis jika dikomparasikan dengan biaya hidup di Surabaya, apalagi Jogja dan kota-kota lainnya di Pulau Jawa.
Belum lagi saya masih harus mengeluarkan uang untuk keperluan menghibur diri seperti beli baju, nongkrong di kafe, atau nonton konser. Anggaran beli baju di Kalimantan Timur ini jelas lebih besar. Bukan karena harga bajunya yang selangit, melainkan ongkos kirimnya yang bikin geleng-geleng kepala. Untuk baju yang dikirim dari Pulau Jawa, ongkos kirimnya sudah pasti di atas Rp30 ribu. Sementara untuk baju yang dikirim dari sesama kota besar di Pulau Kalimantan seperti Balikpapan atau Banjarmasin, pembeli tidak bisa mengharapkan gratis ongkir.
Begitu pula soal biaya nongkrong di Samarinda atau Balikpapan yang juga cenderung tinggi. Rata-rata harga kopi kekinian yang dijual di kafe berkisar Rp28 ribu sampai Rp40 ribu per cangkir. Kalau mau ngemil cireng atau kentang goreng, saya harus mengeluarkan uang lagi minimal Rp30 ribu.
Terus, gimana dengan harga tiket konser? Apa iya harga tiket konser di Kalimantan Timur dan wilayah lainnya berbeda juga? Oh, jelas! Pernah ada konser Dewa 19 di Balikpapan, tahu harga tiketnya berapa? Harga tiket termurah dibanderol 2 kali lipat dari harga tiket yang dijual di Kota Medan.
Daftar Isi
Tak ada banyak pilihan transportasi umum
Sebagai warga pendatang yang tidak memiliki kendaraan pribadi, beratnya biaya hidup di Kalimantan Timur makin terasa lantaran di sini tidak banyak fasilitas transportasi umum yang bisa digunakan. Bicara konteks transportasi umum di dua kota besar di provinsi ini saja, yaitu Samarinda dan Balikpapan, pilihan angkotnya sangat minim. Jangan harap bus macam Transjakarta atau Transjogja ada di sini, jelas tidak ada.
Mau tak mau saya harus mengandalkan ojek online atau ojek konvensional yang masih ada di beberapa titik sebagai satu-satunya transportasi alternatif. Lagi-lagi tak usah berharap dapat promo atau diskonan, ya. Tidak semudah itu untuk mendapatkan promo jasa antar-jemput di Kalimantan Timur ini.
Ongkos bepergian begitu menguras kantong
Perjalanan antarkota atau kabupaten tidak kalah menantangnya. Di sini kita tidak bisa menjumpai bus lintas kota seperti Sumber Kencono atau Damri. Saat ingin pergi dari Samarinda ke kabupaten lain saja misalnya, saya cuma bisa berharap pada mobil travel konvensional yang bahkan saya sendiri tidak paham apakah sopirnya punya SIM A atau tidak.
Ongkos travel di Kalimantan Timur ini pun cukup menguras dompet. Berdasarkan pengalaman pribadi saya, ongkos rata-rata yang harus saya keluarkan Rp250 ribu sekali jalan. Pulang pergi sudah setengah juta sendiri. Padahal itu hanya perjalanan Samarinda-Tenggarong yang jaraknya tak lebih dari 30 km atau Samarinda-Balikpapan yang jaraknya sekitar 90 km. Harga yang cukup fantastis bagi saya yang saat di Jawa dulu terbiasa ke mana-mana naik kereta lokalan dengan tarif tidak lebih dari Rp50 ribu PP.
Beberapa kali saya ngobrol dengan orang-orang yang sudah ber-KTP Kalimantan Timur, ternyata mereka merasakan hal sama. Minimnya akses transportasi umum membuat mereka tak bisa mengeksplor banyak tempat di provinsi ini. Perihal mahalnya biaya bepergian ini membuat mereka kerap terkungkung di satu kota saja, tanpa bisa memperoleh banyak kesempatan untuk jalan-jalan ke tempat lain. Kalau kata Sal Priadi, mereka jadi tidak berdaya untuk menyaksikan penampilan hujan di tempat lain, pemandangan bagus di tempat yang jauh, bukan yang di dekat rumah saja.
Kalimantan Timur memang luas, tapi minim variasi
Tuntutan pekerjaan membuat saya berkesempatan untuk mengunjungi beberapa lokasi di Kalimantan Timur. Dari blusukan-blusukan itulah saya jadi punya gambaran tentang kondisi geografis provinsi ini. Hutan, perkebunan sawit, dan tambang di mana-mana.
Konon, sawit dan tambang adalah ladang uang dan sumber rezeki pokok bagi penduduk sekitar. Salah seorang teman sekantor saya bahkan pernah berkata, “Orang Kaltim tidak akan risau dengan kenaikan harga barang, mereka baru risau kalau harga batu bara turun.”
Selain punya hutan, sawit, dan batu bara, provinsi ini juga memiliki sungai yang gagah membelah satu kota ke kota lainnya, Sungai Mahakam namanya. Di atas sungai itulah jalur transportasi dan aktivitas ekonomi air berjaya.
Harga pangan dan hiburan jadi mahal
Kegagahan Mahakam, hutan, sawit, hingga tambang begitu dominan di provinsi yang luas wilayahnya hampir 130.000 km2 itu. Sayangnya, dominasi tersebut justru menimbulkan persoalan mahalnya akses pangan hingga hiburan di Kalimantan Timur.
Saya belum pernah sekali pun melihat sawah apalagi kebun teh atau kebun apel di Kalimantan Timur. Kurangnya lahan untuk bercocok tanam di sini membuat saya berpikir bahwa Jawa dan pulau lainnya masih menjadi supplier utama beras, sayur, dan buah-buahan untuk provinsi ini. Dampaknya, harga buah dan sayur di tempat ini cenderung lebih tinggi.
Saya pernah dibuat kaget saat membeli buah sawo sekilo seharga Rp35 ribu di sebuah pasar di Samarinda. Padahal, kalau di rumah orang tua saya di Jawa sana, buah sawo adalah buah murahan yang kadang bisa didapatkan cuma-cuma dari pohon tetangga.
Mirip dengan cerita sawo, salah seorang tante saya yang bermukim di Kota Balikpapan juga mengeluhkan mahalnya harga bumbu dapur seperti kunyit, jahe, lengkuas, dan sebagainya. Tante saya itu sampai kepikiran menanam sendiri tanaman bumbu dapur di pekarangan rumahnya yang seciut liang lahat.
Tambang, sawit, hutan, dan Mahakam tampaknya juga membuat akses hiburan di sini cenderung sulit. Ya buat apa membangun tempat hiburan semacam Dufan, Trans Studio, atau Kolam Renang Ciputra kalau mayoritas pekerja tambang dan sawit lebih suka memakai uang mereka untuk berlibur ke daerah luar Kalimantan Timur sekalian mudik? Terus, buat apa membangun tempat hiburan mewah di tengah kota kalau nantinya tidak banyak pengunjung akibat kendala mobilisasi?
Orang Kalimantan Timur punya standar ekonomi yang tinggi
Saya pernah secara random menemukan video di TikTok soal memegang uang Rp100 ribu di Kalimantan bagaikan memegang uang Rp10 ribu. Artinya, orang-orang Kalimantan memang punya standar ekonomi yang tinggi. Salah satu teman kos saya, seorang gadis keturunan Dayak yang berasal dari Kutai Timur, dengan santainya bercerita bahwa bapaknya baru saja membeli motor trail Kawasaki seharga Rp40 juta, yang padahal harga jualnya kalau di Jawa kisaran Rp34 juta saja.
“Ya memang lebih mahal. Tapi kan kami butuh, jadi ya tetap saja diambil,” tandasnya.
Seorang kenalan saya lainnya yang berprofesi sebagai pengusaha di bidang makanan berkisah bahwa berbagai masakan, camilan, maupun dessert bikinannya selalu laku meski dijual dengan harga yang selangit. Saya hanya bisa melongo saat melihat daftar harga yang dia sodorkan: sebungkus pepes hati ayam dijualnya seharga Rp25 ribu, seporsi kecil semur jengkol dijualnya seharga Rp75 ribu, dan chocolate cake ukuran sedang dijualnya seharga Rp650 ribu. Ingin rasanya saya berkata, “Itu semur jengkol bisa awet sampai tiga hari tiga malam apa? Kok harganya mahal betul.”
Tidak seperti saya yang masih belum berdamai dan jetlag berkepanjangan dengan biaya hidup di Kalimantan Timur, agaknya orang-orang Samarinda dan sekitarnya sudah biasa dengan situasi tersebut. Kembali lagi pada apa kata teman sekantor saya, barang mahal tidak bakal menjadi sumber kerisauan warga Kalimantan Timur, tapi kalau harga jual batu bara turun, barulah satu provinsi akan gempar.
Jadi, bagaimana? Masih berminat untuk hijrah ke Kalimantan Timur?
Penulis: Fiahsani Taqwim
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Bontang Kalimantan Timur, Kota Kaya Raya yang Miskin Hiburan.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.