Suatu sore, saya streaming YouTube dan menemukan konten curhat-curhatan yang diupload oleh salah satu beauty enthusiast. Sebenarnya saya memang sudah subscribe doi sejak lama dan saya juga tahu segmen curhat-curhatan tersebut memang sudah ada sejak lama pula. Bagi saya, segmen tersebut memang lumayan menghibur, sih.
Setahu saya, mekanisme curhat biasanya dilakukan dengan sang beauty enthusiast yang membuat pengumuman membuka segmen curhat di Instagram. Kemudian, orang yang mau curhat akan mengirimkan DM curhatan mereka yang nantinya akan dibacakan. Nah, tema konten sore itu kebetulan adalah “curhat soal keluarga toxic.”
Di salah satu curhatan milik seseorang yang dibacakan, ada seseorang yang mengatakan bahwa ia pengin punya pacar, segera menikah, kemudian keluar dari rumah. Tak lupa sebelumnya ia menceritakan keadaan keluarganya yang toxic. Bukan, saya nggak akan membahas lebih dalam mengenai kualitas konten pun jenis-jenis keluarga toxic. Yang saya garis bawahi adalah cara berpikirnya untuk keluar dari kekacauan hidup. Hmmm, jadi gini…
Sejak kapan punya pacar kemudian segera menikah itu jadi rumus untuk menyelesaikan masalah? Saya sangat menyayangkan masih ada orang yang memiliki tujuan menikah begini di tengah masyarakat modern. Oke, saya mengerti itu adalah pilihan hidup masing-masing dan tiap manusia tentu memiliki kondisi dan situasi sendiri juga. Tapi, kalau tujuan menikah yang semacam ini masih terus menyebar luas, sebenarnya nggak akan berujung positif.
Mari kita mulai dari segi keadaan keluarga. Menurut saya, keadaan keluarga yang nggak sehat alias toxic memang bisa dipastikan bikin kita nggak betah berada di rumah dan pengin cepat-cepat kabur dari sana. Apalagi kalau ke-toxic-annya dibarengi dengan kekerasan pun pelecehan seksual. Dan ada orang yang berpikiran ingin cepat menikah untuk keluar dari situasi semacam itu?
Tunggu dulu. Dari yang sedikit saya ketahui mengenai ilmu kejiwaan (koreksi jika saya salah), trauma tidak bisa dihilangkan semudah mengubah status menjadi seorang suami/istri. Punya pacar kemudian buru-buru menikah di saat situasi diri sendiri sedang bemasalah cuma akan menambah lebih banyak lagi masalah. Ya nggak apa-apa kalau cuma masalah. Kalau malah menimbulkan trauma baru gimana?
Lagi pula, kalau memang menikah secara sah agama dan negara, ada aturan yang mewajibkan konseling sebelum menikah. Kalau salah satu calon memegang trauma, bisa saya pastikan bahkan psikolog pun nggak akan menganjurkan pasangan tersebut menikah dulu. Aturannya memang begitu, selesaikan dan berdamai dulu dengan masalahmu yang lama. Baru boleh memulai sesuatu yang berisiko memulai masalah baru. Tujuan menikah kan nggak semudah itu.
Iya, punya pacar dan menikah itu kegiatan yang berisiko besar menimbulkan masalah baru. Apakah masih berdalih bahwa calon pasanganmu adalah yang terbaik yang nggak mungkin menyebabkan masalah? Ah, masak seyakin itu? Coba lihat lagi secara objektif. Barangkali masih ada sesuatu yang sebenarnya nggak cocok dengan dirimu, tapi kamu paksakan saja lantaran sudah nggak betah dengan semua keadaan yang ada.
Soalnya begini, sepengalaman saya, ketika manusia lagi punya masalah dan segera menikah, mereka jarang sekali bisa melihat segala sesuatu secara objektif. Penglihatan mereka tentu bias. Ya gimana nggak bias, wong sedang ada masalah lalu datang seseorang yang “terlihat” mau menanggung masalahnya bersama dan mendedikasikan dirinya untuk manusia yang sedang terluka ini. Tentu saja manusia tersebut langsung meleleh dan menyerahkan segala sesuatunya kepada orang yang datang tersebut.
Untuk keluar dari keluarga toxic, menikah saja belum cukup. Bahkan pindah rumah sekalipun. Begini, bayangkan kalau masih ada yang ngeyel menikah di saat keadaan keluarganya kacau balau dan dia nekat menggenggam traumanya hingga ke jenjang pernikahan, bukannya disembuhkan dulu. Kira-kira apa yang akan terjadi? Tentu saja bakal jadi lingkaran setan.
Seseorang yang nekat menggenggam trauma dan bukannya disembuhkan, kemudian menikah dengan keadaan tersebut, hanya akan bertemu pun menciptakan keluarga toxic lainnya. Orang yang masih memegang trauma bisa saja secara nggak sadar menyeret ke-toxic-annya yang lama ke kehidupan baru, yang berujung pada anak dan pasangan mereka yang teracuni. Bayangkan saja kalau seseorang yang sering mendapat kekerasan verbal di keluarganya menikah dengan membawa traumanya tersebut.
Besar kemungkinan ia akan melakukan kekerasan verbal yang sama kepada anak atau pasangannya, dengan ataupun tanpa sadar, yang sebenarnya dia sendiri benci dengan kekerasan tersebut. Sering melihat, mendengar, dan mengalami, walau kita membenci hal tersebut, akan tetap ada kebiasaan yang tanpa sadar lahir dari keseringan itu. Kalau masih nekat menikah dengan kondisi diri yang masih “nggak waras”, diri sendiri cuma akan menjadi pencipta neraka di hidup orang lain.
Jangan ciptakan lingkaran setan lagi untuk keturunanmu, dong. Apa pun masalahnya, selesaikan pelan-pelan. Sembuhkan diri dulu dan pastikan dirimu sendiri sudah nggak membawa bibit toxic untuk orang lain kalau memang mau membina keluarga. Panjang umur, para pejuang trauma!
BACA JUGA Warna Rambut Karakter Anime Itu Nggak Ngasal, Ada Makna dalam Penciptaannya! dan tulisan Vivi Wasriani lainnya.