Kesetaraan pendidikan antara laki-laki dan perempuan ini telah lama menggajal di pikiran saya. Bukan hanya karena sering mendengar kawan bercerita tapi seringkali saya sendiri mengalami menerima nasihat serupa. Sebagai anak desa yang atas ijin Allah menerima beasiswa dari tingkat Sarjana sampai Pascasarjana, tentu saya tidak ingin melewatkannya. Hitung-hitung mengurangi beban biaya pendidikan ke orang tua—selebihnya memang pendidikan adalah kebutuhan.
Namun, seiring usia yang memasuki seperempat abad tak kunjung membawa pasangan tiap pulang ke rumah atau minimal diperkenalkan di dunia maya menjadikan penasehat alam raya—baik kawan, tetangga maupun yang bukan keduanya—langsung menyimpulkan bahwa kriteria pasangan saya minimal setara pendidikannya. Mohon maaf, itu tidak sepenuhnya benar adanya.
Susah memang ya hidup di desa—eh di kota juga karena kadang cueknya dengan tetangga luar biasa, usia 25 saja sudah dianggap perawan tua. Saya anggap netijen lebih perhatian terhadap diri saya. Buat kamu lelaki yang tetiba membaca ini, semoga kita bisa mensinambungkan pikiran dan rasa.
Di sini saya coba berbagi hasil obrolan di sela ngopi dengan sahabat maupun rekan main khususnya yang mereka singlelillah—usia muda tapi sudah sampai Pascasarjana. Apa iya kalau ceweknya S3 cowoknya juga harus S3?
Ketahuilah, hampir semuanya menjawab tidak harus! Sampai di sini semoga para lelaki ada yang merasa lega, jika sang pujaan hati lebih tinggi sekolahnya. Memang ada juga yang menjawab “kalau bisa” namun ada alasan mendasar dan tidak menjadi prioritas utama. Jadi sebenarnya jauh sebelum menanyakan pendidikannya sama atau tidak, perempuan ‘jenis ini’ tertarik dengan lelaki dengan kriteria seperti ini.
Berani dan percaya diri, bukan malah minder undur diri
Kriteria ini adalah seleksi tahap awal, sangat mudah sekali menilai mana lelaki yang berani dan percaya diri. Jika lelaki lebih meninggikan keminderan yang ia miliki, berarti ia belum bisa menghargai dirinya sendiri. Kadang, perempuan dengan cerdasnya sebenarnya bisa membaca kode jika lelaki ada ketertarikan kepadanya. Namun sengaja diam, pura-pura tidak mengetahuinya untuk menguji apakah lelaki berani. Jika tidak mungkin hanya berakhir pada status galau bermuatan kode agar sang perempuan mengerti. Tolong tinggalkan hal seperti ini—jika dengan diri sendiri saja tidak yakin, bagaimana meyakinkan sang pujaan hati dan wali?
Perjuangkan, jika mampu lebih dari perempuan memperjuangkan impiannya
Setelah berani dan percaya diri, saatnya memperjuangkan. Keseriusan memperjuangkan akan terlihat bagaimana sikap seorang lelaki. Kenapa harus diperjuangkan? Karena perempuan berpendidikan sudah terlalu sering memperjuangkan—baik hal-hal pribadi terkait pendidikannya, hingga restu keluarga untuk terus melanjutkan impiannya. Percayalah, tidak ada insan yang tidak mau diperjuangkan.
Jaga komitmen dan tanggung jawab
Perempuan berpendidikan biasanya terlatih dalam hal komitmen dan tanggung jawab—komitmen menyelesaikan kuliah tepat waktu atau sesuai jadwal penelitian dengan dosen pembimbingnya, hingga menyadari tanggung jawabnya sebagai mahasiswa. Nah, sudah paham kenapa harus komitmen dan tanggung jawab?
Tidak adanya komitmen sama saja memulai hubungan yang siap untuk segera menemui perpisahan karena tidak ada landasan pegangan. Ini juga terkait dengan pemberian kepastian, perempuan tidak suka hal yang sifatnya menggantung tidak pasti. Contoh nyata di dunia kuliahnya, seorang mahasiswa punya kewajiban untuk menulis di jurnal internasional. Prosesnya lama dan terkadang jangka waktu dari submit naskah hingga tanggapan pertamanya minimal 5 bulan. Tahu kan rasanya menunggu tanpa kepastian? Mati segan hidup tak hendak.
Visioner, melangkah jauh ke depan tapi tetap realistis dengan keadaan
Seorang mahasiswa dari awal kuliah sudah terstruktur pemikirannya, tidak hanya memikirkan saat awal masuk kuliahnya saja. Rencana pengambilan mata kuliah setiap semesterpun sudah direncanakan. Misalnya, saat mau penelitian, harus menyiapkan proposal, detail pengerjaan hingga masalah-masalah yang mungkin akan muncul di hari kemudian. Pola pikir visioner ini sudah menghiasai perempuan berpendidikan, maka lelaki yang visioner setidaknya bisa menghilangkan kekhawatiran dan menguatkan kemantaban untuk melangkah bersama ke masa depan.
Ini bukan tentang tingginya gelar pendidikan tapi wawasan
Faktanya, perempuan berpendidikan tidak masalah kalau misal pasangannya pendidikannya tidak setara atau lebih rendah dari dia—asalkan saat diajak diskusi wawasannya luas, istilahnya “nyambung” pembicaraannya. Sebab dengan wawasan itulah kedua insan akan saling berkembang.
Untuk tahu hal ini, pasti kedua insan ini harus berkomunikasi. Terkait topik pembicaraan, pas pendekatan jangan sering-sering menanyakan “udah ibadah belum, udah maem belum, lagi apa dan hal-hal serupa lainnya”. Alih-alih memberi perhatian, lama-lama bosan karena yang ditanyakan memang sudah menjadi kewajiban. Alangkah baiknya, tanyakan ke hal-hal yang bisa mengeksplorasi pemikiran—misalnya, “gimana kegiatan kamu hari ini“. Intinya yang membuat pembicaraan semakin berkembang dan selalu ada faedahnya.
Dewasa dan pandai mengatur emosi.
Proses pendidikan mengajarkan kesabaran—segala masalah yang ada dihadapinya dengan tekun dan mengurangi segala keluhan yang dirasa. Jadi jangan sampai hadirnya pasangan justru menambah beban. Bersikap dewasa itu wajib—misal kalau pesan belum dibalas-balas, jangan langsung ngambek.
Saya pernah bertemu pasangan yang berdebatnya berkelas—bukan berdebat kenapa pasangannya tidak pengertian atau perhatian—tapi debat grammar Bahasa Inggris gegara salah satu diantara mereka pas ngomong grammar-nya salah, yang akhirnya malah mereka keasyikan diskusi. Saya yang disebelahnya mendengar obrolan itu (nggak bermaksud nguping ya), jadi senyum sendiri ternyata memang pasangan yang pendidikan tinggi itu kalau debat tidak sepele, tapi membangun dan mengedukasi satu sama lain.
Last but not least, keimanan
Apalagi sih yang dicari perempuan berpendidikan—ibarat kata gelar sudah didapat, masalah pekerjaan kalau tidak gengsi pasti ada yang menawari, ganteng atau tidak itu relatif tergantung persepsi. Yang pasti satu hal yang akan jadi pertimbangan utama adalah agamanya. Hal ini karena rasanya dunia sudah cukup bagi perempuan yang mengenyam pendidikan (tinggi), asam manis sudah dirasa. Maka jika bertemu lelaki yang imannya kuat, adem dan menenangkan—jika dipandang, kata-katanya menyejukkan, menghormati perempuan, apalagi sama orang tuanya berbakti sudah pasti jika Allah juga meridai—pasti jatuh hati. Dengan keimanan ini, yakinlah perihal kesetaraan pendidikan bakal lenyap karena si-perempuan akan taat.
Begitulah sekelumit hasil diskusi yang bisa jadi pertimbangan para lelaki—eh maksudnya ini untuk mengedukasi dan klarifikasi dari kami yang dianggap berpendidikan tinggi dan mencari lelaki yang setara pendidikannya. Lelah juga hayati menghadapi pertanyaan tak kunjung henti, tak apa ini proses mendewasakan diri.
Saya meyakini semakin tinggi pendidikan seorang perempuan maka akan semakin memahamkan ia akan kewajiban dan haknya sebagai perempuan, istri dan ibu nantinya. Jadi, apakah masih minder dan menjatuhkan harga diri hanya karena gelar duniawi, para lelaki? Apabila menemukan dia yang cocok di hati—meski pendidikannya lebih tinggi—redam rasa minder dan kuatkan berani dan percaya diri untuk merperjuangkan sepenuh hati.
Terima kasih telah mendengar uneg-uneg kami~