Saya agak gamang ketika kampanye “kembali belanja di warung tetangga” kerap gencar disuarakan oleh para aktivis “dakwah”. Seolah belanja di tempat lain seperti mart-mart-an, supermarket, dan bahkan belanja online melalui marketplace itu menjadi kegemaran yang dianggap aib lantaran tidak mengutamakan saudara sendiri.
Padahal bagi saya, belanja itu terkait erat dengan kegembiraan. Belanja bukan hanya sekadar aktivitas memenuhi kebutuhan harian, tetapi juga memenuhi hasrat kepuasan saat memilih, lalu membeli barang yang mungkin tidak dibutuhkan, namun kita senang karena sudah membelinya.
Jika belanja di warung tetangga, kita akan dihadapkan dengan situasi membeli barang-barang yang straight to the point dengan kebutuhan kita. Butuh garam, ya beli garam. Pengin ngemut es krim, ya beli es krim. Butuh telur, ya beli telur. Jarang sekali kita pulang membawa barang belanjaan di luar kebutuhan. Seolah kita hanya dituntut untuk memenuhi kebutuhan tanpa mengindahkan keinginan. Isi dompet aman karena tidak boros, tapi gembiranya di mana?
Beda halnya ketika berbelanja di supermarket atau belanja online melalui marketplace. Kita disuguhkan dengan aneka barang kebutuhan yang bersandingan dengan kebutuhan lainnya. Sebagai contoh, ketika butuh telur ayam, seketika kita bisa menemukan telur puyuh, telur bebek, atau telur burung unta yang dipajang satu rak bersamaan. Dan karena letak rak telur hampir selalu satu area dengan rak protein hewani lainnya, kita juga bisa menjumpai ikan-ikanan, daging-dagingan, sampai orang tua dari telur itu sendiri, yaitu ayam-ayaman. Hehehe.
Nah, yang begini ini biasanya akan menimbulkan pemikiran atau falsafah “sekalian” dalam diri kita. Butuhnya telur, tapi sekalian beli ayam buat stok. Terus lihat daging kambing lagi diskon, beli juga sekalian. Lihat daging kerbau segar, sekalian juga dibeli mumpung fresh. Lihat daging sapi cakep, dibeli juga sekalian. Dan biar praktis, kita juga biasanya sekalian membeli bumbu masakan dan makanan pendamping yang sesuai untuk menu dari bahan-bahan tersebut. Apalagi kalau lagi banyak diskonan. Bisa jadi belanja banyak, kaaan? Puas deh pokoknya.
Perkara diskon-diskonan ini kan jarang banget kita temui kalau belanja di warung tetangga. Boro-boro diskon, kadang malah harga barang bisa jadi lebih mahal. Sudahlah pilihannya sedikit, mahal lagi. Mutung saya, tuh!
Banyaknya diskon memang jadi ujian super setan bagi para penggemar belanja berfalsafah sekalian seperti saya. Perkara ini juga yang membuat saya lebih suka belanja online melalui marketplace daripada supermarket, apalagi di warung tetangga.
Bayangin, sekali buka aplikasi marketplace, kita akan disuguhkan gambar-gambar barang yang begitu menarik. Satu toko bisa menjual berbagai macam barang, meski tidak nyambung jenis dan fungsinya. Iya, saya kerap menemukan ada toko yang menjual mainan anak sambil jualan obat cina. Kalau ketemu toko daging sapi menjual ceker ayam sih biasa, lah kalau nyambi sambil jualan ban mobil gimana? Unik, kan?
Dan hal menarik itu dilengkapi dengan adanya diskon gede-gedean yang membuat harga barang jauh lebih rendah dari harga offline. Bangsatnya lagi, marketplace sering kali menggelar undian dan memberi voucher diskon tambahan secara cuma-cuma yang pemakaiannya bisa digabungkan dengan voucher diskon dari toko. Gimana nggak tergoda?!
Sementara itu, kebijakan bebas ongkir yang diterapkan juga membuat mata saya berasa penuh bintang-bintang saat menatap barang yang ditawarkan. Bebas ongkir yang punya syarat dan ketentuan berlaku ini membuat saya dengan sukarela menambah nominal belanja demi hemat ongkir. Misalnya, saya mau beli kaus kaki seharga Rp 70 ribu di toko sport. Kaus kaki tersebut sedang diskon sampai harganya jadi Rp 48 ribu, ongkirnya Rp 9 ribu. Meski saya tahu harga pasaran kaus kaki tersebut di pasaran offline memang sekitar Rp 40 ribu hingga Rp 50 ribu, saya tetap memilih belanja online di marketplace. Apalagi kalau bukan karena adanya promo bebas ongkir. Hehehe~
Eh, tapi saya baru dapat promo bebas ongkir jika belanja minimal Rp 50 ribu. Wah sayang ya, tinggal tambah Rp 2 ribu. Lalu, dengan sukacita saya mencari barang untuk menggenapkan nominal belanja menjadi Rp 50 ribu. Tentu saja toko sport hampir tidak punya barang seharga Rp 2 ribu. Paling banter Rp 20 ribu. Jadilah saya ambil tali sepatu seharga Rp 20 ribu, sehingga total belanja saya Rp 68 ribu. Sudah lebih dari cukup untuk menggenapi nominal agar bebas ongkir.
Kemudian ketika saya ingin check out, pihak marketplace memberi notifikasi bahwa saya akan dapat diskon 5% jika menambah nominal belanja menjadi Rp 80 ribu. Sayang ya, tinggal tambah Rp12 ribu bisa dapat diskon lagi dan bebas ongkir. Jadilah saya cari lagi barang lain. Saya ambil topi seharga Rp 25 ribu. Total belanjaan saya jadi Rp 93 ribu. Fix, saya dapat diskon tambahan dan bebas ongkir.
Saat ingin lanjut ke pembayaran, lagi-lagi saya lihat pihak marketplace memberi keterangan bahwa saya bisa mendapat potongan diskon 7% jika menambah belanja Rp 7 ribu lagi. Tentu saja saya tertarik. Saya langsung hunting barang lagi. Kali ini saya beli bandana seharga Rp 40 ribu. Habisnya cuma itu barang termurah lain yang bisa saya temukan. Biarlah, demi dapat diskon tambahan. Jadinya total belanja saya Rp 133 ribu. Saya dikatakan akan dapat potongan harga Rp 9 ribu dan bebas ongkir Rp 9 ribu. Alhamdulillah.
Gimana? Menyenangkan, bukan?
Awalnya cuma mau beli kaus kaki, jadi ikut beli tali sepatu, topi, dan bandana. Tentu ketiga barang terakhir bukanlah barang yang saya butuhkan. Pernah membayangkan memakainya pun tidak. Wong saya jilbaban dan nggak punya sepatu yang ada talinya.
Nggak apa-apa, yang penting saya puas belanja dan gembira karena dapat diskonan dan bebas ongkir. Saya pun merasa telah begitu berjasa bagi keluarga karena berhasil membeli banyak barang dengan potongan harga lumayan. Nggak penting itu barang lagi dibutuhkan atau tidak, yang penting yakin saja bahwa suatu saat bakal terpakai. Meskipun entah kapan~
Coba kalau saya belanja di warung tetangga. Nggak bakalan saya dapat diskon berlapis dan bebas ongkir. Yang ada saya sudah keluar rumah menuju warung, pulang cuma dapat kaus kaki. Seolah perjuangan saya menembus panas terik, hujan berangin ketika keluar rumah tak berarti!
Eh, tapi bukan berarti saya bilang belanja di warung tetangga itu nggak ada enaknya, loh.
Saya tahu, asyiknya belanja di warung tetangga itu bakal terasa banget pas tanggal tua. Kita bisa dapat barang tanpa bayar. Alias ngutang dulu. Hahaha. Ngutang di warung tetangga itu lebih bermartabat daripada ngutang pake kartu kredit di marketplace. Kalau telat bayar kita nggak kena denda. Kalau lama nggak bayar-bayar pun masih bisa kita atasi dengan kata maaf dan senyum.
Coba kalau ngutang di marketplace nggak bayar-bayar? Mungkin akses belanjamu sudah dibanned, rumahmu sudah didatangi debt collector, dan semua nomor kontakmu dikirimi pesan kalau kamu nunggak utang. Malunya lebih dari sekampung. Hiks~
Tapi, kan kalau cuma soal ngutang saja bisa lah kita atur. Yang jelas, belanja itu tidak melulu urusan praktis membeli sesuatu. Ada sisi-sisi lain yang kadang diabaikan oleh para aktivis itu.
Jadi, mbok ya jangan galak-galak kalau kampanye “kembali belanja ke warung tetangga”. Mending coba pahami perasaan ibu rumah tangga seperti saya yang menjadikan belanja bukan sekadar belanja, tapi merupakan kegiatan tersendiri yang bikin bahagia. Gitu, Bang Jago!
BACA JUGA Kejanggalan Grab Toko yang Mengarah pada Penipuan Online dan Harusnya Disadari Konsumen dan tulisan Aisha Rara lainnya.