Belajar Kenyataan Hidup dari Iklan Sprite Versi “Nyatanya, Hidup Gak…”

iklan sprite

iklan sprite

Hadirnya Cak Lontong dalam iklan Sprite membuat minuman berkarbonasi itu terlihat segar sekali. Selain shot-shot pada kejernihan air, gelembung-gelembung soda, kristal es batu, dan irisan lemon-lime, suara Cak Lontong yang khas menjadi bumbu utama. Sprite menggiring penonton pada citra minuman yang menyegarkan. Seakan-akan ngawe-ngawe untuk segera diteguk rame-rame.

Iklan Sprite begitu banyak. Akan tetapi, dari sekian banyak itu, saya menyukai iklan dalam serial “Nyatanya, Hidup Gak…” Pada serial ini, saya bisa belajar banyak dari iklan Sprite.

 

  1. Nyatanya, Hidup Gak Seserem Film Horror

Poin pertama ini, terdapat dua versi iklan, yaitu hotel tua dan parkiran.

Versi hotel tua—digambarkan seorang perempuan yang sedang ketakutan karena merasa hotelnya angker. Keangkeran ini didukung oleh sebuah lukisan perempuan Jawa menari—arahnya ke lukisan Nyi Roro Kidul—dan sebuah aroma melati. Untuk mengatasi ketakutan, perempuan tersebut video call seorang laki-laki melalui laptopnya. Setelah sekian banyak ketakutan dikerahkan, perempuan ini melihat sebuah pengharum ruangan pada sebuah dinding kamar. Ternyata aroma melati keluar dari sana.

Versi parkiran—digambarkan tiga laki-laki berjalan dalam parkiran dengan cengengesan. Tidak disangka, mereka bertemu dengan sesosok perempuan berbaju putih. Dua laki-laki sempat kelabakan dan pingsan, sedang satu laki-laki tetap berdiri. Ternyata, setelah sosok perempuan itu berdiri, dia hanya perempuan yang sedang mengecek ban mobilnya. Pakaiannya yang menyerupai hantu hanyalah cosplay. Penggambaran cosplay ini didukung oleh lewatnya teman-teman perempuan yang berpakaian serupa.

Iklan ini mengajak kita untuk tidak segampang itu percaya dengan mitos. Semua bisa diatasi dengan pikiran yang jernih dan segar—sesegar Sprite.

 

  1. Nyatanya, Hidup Gak Sebombastis Film Aksi

Versi ini digambarkan seorang pemuda korban film. Ia menjalani hidupnya sebombastis film aksi. Cara jalannya digambarkan slow motion dan berharap di akhir cerita, dia juaranya. Nyatanya, tidak seperti itu. Harapannya sia-sia.

Di dalam kehidupan nyata, tidak ada adegan-adegan serupa film aksi. Dirinya berakhir dengan tragis. Dia yang hendak naik angkot pun tertinggal. Bahkan di akhir adegan, digambarkan seorang perempuan naik angkot yang dikejar pemuda tadi. Betapa menyakitkannya. Hidup memang tidak sebombastis angan-angannya.

 

  1. Nyatanya, Hidup Gak Kayak Drama Korea

Versi ini menceritakan seorang mahasiswi korban drama Korea. Seperti bayangannya dalam drama, ketika dia memberi kode-kode kepada laki-laki, maunya ditanggapi. Nyatanya tidak seperti itu. Waktu itu hujan dan mahasiswi ini memberi kode dengan kata “hujan” dan “dingin”. Laki-laki di sampingnya pun mengambil jaket dan seolah ingin memberikannya pada mahasiswi tersebut—tapi nyatanya dipakai sendiri.

Di lain kesempatan—di sebuah kampus, mahasiswi itu berjalan dan ketika berpapasan dengan laki-laki, ia menjatuhkan diri. Mahasiswi itu berharap akan ditolong seperti dalam drama. Lengkap dengan zoom-in di adegan pegangan tangan dan tatapan mata. Nyatanya tidak seperti itu. Laki-laki tersebut melengos begitu saja. Bahkan ketika mahasiswi itu mengeluh, “Oppa~”—malah seorang kakek-kakek menghampirinya. Menyedihkan, bukan?

 

  1. Nyatanya, Hidup Gak Seindah Medsos Selebriti

Poin terakhir ini terdiri dari tiga versi, yaitu vlog seleb, foto seleb makanan, dan foto seleb sandangan.

Versi vlog seleb—menceritakan seorang vlogger yang bergaya seperti menghadiri sebuah acara megah. Nyatanya, dia hanya numpang pada sebuah acara dan kemudian diusir oleh keamanan yang menjaga.

Versi foto seleb makanan—menceritakan seorang pemuda yang sedang makan di restoran. Sebagaimana tabiatnya, ia memotret sajian sebelum dimakan. Karena merasa harus terlihat mewah, pemuda ini sampai mencari meja yang sajiannya ditinggal pelanggan. Tidak untuk dicuri dan dimakan. Hanya difoto dan diunggah demi gaya-gayaan. Pas ketahuan, wajahnya sungguh kasihan.

Versi foto seleb sandangan—menceritakan seorang perempuan yang gonta-ganti sandangan untuk diunggah dalam media sosialnya. Setelah sekian sandangan diluncurkan, ada saja netizen yang mbacot serampangan. Ada yang membuka kedok si perempuan yang ternyata hanya foto-foto di ruang ganti, karena security tag-nya lupa ditutupi. Karena malu, perempuan itu pun pergi.

Selama ini kita sering terkurung dalam stigma-stigma. Padahal stigma tersebut pun dulunya, kita sendiri yang menciptakannya. Ironis memang, kita terperangkap oleh ciptaan kita sendiri. Ya, sebagaimana hari-hari kita sekarang ini. Bisa dipastikan, setiap hari kita menatap layar komputer atau gawai. Bahkan, anak-anak kecil seusia TK, bisa YouTube-an sampai larut malam. Apa nggak mengerikan?

Selain terperangkap oleh stigma, hidup kita tenggelam oleh nilai. Setiap gerak laku kita seolah mesti dipublikasikan untuk memperbanyak jam terbang. Selain itu, citra-citra yang ditampilkan pun hanya yang baik. Kalaupun tidak baik, pasti yang kontroversial, sehingga bisa mendobrak rating.

Exit mobile version