Barcelona yang Selalu Bikin Mata Berkaca-kaca

3 Hal yang Bikin Pendukung Barcelona Optimis meski Habis Dikalahkan Real Madrid

3 Hal yang Bikin Pendukung Barcelona Optimis meski Habis Dikalahkan Real Madrid (pixabay.com)

Kalau ada orang yang hari ini terlihat murung, malas makan, dan ogah terlihat ogah melakukan aktivitas apa pun, ketahuilah, ia pasti adalah fans Barcelona.

Cules (sebutan untuk fans Barcelona) adalah mereka yang sudah terbiasa patah hati. Dini hari tadi, kenahasan itu kembali terulang tatkala Barca mesti tereliminasi dari kompetisi Europa League. Mereka disingkirkan oleh Manchester United yang keluar sebagai pemenang dengan agregat 4-3. Tipis, hanya selisih satu gol. Namun tetap saja, hasil itu membuat anak asuh Xavi Hernandez harus pulang ke Spanyol dengan kepala tertunduk.

Sebagai seseorang yang telah menjadi penggemar Barca sejak 2009, saya sebenarnya nggak kaget-kaget amat jika melihat tim kesayangan saya dipermalukan di panggung Benua Biru. Kejadian melawan AS Roma, Liverpool, Bayern Munich, PSG, dan Eintracht Frankfurt di musim lalu sudah cukup menjadi bukti betapa tegarnya fans Barca. Meskipun begitu, tetap saja, saya tak bisa memungkiri bahwa patah hati yang satu ini benar-benar membuat saya “kena mental”; membuat saya berkaca-kaca.

Xavi bukanlah Ancelotti

Jujur, saya iri dengan Mas Rizky Prasetya. Bukannya apa-apa, saya hanya cemburu karena dia menjagokan sebuah tim yang dilatih oleh manajer sekaliber Carlo Ancelotti. Sebagai fans Real Madrid, ia tak perlu khawatir apabila El Real tertinggal oleh lawannya. Cukup dengan mengangkat sebelah alis, Karim Benzema dkk. pasti akan tampil menggila dan berjaya di kompetisi Eropa. Kayaknya karyawan Mojok paling full senyum ya beliau. Ha menangan je.

Sayangnya, saya bukanlah Madridista. Saya adalah Cules, maka saya menjagokan sebuah tim yang dilatih oleh Xavi, seorang juru taktik yang pengalamannya jauh di bawah Don Carlo. Dalam kondisi tertinggal, Xavi tak bisa membawa timnya melakukan comeback, walaupun ia telah mencoba untuk membuat gestur yang sama seperti Ancelotti. Entah karena masalah mentalitas, taktik yang kurang tepat, atau pada dasarnya Barcelona memang bapuk saja kalau tidak sedang berlaga di La Liga, saya kurang mengerti. Kalau ini kebalikannya Madrid sih.

Namun, di luar itu semua, saya memang merasa bahwa Xavi perlu belajar banyak dari Carlo Ancelotti dalam satu hal: memenangi laga tatkala kondisinya tidak mendukung untuk mewujudkan itu. Kalau soal memenangi pertandingan ketika permainan sedang dipegang penuh kendalinya, maka Barcelona adalah jagonya. Mereka sangat mahir dalam melakukan itu sepanjang musim ini. Tapiii, kalau situasinya berbeda, di mana tim lawan yang mendominasi laga, sementara Blaugrana tak henti ditekan menit demi menit, maka saat itulah kekhawatiran saya kerap menguak.

Pressure, pushing down on me, pressing down on you

Biasanya, Barca akan kalah jika berada dalam kondisi seperti itu. Pada laga dini hari tadi, Sergi Roberto dkk. terlihat berada di situasi under pressure. Sebagai sang pelatih, Xavi Hernandez gagal menciptakan skema permainan guna membawa timnya keluar dari jurang kesengsaraan. Beberapa pergantian yang ia buat terbukti tak memberikan efek siginifikan; ada pula yang dilakukan secara terlambat dan sukses membuat para fans memaki-maki dirinya melalui media sosial. Sampai akhirnya, Barcelona kehilangan kendali permainan dan berujung tereliminasi.

Sementara Real Madrid? Pada laga melawan Liverpool beberapa hari lalu, sebetulnya mereka juga sempat di bawah tekanan rivalnya. Namun, karena satu dan lain hal, mereka mampu membalikkan keadaan dan keluar sebagai pemenang. Untuk penyebabnya pastinya apa, saya lagi-lagi kebingungan. Apakah karena seluruh penggawanya memiliki DNA Real Madrid? Atau apakah murni karena tuah alis Ancelotti yang memang semagis itu? Wah, saya kurang tahu. Coba tanyakan saja pada Joe Gomez rumput Anfield yang bergoyang.

DNA Barca

Dalam artikelnya tentang datarnya ekspresi Carlo Ancelotti, Mas Rizky sempat menyebut pula tentang DNA Real Madrid. Barang tentu maksudnya adalah kebiasaan mereka untuk tampil mengesankan di kompetisi Eropa dan berujung dapat memenangi laga, tak peduli apakah Madrid sedang tampil bapuk atau memang tengah on fire. Sementara di sisi lain, Barcelona juga tak mau kalah; mereka mempunyai DNA Barca. Namun, yang terjadi adalah kebalikannya: Barca ujung-ujungnya pasti akan terpongkeng, tak peduli mereka telah menciptakan gol lebih dahulu dan bermain solid.

Sejak terakhir kali merengkuh gelar UCL di tahun 2015, DNA Barca selalu saja melekat dan seakan telah menjadi ciri khas yang tak bisa hilang. Setiap musim, perjalanan klub yang bermarkas di Camp Nou itu selalu saja berujung kekecewaan. Padahal, rasanya setiap musim pula manajemen Barca telah aktif merekrut pemain bintang dengan gaji selangit. Akan tetapi, tetap saja hasil akhirnya sama: mereka gagal memberikan kontribusi besar, Barca sukses disingkirkan, dan fans hanya bisa menangis karena tak tahan di-bully terus-menerus. Sesakit itu rasanya menjadi Cules.

Trust the process

Hingga kini, saya masih tak percaya bahwa Barcelona telah tereliminasi dari Europa League, sebuah kompetisi yang mulanya saya anggap bakal mudah untuk dimenangi. Kalau ditanya siapa yang harus disalahkan, ya, ujung-ujungnya jari saya akan menunjuk ke banyak pihak. Bisa ke Ter Stegen yang gagal membikin penyelamatan; bisa ke Pedri yang kenapa harus cedera di momen paling krusial; bisa ke Ansu Fati yang tak diduga permainannya sudah seperti Martin Braithwaite sekarang; dan tentu saja, ke Xavi Hernandez, yang tak dapat mengalahkan Erik ten Hag dalam pertandingan menciptakan taktik paling pamungkas. Semuanya patut dijadikan penyebab atas kekalahan menyakitkan ini.

Namun, walaupun mata saya masih berkaca-kaca, dan rasa sakit di dada masih teramat menusuk, pada akhirnya saya memilih untuk melihat ini semua dari perspektif yang lebih besar: sudut pandang keikhlasan.

Sudahlah. Tak perlu menangisi yang sudah terjadi. Toh, waktu tidak dapat diulang. Saya tak bisa kembali ke masa lalu dan mencegah Pedri agar tidak cedera. Tidak bisa juga saya mencegah Antony untuk melesakkan sepakan mematikan ke pojok gawang itu. Saya tak bisa melakukan apa-apa, selain menerima kenyataan bahwa MU adalah pemenangnya.

Hadapi dengan menangiz senyuman

Jadi, yang bisa saya lakukan hanyalah mengikhlaskan gelar UEL untuk didapatkan oleh klub lain. Fokus saja ke kompetisi yang masih diikuti. Trofi La Liga sudah hampir berada di genggaman; menanti dengan begitu manisnya di ujung perjalanan. Ingat pula bahwa Xavi baru menjadi entrenador Barca dalam kurun waktu sekitar satu tahun. Dengan kata lain, ia masih berada di fase “proses”; kita belum menyaksikan versi terbaik dari Barcelona-nya.

Saat ini, kekalahan ini memang begitu sulit untuk diterima. Air mata para penggemar mungkin belum sepenuhnya kering. Kekecewaan masih memenuhi seisi jiwa. Namun, sudahlah, terima saja hasil akhirnya. Akui saja bahwa saat ini Barcelona memang belum setangguh itu.

Lagi pula, seperti kata The Rain, bukankah fans Barca sudah “terlatih patah hati”?

Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Barcelona: Nggak Punya Duit tapi Flexing, serta Kelakuan Ajaib Lainnya yang Bikin Geleng-geleng

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version