Kalian boleh percaya, boleh tidak, tapi banyak kawan bapak saya memanggil Bapak dengan sebutan Firaun.
Bapak saya memang unik, nganggo banget. Profesinya, sopir jenazah, alias baru bahagia kalau ada orang yang mati. Beliau juga pernah menginisiasi tawuran 3 desa sekaligus sekitar 16 tahun yang lalu, gara-gara sepak bola. Dan panggilan Firaun itu menambah keunikan-keunikan yang ada.
Saya tak tahu betul sejak kapan dan apa penyebab Bapak saya dipanggil dengan sebutan raja Mesir kuno tersebut. Tapi kalau boleh menduga, polah Bapak saya yang kemaki dan suka sesumbar lah penyebabnya. Unsurprisingly, sifat ini menurun pada saya.
Tapi jujur, panggilan ini lucu-lucu nggatheli sebenarnya. Kenapa begitu, karena rasanya lucu saja melihat seseorang diberi panggilan raja, tapi ekonominya rakyat jelata.
Daftar Isi
Dipanggil Firaun, tapi miskin
Ya, ekonomi keluarga saya jauh dari kata kaya. Jauh banget dari kemewahan yang dipunya oleh Firaun. Boro-boro beli kue seharga 400 ribu, saya tiap beli pakaian ukurannya selalu oversize agar bisa dipakai bertahun-tahun. Saya beli sepatu bola saja nyicil koperasi.
Tapi, masa kecil saya nggak ngenes-ngenes amat sebenarnya. Sebab, meski miskin, Bapak saya mengutamakan tumbuh kembang anaknya. Kakak saya semasa masih aktif latihan sepak bola, tiap hari selalu dibelikan susu sapi segar, meski harganya tidak ramah kantong keluarga kami. Saya sendiri dibelikan banyak vitamin dan asupan makanan selalu dijaga. Tak mengagetkan kalau saya jadi anggota keluarga tertinggi. Demi anak, Bapak berkorban mati-matian. Kene ki kere, tapi ndue harga diri.
Perkara pendidikan, Bapak nggak mau kompromi. Anaknya harus di sekolah yang favorit, meski biayanya bikin utang Bapak makin menggunung. Dan kebetulan, semua anak Bapak saya sekolah di sekolah favorit. Yang meleset saya sih, pake acara dikeluarkan dari sekolah.
Punk og. Ngapurane yo, Pak Firaun.
Moral compass masih (lumayan) berfungsi
Bapak saya, meski berjuang mati-matian dan rela berbuat apa saja untuk keluarga, dia tidak mau berbuat curang. Maksudnya, dia tidak berbuat jahat seperti korupsi, memakan hak orang lain, dan sejenisnya. Nama boleh Firaun, tapi moral compass dia masih (lumayan) berfungsi.
Saya berani yakin bahwa Bapak saya selalu mengupayakan rezeki dengan cara yang halal, sekalipun dia tidak rajin salat dan beribadah. Saya bisa saja salah, sebab Bapak, sebagaimana orang tua boomer kebanyakan, sulit terbuka dan mengutarakan perasaan pada anak. Tetapi, mengingat utangnya yang menggunung dan semua gara-gara biaya pendidikan, saya yakin betul Bapak saya tidak berbuat curang.
Berkali-kali, di waktu senggangnya, Bapak selalu mengingatkan untuk jangan bohong, jangan nyolong, dan bekerja sepenuh hati. Beliau juga mewanti-wanti untuk berdikari. Sebab, orang miskin seperti kami, yang dipunya hanyalah semangat hidup. Jadi ya, kalau mau kaya, ya berusaha. Tidak menggantungkan nasib kepada orang tua, kawan, atau siapa pun. Harus berusaha sendiri.
Bayangkan, betapa aneh rasanya mendapat nasihat kehidupan dari seorang yang dipanggil Firaun.
Baca halaman selanjutnya
Lebih jahat dari raja yang jahat
Lebih jahat dari raja yang jahat
Bapak saya jauh dari kata sempurna. Tidak, sama sekali tidak. Beliau beberapa kali masih kepikiran untuk menitipkan saya ke orang-orang penting. Kerja lewat jalur dalam lah, maksudnya. Tapi saya tolak, dan saya ingatkan bahwa saya melakoni apa yang dia ajarkan, untuk mandiri, untuk punya harga diri.
Saya tahu, Bapak sebenarnya bangga dengan keputusan saya, dan menghormati itu. Soalnya Ibu sering cerita kalau Bapak bangga.
Maka dari itulah, saya heran, kenapa Bapak saya, yang dipanggil Firaun, tidak membolak-balik sistem demi saya, tapi orang yang dianggap kayak Firaun, malah sak penake udele dewe mengobrak-abrik negara demi kepentingan keluarganya.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Ternyata Cak Nun Benar Perihal Jokowi Firaun