“Asisten riset? Wah keren ya calon dosen.”
“Asisten riset? Belum cari kerja, Mbak/Mas?”
“Asisten riset? Jadi kacung siapa lagi lu?”
Beberapa pertanyaan di atas seringkali dihadapi oleh saya selama “berkarier” sebagai asisten riset di salah satu kampus di kota kembang. Tidak lama memang, hanya sekitar satu semester. Namun, sudah cukup memberikan pengalaman tentang bagaimana riset di Indonesia bekerja, tantangannya, dan yang lebih miris, pendanaannya yang sedikit serta waktu pelaksanaannya yang sempit. Gabungan ketiga faktor ini cukup untuk membuat kami semua jadi malu saat pulang ke kampung halaman yang kami rindukan.
Lantas, apa sebabnya kami mau pulang malu, tapi tak pulang rindu sebagaimana judul di atas?
Ada hal-hal yang sudah saya anggap mitos saking seringnya kami mengalami hal-hal demikian. Berikut mitos-mitos asisten riset versi ̶O̶n̶ ̶t̶h̶e̶ ̶S̶p̶o̶t̶ saya :
Dianggap calon dosen
Mitos pertama yang paling sering saudara dan teman saya salah tafsir. Saya seringkali dianggap calon dosen yang akan mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Padahal sering kali saya malah bekerja di bagian administrasi, mengurus bon, dan membuat slide presentasi untuk diseminasi walaupun kegiatan riset juga tetap berjalan. Meski banyak dari kami yang memiliki idealisme untuk memajukan Indonesia dengan riset, namun selama Anda masih berstatus asisten, siap-siap saja akan banyak bekerja dengan bon dan mengurus keuangan menggunakan excel. Di sisi lain, saat Anda mengerjakan tugas akhir, excel tersebut dipakai untuk merancang produksi pabrik dengan hitungan super rumit. Lebih terasa risetnya saat tugas akhir dibandingkan saat menjadi asisten riset. Sungguh mind blowing!
Nomor satu ini yang bikin saya nggak enak sama saudara dan teman, disangka calon dosen dan inovator pada kenyataannya malah jadi bon collector (pengoleksi bon untuk laporan penggunaan dana riset).
Kaya dari proyek
Mitos nomor dua ini juga termasuk tidak tepat. Kalau mau kaya lebih baik ikut tender sama pemerintah deh. Tapi, ya asisten riset memang mendapat posisi dan gajinya dari proyek yang sedang dikerjakan oleh dosen alias atasan kita.
Saya tidak memungkiri ada beberapa teman saya sesama asisten riset yang honornya melimpah, tapi lebih banyak yang berada di ambang garis kemiskinan. Jadi kalau mau kaya dari proyek, itu sudah pasti salah jurusan ya teman-teman. Sudah menjadi rahasia umum honor asisten riset di bawah UMR, maka dari itu rata-rata asisten riset yang saya kenal punya idealisme akan riset, yang jadi faktor pendorong terbesar dalam mengerjakan topik-topik riset. Banyak teman sesama asisten yang juga nyambi pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan, tapi masih ada idealisme riset dalam pikiran.
Masih nyambung dengan mitos pertama, jika saya pulang saudara dan teman sudah menunggu dengan muka penuh harap, “Pak dosen, mana nih traktir dong, udah kaya kan dari proyek?”
Padahal gaji dosen saja tidak besar-besar amat, lah ini gaji pembantu (riset)nya dosen, tentu bisa dibayangkan dong gaji kami yang cuma sepersekian dari dosen tersebut??!!??
Memperluas jaringan sebagai akademisi
Nah baru ini mitos yang cukup tepat. Sebagai asisten riset, seringkali kita bisa ikut beragam ekspedisi atau diseminasi terkait riset sang dosen, dan tentunya gratis menggunakan uang riset tadi. Atau mendemokan alat temuan kelompok riset ke khalayak, agar masyarakat turut merasakan manfaat.
Sebentar-sebentar, dari tadi diseminasi muncul terus, memang apa sih diseminasi? Diseminasi merupakan kegiatan pengabdian masyarakat, yang biasanya dikemas dalam bentuk demo alat produk riset yang dihasilkan. Pada acara tersebut juga dijelaskan cara menggunakan alat dan menghasilkan produk seperti yang didemokan.
Pada kesempatan seperti ekspedisi atau diseminasi ini, peran asisten riset terasa sangat bermanfaat, setidaknya untuk saya. Apabila saya tidak memilih menjadi asisten riset saya pikir saya tidak mendapat ragam pengalaman, seperti bagaimana bergaul dengan masyarakat awam yang belum terbiasa dengan riset dan mengubah bahasa ilmiah menjadi bahasa yang mudah dipahami.
Tentu diseminasi atau ekspedisi hanya sebagian kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung kegiatan riset. Seringkali saat menjadi asisten, kita juga diminta untuk ̶m̶e̶n̶g̶u̶r̶u̶s̶ ̶b̶o̶n̶ menulis publikasi ilmiah dan paten, yang menjadi modal berharga untuk sekolah lanjut. Surat rekomendasi untuk beasiswa? Tidak perlu ditanya, insya Allah lancar jaya. Malah seringkali atasan kita juga memberi rekomendasi sekolah berdasarkan pengalaman beliau, dan kita turut diperkenalkan sebagai asisten riset beliau, yang otomatis membuat nilai tawar kita naik dalam lingkup sebagai akademisi.
Mitos nomor tiga yang masih bisa membuat kami pulang, walaupun mitos nomor satu dan dua masih membayang.
Kalau sekarang saya ditanya, “Betah nggak sih jadi asisten riset?” Saya akan menjawab, “Betah dong. Buktinya saya juga masih jadi asisten riset… di negara lain. Jadi tak pulang memang rindu, tapi sudah tidak malu.”
BACA JUGA Formasi Juri MasterChef Indonesia Musim 5 Sampai 7 Itu Sangat Berantakan.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.