Judul ini saya pinjam (tanpa permisi) dari Pakde Jokpin—sebaris puisi dari judul Kamus Kecil. Saya suka puisi ini. Selain puisi-puisi Celana—puisi ini adalah pintu masuk saya mengenal Pakde Jokpin.
Pakde Jokpin memang lihai mengutak-atik kata. Terlebih di dalam puisi Kamus Kecil tersebut. Pakde seolah ingin mempertontonkan kekayaan bahasa Indonesia—kekayaan yang dikemasnya dalam sebuah kamus kecil.
Meskipun begitu, tulisan ini tidak akan membicarakan puisi-puisi Pakde Jokpin. Tidak juga bicara tentang dirinya. Melainkan akan sedikit ngalor-ngidul tentang asu-nya. Saya penasaran, kenapa orang putus asa suka memanggil asu?
Fenomena orang misuh dengan kata asu atau anjing, sudah begitu akrab dengan telinga kita. Pakde Jokpin mendengarnya dari orang putus asa. Kita pun sering mendengarnya dari orang yang sedang marah atau kecewa.
Saya rasa—kita sama-sama tahu—bahasa Inggris sudah sering mencampuri bahasa sehari-hari masyarakat kita hari ini. Kalau nggak salah, istilahnya kita sudah sering mengalami peristiwa campur kode. Tapi pisuhan tersebut tidak cocok diucapkan dalam bahasa Inggris. Jadi kita pun tak pernah mendengar orang misuh dengan kata dog—terdengar tidak sangar.
Kalau dirunut, kata asu menjadi pisuhan karena asu merupakan binatang. Mengatakan seseorang sebagai asu, berarti mengatakan kebinatangan orang tersebut. Tapi mengapa kupu-kupu—yang sama-sama binatang—tidak menjadi pisuhan? Kayane mergo ora wangun~
Asu sering dilihat sebagai binatang haram. Air liurnya pun dianggap najis. Meskipun begitu, keharaman dan kenajisan binatang ini hanya pada agama tertentu. Jadi ya, dengan mudah akan tetap kamu temui warung-warung yang menjajakan olahan asu ini. Kalau tidak disebut sengsu alias tongseng asu, paling dinamai domba balap atau jamu~ Anggapan orang-orang terhadap asu tersebut saya rasa memang sepenuhnya dipengaruhi oleh agama dan budaya. Keduanya mencengkeram dengan kuat pola pikir dan cara pandang masyarakat.
Di desa saya—dan mungkin desa-desamu juga—warga dilarang memelihara asu. Selain ketakutan akan najisnya, orang-orang tidak suka dengan gonggongannya. Padahal nenek saya pernah cerita, dulu di desa saya, seorang kiai memelihara seekor anjing dan kucing. Tapi di sini, saya hanya akan bercerita tentang si asu. Asu-nya berwarna hitam—sepenuhnya hitam.
Anjing itu sering keliling desa untuk patroli. Kalau ada maling atau orang meninggal, asu tersebut akan menggonggong. Jumlah gonggongannya menjadi tanda. Orang-orang akan segera bertindak ketika mendengarnya. Tapi itu dulu—dulu sekali, karena nenek pun cuma dapat cerita dari orangtuanya. Astaga! Itu mah sebelum saya direncanakan ada di dunia oleh kedua orangtua saya—orangtua yang mungkin juga belum direncanakan oleh kakek dan nenek saya.
Larangan memelihara asu itu, mengingatkan saya pada film stop-motion Wes Anderson, Isle of Dogs. Anderson menceritakan tentang perjuangan Atari (pengisi suara Koyu Rankin) mencari anjing yang dicintainya, Spot (Liev Schreiber) di sebuah Pulau Sampah.
Isu yang dilemparkan Anderson adalah orang-orang Jepang yang mulai ketakutan memelihara anjing. Berawal dari isu virus yang disebarkan oleh para anjing di kota Megasaki, warga Jepang melepas anjing peliharaan mereka di Pulau Sampah. Orang-orang kemudian beralih untuk memelihara kucing atau robot anjing.
Sebenarnya pemusnahan asu dari Jepang ini merupakan propaganda seorang walikota. Orang tersebut bernama Mayor Kobayashi (Kunichi Nomura), yang merupakan paman angkatnya Atari. Wajar bila pada akhirnya Atari marah besar. Bagaimana tidak marah, jika anjing kesayangannya tersebut dibuang dan digantikan dengan sebuah robot asu. Robot yang dipercaya lebih mudah dalam pemeliharaan dan lebih menurut ketika diperintahkan.Saya sempat misuh, “Asu!”. Ini terjadi ketika melihat kenyataan itu—orang-orang lebih percaya kepada benda mati daripada yang hidup. Menyedihkan, bukan
Kalau sudah seperti ini, bukankah seseorang telah kehilangan humanismenya? Pakde Yasraf Amir Piliang mengatakan kalau hilangnya humanisme seseorang mengindikasikan bahwa orang tersebut terpeleset ke dalam jurang animalisme—masuk ke dalam diri kebinatangan.
Kalau sudah seperti itu, apa ya wangun mengatakan orang lain sebagai binatang? Tapi ya, nggak papa sih. Kan kata Pakde Piliang, kita itu adalah homo homini animalis alias manusia binatang bagi sesama.
Beberapa bulan yang lalu, kawan saya—Udin SKSW namanya—menggelar pementasan dengan judul A(K/S)U. Judul tersebut diarahkan pada gagasannya—aku asu. Udin mencoba untuk menubuhkan asu.
Bagi Udin, diri manusia (aku) dan diri binatang (asu) adalah satu kesatuan. Di dalam diri manusia, pasti ada kebinatangannya—jadi mengapa orang-orang menempatkan binatang menjadi lebih rendah? Itulah lemparan isu dalam pementasan Udin SKSW.
Menariknya, untuk menyukseskan pementasan, Udin sempat melatih dirinya berjalan dengan kedua kaki dan tangannya.—persis seperti keluarga Turki yang pernah viral. Latihan Udin ini pun ternyata terekam kamera CCTV sebuah koperasi mahasiswa salah satu kampus di Yogyakarta.
Setelah videonya banyak beredar, orang-orang banyak menyangkakan bahwa itu adalah manusia jadi-jadian. Ada yang mengatakan kelakuan Udin tersebut seperti laku pesugihan babi ngepet. Apapun itu, anggapannya tidak ada yang positif.
Meskipun begitu, Udin hanya tertawa membaca sangkaan demi sangkaan. Ternyata dugaannya benar, orang-orang masih melihat binatang—atau sesuatu yang menyerupai binatang—sebagai “yang lain”.
Setelah pementasan selesai, Udin tidak menemukan pencerahan atas pengembalian pola pikir manusia terhadap binatang. Ada sih, tapi memang tidak bisa menyeluruh.
Saya rasa, setelahnya—entah sadar atau tidak—kami (Udin dan para penonton termasuk saya) masih sering bilang, asu! Meskipun arahnya berbeda—yaitu sebagai tanda keintiman dalam hubungan pertemanan.