“Aku titip pecel, Yah, tapi ingat, tanpa sambel tumpang!” kata istri saya saat kami mudik ke Nganjuk. Nada istri saya kali ini serius, tidak main-main. Mimiknya menandakan ada ancaman. Hal ini karena pernah suatu ketika saya membelikannya sarapan pecel plus sambel tumpang dan itu membuat saya trauma dan selalu mengingat dengan benar saat saya membeli sarapan di daerah kelahiran saya.
Komentar yang muncul dari istri saya yang asli Madiun juga tidak kalah mengerikan. Dia memberi majaz yang menyeramkan untuk sebuah sambal khas Nganjuk dan Kediri ini. Memang, saya akui, sambal yang berupa olahan tempe yang sudah menghitam, dikukus, kemudian dihaluskan dicampur dengan kunir ini menjadikannya seperti… (saya tidak tega menulisnya di sini. Pembaca bisa mengira sendiri, kan?)
Komentar senada juga datang dari kakak ipar saya, dan teman saya yang berasal dari Ponorogo yang kini menetap di Nganjuk. Mereka sepakat tanpa pernah bertemu bahwa sambel tumpang itu merusak rasa pecel khas daerah mereka masing-masing. Sementara itu, saya yang tergila-gila dengan sambal ini hanya terdiam mendengarkan. Suara minoritas sejak kapan menjadi raja, hah?
Yang saya rasakan kemudian adalah munculnya sebuah pertarungan wacana mengenai pecel Madiun vs pecel Nganjuk (sengaja saya tidak menyebut Kediri kali ini). Perdebatan ini sesungguhnya tidak kalah epic dari pertempuran antara bubur diaduk dan tidak diaduk.
Kalau perdebatan antara bubur diaduk dan tidak diaduk hanya berada di tataran aksiden (titik. Jangan ada yang ngeyel), perdebatan antara pecel Madiun dan pecel Nganjuk berada dalam ranah substansi. Dari penampilan, bahan, hingga rasa berubah seratus delapan puluh derajat. Singkatnya, menurut orang Madiun dan se-keresidenannya, pecel tumpang adalah inovasi (kalau tidak mengatakannya sebuah bid’ah) yang sesat. Sakit hati saya mendengarnya.
Hanya, perdebatan ini tidak pernah diliput oleh media mana pun. Sehingga pertengkaran ini tidak terlalu terdengar, masih kalah dengan perdebatan bubur yang hanya (sekali lagi) berada di wilayah estetika semata. Kurang bois, bukan?
Mereka tidak pernah tahu bahwa sambal khas ini hanya bisa di dapatkan di daerah tertentu. Pernah suatu ketika bibi dari istri saya, membuat sambel ini di Madiun, memakai bahan-bahan dari Madiun. Bahan yang digunakan sama, bumbunya juga sama tetapi dia mengalami kegagalan. Mungkin inilah yang membuat orang Madiun begitu membenci sambal ini. Bilang saja, “Nggak bisa,” repot amat, sih. Hahaha.
Saya juga pernah menemukan sambal tumpang ini di Ponorogo, rasanya (maaf) masih jauh dari sambal tumpang yang selama ini saya rasakan. Memang selama ini, saya didoktrin untuk menyukai sambal tumpang. Semenjak saya SD kelas enam, saya selalu membeli remukan peyek kemudian dituang di atasnya sambal kacang dan sambal tumpang. Nikmatnya tiada tara. Saya tidak merasakannya sebagai kesesatan berinovasi melainkan cita rasa yang benar-benar menggoyang lidah pedesaan saya.
Merenungkan pertengkaran yang tidak kunjung usai ini, saya mengerti satu hal, kita sering bertengkar tentang sesuatu yang dianggap asli (original) dan sesuatu yang dianggap hasil inovasi. Layaknya pecel dua versi ini. Padahal, pencipta pecel pertama kali tidak menginginkan sebuah pertengkaran sama sekali.
Barangkali cita-cita penemu pecel dapat saya ilustrasikan dalam kejadian ini, suatu pagi dua orang petani tani sedang mencangkul di sebuah sawah. Tiba-tiba keduanya menghentikan kegiatan mereka saat mendengar putra sang empu sawah datang membawa makanan dalam rantang.
“Sarapan, Pak De!” teriaknya. Mereka langsung menuju ke sebuah saung di tengah sawah. Dihamparkan depan mereka masakan yang tidak asing lagi bagi mereka berdua, pecel. Hanya pemilik sawah sengaja memisahkan sambel tumpang dalam wadah tersendiri. Setiap orang berhak memilih topping sesuai selera mereka masing-masing.
Tidak ada yang bertengkar di kala mereka berbeda pilihan. Kedua petani tersebut langsung saja melahap apa yang telah menjadi pilihan mereka, tanpa mengusik pilihan temannya. Dan mereka betul-betul menikmati sarapan di bawah naungan saung, di tengah pematang sawah. Saya sendiri pernah merasakan betapa nikmatnya suasana itu.
Mereka tidak terbesit untuk bertengkar. Mereka tetap tertawa dan melahap dalam naungan kesahajaan. Jadi, apa masih perlu memperdebatkan selera makan masing-masing sampai mengolok-olok segitunya?
BACA JUGA Getuk Pisang: Oleh-oleh Khas Kediri yang Bikin Nganjuk Insecure dan tulisan Ahmad Natsir lainnya.