Bagaimana Orang Minang juga Bisa Mencintai Didi Kempot?

orang minang

orang minang

Saya kagum sekaligus iri. Tentang seorang penyanyi—maaf ralat, beliau legenda—campursari yang namanya mulai naik kembali akhir-akhir ini berkat  menjamurnya penamaan sadboi dalam sebuah konser di daerah Solo, kemudian disusul viralnya mas baj*ngan boy yang dikemas dalam ngobam-nya mas Gofar. Yap, siapa lagi kalau bukan Lord Didi Prasetya alias Didi Kempot.

Kagumnya saya karena saya bukanlah penikmat musik campursari seperti teman-teman kampus saya di Jogja dulu yang mayoritas suku Jawa, yang kenal dengan musik ini sejak dari kecil. Hanya seorang mahasiswa baru dari ranah Minang di tanah Jogja. Mungkin dahulu hanya mengenal lagu “Stasiun Balapan” karena dulu Kang Sule suka memplesetkan lagu itu dalam acara Opera Van Java di Trans7. Iya, iya yang itu tuh, Aku Jadi Gukguk. Sebelum menginjakkan kaki di sini—dan prediksiku—hanya generasi X saja yang akan joged dan berdendang. Ternyata: saya salah besar.

Sekali waktu, di tahun 2017 itu—dengan rasa penasaran yang makin membesar bagai bola salju kalau kata Kang Sule—saya coba membuktikan sendiri tentang daya magis seorang Didi yang mampu mematahkan teori generasi dan anggapan bahwa campursari itu kuno. Di panggung nan sempit itu, Didi tampil bagai messiah yang menyihir setiap penikmat musik itu bahkan bisa hanya dengan melambungkan reff-nya saja tanpa hokyahokya-nya.

Ramaaaidooooo…” kemudian dilanjutkan oleh penonton. Kompak.

Rata-rata penonton itu ternyata juga pemuda dan mahasiswa seperti saya meski ada sebotol ciu di tangannya juga orang paruh bayanya. Seluruh lagu dihafal habis hingga bagian cendol dawet.  Didi mampu membuat penonton jatuh cinta dan patah hati disaat yang bersamaan. Tapi, belum dengan saya.

Semua rasa penasaran itu lunas diganti dengan rasa salut yang amat tersulut. Sejenak saya mendongakkan kepala keatas. Mencoba terus menyatu dengan alunan musik. Betapa anehnya saat ketika sebuah lagu untuk diratapi justru dirayakan bak sebuah kemenangan nyata. Namun, akhirnya saya menangkap pulang dengan PR linguistik. Di sini letak iri nya: Bagaimana saya menikmati tiap baitnya jika saya tidak menghafal liriknya? Bagaimana saya menikmati lagu jika saya tidak tahu arti dari Bahasa Jawa-nya?

Saat itu, bibir ini hanya bisa mengikuti reff saja, tapi bagian awal dan akhir lirik hanya bisa komat-kamit. Harus bolak balik melihat Google Translate mencari arti “Cidro”, “Kelingan”, dan “Bojo”. Masih belum merasakan apa yang teman sejurusan rasakan saat bisa bernyanyi dengan bergelora sambil memegang ulu hati sedalam-dalamnya.

Ah, jika saya sudah hanyut dalam sikap Chauvinis—atau bahkan etnosentrik—saya bisa saja hanya mendengarkan lagu Pop Minang Populer seperti Ipank, yang terkenal dengan “Rantau den Pajauah” atau mungkin mundur lagi ke era Hetty Koes Endang dengan lagu “Pulanglah Uda” yang kembali dipopulerkan Ria Amelia. Atau bahkan “Bapisah Bukannyo Bacarai” oleh Pak Syahrul Yusuf. Tidak kalah ambyar, kok! Tetapi setelah dipikir-pikir, Pop Minang maupun campursari sejatinya bukanlah perbandingan yang sesuai. Hanyut dalam melodi pop di jalan berkelok menuju kampung di Padang Panjang tentu berbeda dengan sensasi hokya bersama Kempoters.

Berdendang di baralek gadang  rumah mantan pas kamu SMA di Padang dulu tentu tidak sama dengan lantunan musik koplo kondangan mantan gebetan kampusmu—saya paham, alasannya karena orang yang kamu bribik tidak jadi karena ibumu tidak merestui kamu nikah dengan orang luar Minang, kan? hehehehe. Sama.

Harakat dan cengkoknya saja sudah pasti pula berbeda. Belum lagi masalah bahasa ini. Tapi, kita sepakat: ini adalah tentang kasih tak sampai yang patut untuk disyukuri. Dengan lagu apapun, dengan aliran apapun, dengan bahasa apapun—dengan atau tanpa kamu sekalipun. :'(

Pun, kita sepakat bahwa bahasa patah hati adalah bahasa universal. Tanpa harus memandang ras. Poinnya, di mana bumi dipijak, di situ langik dijunjuang. Sementara ini bolehlah kita berdendang ria bersama sadboi dan sadgerl di tanah rantau. Buat mengobati rindu akan lagu patah hati. Oh iya, sekali lagi, Didi kempot bukan penyanyi. Didi Kempot adalah nyanyian itu sendiri. Didi adalah kita dalam bentuk yang paling rapuh dan enyuh.

—————————-

Malam ini, 2019, dua tahun kemudian sejak konser Didi yang pertama saya saksikan, saya berangkat menuju hari jadi sebuah partai politik di Jakarta Pusat. Tidak hanya lagu “Stasiun Balapan”, tapi beberapa lagu andalan lainnya sudah hafal di luar kepala—sebuah kemajuan. Hasil dari memutar selalu karya maestro ini tiap di kosan.

Dan, lagi-lagi anda membuktikan kalau anda adalah idola yang menembus batas suku, status sosial, ras, generasi dan golongan.

Ambo tresno kali kali kali kalo panjenengan, Uda Didi!

 

ps. jangan tanya saya sudah berapa kali patah hati dengan anda, ya, pemudi Jawa.

Exit mobile version