Belakangan linimasa medsos saya penuh dengan puja-puji kepada dr. Reisa Broto Asmoro. Itu loh, mantan Puteri Indonesia yang mendadak didaulat jadi jubir Gugus Covid-19. Banyak orang, terutama cowok-cowok norak yang seakan baru keluar dari goa setelah 319 tahun menganga takjub. Mereka kelihatan terkejut banget hanya karena pengumum kasus corona adalah cewek cantik, sama terkejutnya seperti dulu Ashabul Kahfi melihat suasana kota setelah tertidur ratusan tahun.
Sampai saya menulis ini, masih berjibun orang-orang mengagumi kehadiran dr. Reisa di layar kaca. Bahkan, ada yang mengucapkan terima kasih kepada pemerintah karena menghadirkan kebeningan di tengah nestapa corona. Hellooow, kok kesannya masyarakat kita kayak anak-anak yang gampang dihibur dengan mainan, ya?
Padahal, saya kasih tahu nih, ya. Kehadiran dr. Reisa justru adalah pertanda buruk, loh. Bukan maksud saya menganggap dr. Reisa itu buruk. Tentu enggak. Bagaimana pun, kita emang nggak bisa menampik bahwa beliau cantik, berpenampilan menarik, pintar, dan masih fresh graduate—eh, ini mah syarat penerimaan lowongan kerja, ya?
Paras dr. Reisa memang mengademkan hati pemirsa, itu kenyataan yang susah ditolak. Namun, di sisi lain, menghadirkan dr. Reisa untuk menggantikan Achmad Yurianto dalam mengumumkan kasus harian corona terlihat seperti upaya pemerintah menjadikan dr. Reisa sebagai “tumbal”.
Saya serius. Mari kita lihat data.
Sejak dr. Reisa ikut menemani Achmad Yurianto mengumumkan kasus pertambahan harian corona di Indonesia pada Senin (8 Juni 2020) kemarin, Indonesia mencatatkan dua rekor yang nggak layak dicatat MURI ataupun Guinnes Book World of Record, yaitu signifikansi kenaikan kasus positif corona.
Pada 9 Juni ada 1.043 kasus positif, 10 Juni meningkat jadi 1.241 kasus positif, dan terbaru 11 Juni (walaupun kasus positif harian menurun jadi 979—eh, ini pun nggak bisa dibilang sedikit) korban meninggal akibat kasus corona mencapai 2.000! Itu 2.000 orang semua, Cuy, punya daging dan ruh. Bukan terbuat dari tanah liat apalagi semen+aspal kayak jalan tol buatan Pak Jokowi.
Nah, kita dapat menduga inisiatif pemerintah memunculkan dr. Reisa adalah upaya pemerintah untuk meredam efek kejut. Bahasa kasarnya: mengalihkan perhatian. Pemerintah nggak mau masyarakat mati kaget tanpa ada pelipur lara melihat pertambahan kasus corona yang dahsyat.
Karena sadar nggak bisa menurunkan kasus corona walaupun corona udah diajak berdamai, pemerintah pun mengeluarkan siasat cerdik yang terbukti berhasil: menghadirkan perempuan cantik.
Kalau kamu suka baca sejarah atau nonton film tentang intrik, perempuan cantik sering dijadikan senjata suatu pihak untuk melumpuhkan atau menipu pihak lain. Tentu saya nggak bermaksud merendahkan martabat perempuan. Saya hanya mengemukakan fakta sejarah sekaligus mengkritik langkah picik pemerintah tersebut.
Coba aja kita lihat sekarang. Alih-alih fokus mengkritik kebijakan pemerintah yang semrawut, konsentrasi sebagian orang jadi terpecah-belah untuk mengurusi tetek-bengek dr. Reisa. Padahal, ya ampun, apa sih faedah dr. Reisa yang konkret? Emang kehadiran dr. Reisa bisa bikin kasus corona langsung lenyap dari Indonesia gitu? Bisa bikin perut masyarakat yang lapar jadi kenyang? Orang yang ter-PHK jadi dapat kerjaan lagi? Kan enggak.
Kemunculan dr. Reisa malah makin membikin saya bertanya-tanya. Ini negara apa acara hiburan televisi, sih? Hobinya kok menampilkan hal yang lucu dan nggak substansial terus.
Sebetulnya menampilkan dr. Reisa nggak apa-apa sih, asalkan cara negara kita menangani corona kayak Thailand. Baru-baru ini Thailand juga menjadikan Panprapa Yongtrakul, Miss Thailand 2008 sebagai orang yang ikut mengumumkan pertambahan kasus positif corona.
Bedanya, penanganan corona di Thailand sudah cukup bagus dan efektif. Kurva kasus corona Thailand makin hari semakin menurun. Bahkan pada 11 Juni 2020 Thailand mencatatkan nol kasus positif corona alias nggak ada. Mereka sudah setara dengan Vietnam, Selandia Baru, dan Timor Leste.
Lah, Indonesia, meniru Thailand kok dalam hal yang nggak substansial doang. Tiru juga dong ketegasan dan kejelasannya.
Selama kebijakan dan penanganan corona di Indonesia masih tidak tegas, tidak jelas, dan acakadut kayak penampilan anak kos semester akhir pas bangun tidur, Chelsea Islan atau Adhisty Zara ditunjuk jadi jubir Gugus Covid-19 pun tetap aja nggak ada gunanya.
Nah, kita, khususnya para lelaki yang matanya gampang kedutan saat melihat perempuan bening, jangan sampai kena prank pemerintah. Seakan-akan kemunculan dr. Reisa adalah kabar baik atau secercah cahaya di kegelapan corona. Asal tahu saja, kehadiran dr. Reisa justru pertanda buruk. Kalau ada pepatah mengatakan “pekatnya malam adalah pertanda munculnya fajar”, ini sebaliknya “munculnya fajar adalah pertanda akan datangnya kegelapan berlipat-lipat”. Jadi, jangan heran kalau ke depan pertambahan kasus corona di Indonesia makin mengerikan.
Saya, sama seperti siapa pun di dunia ini, jelas berharap corona ini cepat hilang dari bumi yang nggak datar ini. Tapi, kita juga harus realistis. Kalau kebijakan pemerintah masih berantakan, pejabat pada berantem, istilah-istilah nggak jelas semacam new normal terus diobral, dan masyarakat banyak yang nggak disiplin, gimana kita bisa berharap kasus corona cepat mereda?
Dan ya, kehadiran dr. Reisa juga memunculkan tragedi lain, yaitu munculnya kaum-kaum seksis yang mengkomodifikasi tubuh perempuan dan melakukan pelecehan online. Lengkap sudah, kasus corona semakin melesat, kaum seksis nongol, dan pemerintah masih kayak anak magang yang baru belajar mengurus negara. Capek, deh.
BACA JUGA Dokter Reisa Broto Asmoro Direkrut sebagai Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Covid-19 dan tulisan Sarifah Hanum lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.