Apa Motivator Pernah Muak dengan Kata-katanya Sendiri?

Apa Motivator Pernah Muak dengan Kata-katanya Sendiri?

Apa Motivator Pernah Muak dengan Kata-katanya Sendiri? (pixabay.com)

Saya mengikuti akun-akun motivasi, terutama akun motivator yang namanya sudah kondang. Di saat saya down, motivasi setidaknya bisa jadi obat, meski tidak menyembuhkan seratus persen.

Menemukan kata motivasi yang sesuai dengan perasaan itu seakan jadi pembenaran atas kegalauan saya. Namun, di saat saya sedang bahagia, kata motivasi terasa seperti kalimat yang tidak ada isinya.

Kadang saya berpikir, kata-kata motivator itu hanya bualan. Mereka tak ada bedanya dengan pembuat ramalan zodiak yang dikejar deadline. Mereka membuat kata-kata, tapi mereka sendiri tak pernah tahu kebenarannya.

Nah, yang jadi pertanyaan, apa motivator itu tidak muak dengan motivasi yang mereka buat sendiri?

Kalimat-kalimat bijak itu biasanya datang dari pengalaman hidup yang berharga, dan pengalaman hidup itu tidak datang setiap waktu. Pengalaman hidup datang sesekali, dalam bentuk masalah, stres, tuntutan pekerjaan, lingkungan, dan seterusnya. Jika seseorang dituntut untuk membuat kata motivasi setiap hari, dari mana ia bisa mendapatkan pengalaman hidup yang berharga itu terus menerus?

Ibarat sebuah padi. Tidak mungkin kita memanennya setiap hari. Kita bisa memanennya satu atau dua kali dalam setahun. Bagaimana motivator bisa “memanen” kata motivasi setiap hari, sedangkan pengalaman hidup yang akan dijadikan kalimat motivasi itu mungkin hanya terjadi 1-2 kali dalam setahun?

Baiklah, kita bisa belajar dari kesalahan orang lain. Namun, apakah kesalahan orang lain dan solusinya akan berlaku dengan orang lain? Apakah tiap motivasi yang muncul itu beneran bisa diaplikasikan dalam realitas?

Selain itu, saya menemukan hal lain tiap melihat mereka-mereka ini menyampaikan motivasi mereka.

Setiap kali menonton video motivator membuat kata-kata bijaknya, perhatian saya selalu terfokus pada ekspresi wajah mereka. Ekspresinya seperti sudah di-setting sedemikian rupa sesuai dengan kontennya.

Kalau motivasinya mengajak orang untuk semangat, bangkit dari keterpurukan, maka matanya akan terbuka lebar, bibirnya akan tersenyum sekian sentimeter. Tangannya akan mengepal dan meninju ke atas seperti seseorang yang mengajak berperang.

Kalau motivasinya tentang kegalauan, ekspresinya akan dimulai dengan mimik sedih. Sorot matanya sendu. Ketika kata-kata bijaknya masuk ke ending, raut wajahnya berubah sedikit ceria seperti gerombolan sapi bertemu padang rumput.

Satu ekspresi untuk jenis konten yang berbeda. Kira-kira begitu. Maksud saya, ekspresi motivator itu seperti ada template-nya. Mereka punya beragam ekspresi yang sudah di setting sedemikian rupa untuk menyampaikan pesan yang sudah disiapkan.

Mungkin ketika syuting, mereka menghadap kamera, menghafal kalimat motivasinya, entah dalam tulisan atau isi kepala, lalu mengucapkannya sesuai jobdesc.

Saya membayangkan, ketika syuting selesai, ekspresi template-nya dilepas, lalu mereka memasang kembali wajah “asli” mereka. Di balik kamera, mereka pulang ke rumah dalam keadaan lelah, lesu, stres. Sangat jauh dengan kata-kata penyemangatnya selama ini.

Saya pikir, banyak motivator membuat kalimat bijak, tapi di saat yang sama, mereka pun sedang bermasalah dengan hidupnya. Di saat mereka membuat kalimat “ayo semangat, jangan menyerah”, mereka sedang punya masalah keluarga, bertengkar dengan pasangan, pusing dengan tagihan paylater yang belum dibayar, atau memusingkan masalah tentang apakah harus keluar dari grup alumni atau tidak.

Dan rasanya, omongan mereka makin berjarak dengan realitas.

Motivator juga manusia. Ucapan mereka terkadang hanya indah dalam teori, tapi untuk praktik susahnya setengah mati. Saya yakin, sebagian motivator sebetulnya tidak suka dengan kalimat motivasi yang mereka buat sendiri.

Mereka—setidaknya menurut saya—tahu bahwa motivasi, terkadang tak berguna ketika tak sesuai dengan masalah manusia pada umumnya. Bicara memantaskan diri, tapi nyatanya memang standar yang ditentukan kelewat tinggi. Bicara optimisme untuk keluar dari kemiskinan, padahal masalahnya struktural. Bicara mental, padahal yang terjadi di lapangan jauh lebih rumit.

Maka dari itu, saya punya pertanyaan apakah mereka ini (kadang) muak dengan kata-kata mereka sendiri. Sebab, hidup itu tak hitam putih. Area abu-abu selalu ada, dan area itulah yang sering ditemui manusia kebanyakan. Katakanlah bicara keluar dari kemiskinan adalah dengan bermental kaya. Lha kalau nyatanya kemiskinan tak pernah hanya tentang perkara mental, kenapa pede banget ngomong hal itu?

Dan saya berharap, para motivator mulai berpikir untuk dirinya sendiri. Jangan-jangan, mereka ini sebenarnya tak tahu betul apa yang mereka omongkan, dan apa yang mereka katakan itu aneh.

Dan sudah seharusnya mereka mulai muak dengan kata-katanya sendiri.

Penulis: Muhammad Daffa Ardhan Syauqi
Editor: Rizky Prasetya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version