Andai Sekolah di Indonesia seperti “Tomoe Gakuen-nya” Totto-Chan

Andai Sekolah di Indonesia seperti “Tomoe Gakuen-nya" Totto-Chan terminal mojok.co

Andai Sekolah di Indonesia seperti “Tomoe Gakuen-nya" Totto-Chan terminal mojok.co

Kamu pernah dengan tempat bersekolah Totto-Chan bernama Tomoe Gakuen?

Ki Hajar Dewantara menyebut istilah sekolah dengan kata “taman”. Menurut beliau, taman adalah tempat belajar yang menyenangkan sekaligus tempat bermain bagi seorang anak. Anak-anak datang ke taman dengan senang hati, berada di sana dengan senang hati, dan pada saat ia harus meninggalkannya, maka ia akan merasa berat hati. Begitulah bapak pendidikan kita menerjemahkan kata “sekolah”.

Namun kenyataannya, di Indonesia, sekolah sudah menjelma menjadi medan pertempuran yang melelahkan. Lantaran di setiap semester, kamu harus siap untuk digempur ulangan, tugas, kuis, pekerjaan rumah, dan ujian. Bahkan itu sudah terjadi pada tingkat yang paling dasar, yaitu: sekolah dasar. Konsep bermain yang diharapkan Ki Hajar Dewantara hilang dan belajar berubah jadi beban. Seolah-olah, kehidupan seorang siswa dihabiskan hanya untuk membaca buku, mencatat pembahasan guru, membuat ringkasan, menghafal rumus, dan mengerjakan tugas.

Padahal, keberhasilan masa depan suatu bangsa tergantung pada generasi muda dan pendidikan yang mereka dapatkan. Pendidikan menjadi hal terpenting bahkan bagi masyarakat miskin. Pasalnya, pendidikan merupakan salah satu cara untuk memutus rantai kemiskinan.

Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia tidak terlalu ramah bagi para siswa. Mereka tidak mendorong siswa untuk bisa berpikir secara mandiri, kreatif, dan malah memfokuskan pada cara belajar dengan cara hafalan. Kurikulum terus disesuaikan, peran guru dikurangi, peran siswa ditambah. Siswa dituntut untuk menjadi lebih aktif dan mampu belajar secara mandiri maupun berkelompok. Namun, percuma saja jika guru yang mendampingi tidak dapat menyampaikan materi secara baik dan efektif. Itu hanya akan menambah beban bagi para siswa.

Secara umum, pendidikan bisa dikatakan sukses apabila pendidikan tersebut mampu membuat siswanya paling tidak menyentuh tiga aspek: aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Kognitif merupakan kemampuan yang menyangkut aktivitas otak dalam rangka mengembangkan kemampuan berpikir secara logis. Afektif merupakan kemampuan yang berkaitan dengan emosi. Sedangkan psikomotorik merupakan kemampuan yang berkaitan dengan keterampilan.

Dalam praktiknya, sekolah dan pendidikan di Indonesia masih belum dapat menyentuh ketiga aspek tersebut secara keseluruhan. Kita masih hanya berkutat pada aspek kognitif. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana para pendidik kita menjejalkan siswanya beragam informasi yang harus mereka ketahui.

Kita ambil contoh pelajaran Matematika. Di pelajaran Matematika, para siswa dituntut untuk mengetahui berbagai macam rumus dan doktrin matematis. Mulai dari rumus pythagoras sampai trigonometri. Kita dituntut untuk hafal rumus-rumus tersebut ketimbang belajar memahami untuk apa rumus tersebut dipelajari dan kapan rumus tersebut bisa diaplikasikan di dunia nyata. Lantaran kebiasaan menghafal itulah, rumus-rumus yang sudah kita hafal hanya akan berakhir di atas kertas dan dipelajari hanya demi menjawab soal ujian.

Superman nggak bakal sanggup kalau disuruh sekolah di Indonesia. Serius. Hulk yang seharusnya jadi ilmuwan milih jadi gelandangan. Spider-Man lebih milih jadi polisi cepek ketimbang harus sekolah di Indonesia saking susahnya.

Namun, berbeda dengan apa yang dialami Totto-Chan (Tetsuko Kuroyanagi) di sekolah Tomoe Gakuen. Tidak seperti kita yang menganggap kalau sekolah hanyalah tempat membosankan yang berisi rutinitas menjenuhkan, baginya sekolah adalah petualangan. Sekolah Tomoe Gakuen berhasil menjelma menjadi sebuah taman bermain yang menyenangkan bagi murid-muridnya. Di sana mereka bebas belajar maupun bermain.

Sebelumnya Totto-Chan adalah siswi kelas satu yang baru saja dikeluarkan dari sekolah. Dan Tomoe Gakuen menjadi sekolah keduanya saat itu. Ia dikeluarkan karena tingkah lakunya yang membuat guru-gurunya kehilangan kesabaran. Misalnya, ketika ia merasa tertarik dengan keberadaan laci di mejanya. Totto-Chan yang periang dan selalu penasaran, ratusan kali membuka dan menutup laci mejanya itu sambil memasukkan atau mengambil sesuatu. Lantaran perilakunya yang dianggap mengganggu tersebut dia pun dikeluarkan.

Di Tomoe Gakuen, semua murid bebas mengekspresikan perasaannya. Berbeda dengan sekolah pada umumnya yang memiliki jadwal pelajaran tetap, di sana mereka membebaskan setiap murid untuk memilih bidang studi yang mereka sukai dan ingin mereka pelajari saat jam pertama. Mereka menerapkan sistem pembelajaran yang tidak biasa. Meskipun itu berarti akan ada anak yang sibuk menggambar di samping anak yang sedang senam. Atau anak yang bereksperimen dengan tabung percobaan sementara yang lainnya belajar bahasa Jepang. Dengan metode pengajaran seperti itu para guru dapat mengamati bidang apa yang diminati oleh murid-murid mereka. Itu adalah cara ideal bagi para guru untuk benar-benar mengenal murid mereka. Dan itu terus dilakukan hingga hari kelulusan.

Berkat Tomoe Gakuen, Totto-Chan yang sebelumnya dianggap sebagai siswi nakal yang dikeluarkan dari sekolah, bisa tumbuh sebagai anak yang percaya diri. Berkat kesabaran kepala sekolahnya Sosaku Kobayashi dalam mendidik, bukan hanya Totto-Chan, tapi setiap anak yang bersekolah di sana bisa merasakan kesenangan dalam belajar.

Mungkin, kisah ini terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Namun, ini kisah nyata dan memang benar adanya. Totto-Chan atau Tetsuko Kuroyanagi juga tokoh nyata. Sekarang ia merupakan seorang artist sekaligus Duta Persahabatan untuk UNICEF. Bukan hanya dia, teman-teman kelasnya di Tomoe Gakuen juga berhasil meraih apa yang mereka ingin. Cinta pertamanya, Tai-Chan (Taiji Yamanouchi), berhasil menjadi seorang ilmuwan. Begitu pun dengan teman-temannya yang lain.

Sekolah yang membebaskan merupakan dambaan bagi banyak orang. Sayangnya, sistem pendidikan formal di negeri kita masih mengikuti aturan-aturan konvensional. Mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Para guru selalu memberikan hal yang sama kepada murid-muridnya. Padahal, semua murid memiliki kemampuan dan bakat yang berbeda.

Seandainya saja sekolah di Indonesia seperti Tomoe Gakuen (Sekolah Gerbong Kereta) Totto-Chan, mungkin sekolah bakal jadi tempat paling menyenangkan di dunia.

BACA JUGA 5 Urutan Ekstrakurikuler Paling Populer di Sekolah dan tulisan Rizali Rusydan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version