Alasan Anak STM Hobi Tawuran Berdasarkan Pengalaman Pribadi

Alasan Anak STM Hobi Tawuran Berdasarkan Pengalaman Pribadi terminal mojok.co

Alasan Anak STM Hobi Tawuran Berdasarkan Pengalaman Pribadi terminal mojok.co

Selama tiga tahun saya sekolah di STM, nggak terlalu banyak peristiwa tawuran yang terjadi. Hanya ada dua peristiwa heboh yang berujung tawuran dan lumayan menggemparkan kota tempat tinggal saya dulu. Salah satu kasusnya emang nggak sampai tawuran, tapi ketegangan yang tercipta justru sangat mencekam.

Saya tinggal di Purworejo sebelum pindah ke Jogja. Dan kalau ditanya STM mana di Purworejo yang paling kondang untuk urusan tawuran di masa lalu, maka di sanalah saya bersekolah dulu. Pernah ada cerita turun temurun dari kakak-kakak kelas bahwa generasi terdahulu tawurannya sampai bacok-bacokan dan menghilangkan nyawa, dan untungnya—atau sialnya?—tidak terjadi seekstrem itu di zaman saya sekolah.

Akan tetapi, segala sesuatu pasti nggak kejadian begitu saja. Istilah “hobi tawuran” yang melekat kepada anak STM sudah pasti ada penyebabnya. Berikut ini adalah beberapa alasan—kalau nggak mau disebut pembenaran—kenapa anak STM sering banget tawuran berdasarkan pengalaman pribadi.

Alasan #1 Mayoritas anak STM itu cowok

Sudah menjadi hal lumrah apabila mayoritas anak STM itu cowok. Dan sudah tentu apabila dalam satu sekolah sebagian besarnya adalah cowok, maka perilaku barbar—yang asyik—pasti terjadi. Bolos berjamaah adalah hal menyenangkan, terlebih jika ada guru yang nyebelin. Teriak-teriak selama pelajaran itu hukumnya wajib, dan guru-guru sudah sering menoleransi hal itu.

Ngabisin gorengan di kantin dan bayarnya nggak jujur itu sudah hal yang lumrah, makanya kalau ada kantin kejujuran di STM, sudah pasti bangkrut itu kantin. Nggak ada juga ceritanya nyiram jamban setelah pipis, tapi untuk kasus ini bukan karena bandel—seenggaknya di STM saya—lebih karena air sering nggak ngalir di WC siswa.

Selain memiliki sikap barbar—yang sekali lagi, asyik—hubungan pertemanan antar cowok itu diselimuti dengan solidaritas tinggi. Mulut boleh adu bacot dan saling umpat dengan nama-nama binatang, tapi kalau ada satu aja temen yang punya masalah, sudah pasti temen-temen lainnya bantu. Dalam kasus ini kalau nggak bisa bantu keluar dari masalah, ya seenggaknya bantu gebukin yang ngasih masalah.

Alasan #2 Harga diri kelompok harus dijaga (sekolah adalah manifestasi kelompok)

Anak STM itu mayoritas benci pelajaran sekolah, tetapi cinta mati dengan sekolahnya. Makanya nggak heran kalau banyak yang bolos pelajaran dan nongkrong bareng anak sekolah lain yang juga lagi bolos. Akan tetapi, kalau sampai anak sekolah lain itu jelek-jelekin sekolahnya, urusannya bisa panjang dan berujung baku hantam.

Kasus tawuran yang pernah saya kejadian di sekolah saya terjadi saat acara ulang tahun sekolah berlangsung. Saat ada event dangdutan—iya, salah satu acaranya emang dangdutan—ada beberapa anak sekolah lain yang ngerusuh. Ya sudah pasti habis itu mereka. Bahkan dalam proses menghajar anak-anak sekolah lain itu juga ada aksi heroik dengan meneriakkan slogan-slogan kebanggaan STM, dipimpin Ketua OSIS periode itu. Kemudian, melibas para perusuh. Itu adalah tahun pertama saya sekolah dan belum menjabat sebagai Ketua OSIS di sana.

Esok harinya anak-anak satu sekolah sudah siap siaga apabila ada penyerangan balik. Akan tetapi, ternyata nggak ada penyerangan sama sekali. Barangkali faktor lokasi STM tempat saya dulu yang sangat strategis membuat sekolah lain nggak berani nyerang. Ya, jelas saja nggak berani nyerang, wong STM saya masih satu kompleks dengan Batalyon Infanteri 412/Raider. Kalau ada yang berani nyerang, urusannya bukan hanya sama anak-anak STM, tapi juga sama tentara-tentara muda nan gagah berani.

Kejadian kedua terjadi di tahun ketiga saya, setelah saya nggak menjabat sebagai Ketua OSIS. Ada orang yang dengan kurang ajarnya nyoret-nyoret dinding sekolah dan ditambahi tulisan, “Sekolah Tong Sampah!” Geger besar waktu itu. Setelah diusut dengan saksama, ketahuan bahwa yang melakukan adalah anak-anak dari sekolah lain. Nggak terima dong kami. Makanya sering terjadi aksi pencegatan ke siapa saja anak yang berseragam sekolah musuh itu.

Hal yang sama juga terjadi sebaliknya, ketika banyak anak di STM saya sekolah mengalami pencegatan. Beberapa bahkan sampai mengalami pembacokan juga. Peristiwa itu terjadi lumayan lama dan menghebohkan kota. Sempat hampir terjadi pertarungan masif karena anak-anak STM saya menyatakan perang di lokasi tertentu, tetapi pihak musuh tidak datang meski sudah ditunggu sampai sore.

Alasan #3 Masalah pribadi menjadi masalah kelompok

Urusan rebutan cewek dari sekolah lain bisa berbuntut panjang sampai tawuran. Itu semua bisa kejadian karena saking kompaknya anak-anak STM. Masalah pribadi sering kali dibawa ke urusan kelompok. Biasanya saat ada masalah pribadi, yang bersangkutan akan sambat ke teman sekelasnya, terus seluruh kelas bakal mendukung yang punya masalah. Urusan yang punya masalah itu bener apa nggak itu urusan lain. Yang penting, temen yang punya masalah kudu bantu nyelesain.

Kalau sudah sampai sekelas tau dan siap membantu, biasanya ada satu anak di kelas yang gabung organisasi sekolah. Nah, masalah itu akan dibawa ke level organisasi sekolah. Setelah disampaikan di level sekolah, maka dukungan akan cepat menyebar dan ratusan siswa di STM bakal siap tempur. Sekali lagi, benar atau salah nggak peduli, yang penting ada satu anak di STM kena masalah, seisi sekolah kudu bantu nyelesain.

Jadi, nggak usah terlalu heran kalau ada tawuran dan ternyata sumber masalahnya adalah ada salah satu pihak yang kalah rebutan cewek.

Alasan #4 Memang terlahir bandel

Wah, kalau ini emang sudah mendarah daging, sih. Biasanya yang masuk STM—khususnya STM sekolah saya—adalah anak-anak yang emang sudah bandel dan sering dicap bengal semasa SD dan SMP. Makanya, begitu entitas-entitas seperti itu disatukan di STM, ya sudah pasti level kebandelannya akan merajalela ke mana-mana.

BACA JUGA Anggota OSIS di STM Itu Sekumpulan Orang Buangan, Nggak Ada Wibawanya Sama Sekali dan tulisan Riyanto lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version