Aksi Kamisan: Aksi yang Tak Pernah Lelah

Aksi Kamisan - Aksi yang Tak Pernah Lelah

Pada bulan Mei 1998, tepat 19 tahun yang lalu, telah terjadi peristiwa yang memilukan bagi perjalanan bangsa ini yang dikenal sebagai peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Peristiwa tersebut adalah peristiwa kerusuhan yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 di Jakarta dan sejumlah  kota di Indonesia.

Widji Thukul, yang bernama asli Widji Widodo (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Agustus 1963 – meninggal di tempat dan waktu yang tidak diketahui, hilang sejak diduga diculik, 27 Juli 1998 pada umur 34 tahun) adalah sastrawan dan aktivis  hak asasi manusia  berkebangsaan Indonesia. Tukul merupakan salah satu tokoh yang ikut melawan  penindasan  rezim Orde Baru. Sejak 1998 sampai sekarang dia tidak diketahui rimbanya, dinyatakan  hilang  dengan dugaan diculik  oleh militer.

Masih banyak aktivis HAM lain yang masih hilang dan tidak di ketahui kabarnya hingga sekarang. Bahkan mati atau hidup pun belum di ketahui kejelasannya. Di antara beberapa aktivis yang hilang adalah:

Namun sayangnya, setelah 19 tahun berlalu hingga hari ini, penyelesaian kasus Kerusuhan Mei 1998 yang dinilai sebagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, masih menjadi tanda tanya. Penyelesaian secara yudisial hingga kini tidak pernah dilakukan  terhadap pihak-pihak  yang menjadi dalang dari kerusuhan tersebut.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi saat letupan Reformasi 1998 dinilai tak pernah diusut secara tuntas. Isu tersebut dianggap tak menarik, cuma hangat ketika pemilihan presiden tiba. Isu itu tiba-tiba panas, jadi komoditas politik kelompok tertentu. Karena kasus yang berlarut larut dan seakan pemerintah sendiri lepas tangan karena hal tersebut, maka muncul gerakan gerakan menuntut kasus HAM tersebut di seluruh bagian wilayah Indonesia di mana salah satunya adalah Aksi Kamisan di Jakarta.

Aksi Kamisan sendiri adalah aksi damai sejak 18 Januari 2007 dari para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia. Mereka adalah korban ’65, korban Tragedi Trisakti dan Semanggi ’98, korban tragedi Rumpin, dan korban pelanggaran HAM lainnya. Setiap hari Kamis Pukul 16.00 hingga 17.00 di depan Istana Presiden, mereka berdiri, diam, berpakaian hitam, dan berpayung hitam bertuliskan berbagai kasus pelanggaran HAM. Mereka juga mengirimkan surat kepada presiden, menggelar spanduk, foto korban, dan membagikan selebaran untuk para pengguna jalan. Hitam dipilih sebagai lambang keteguhan duka cita mereka yang berubah menjadi cinta kasih mereka pada korban dan sesama, payung sebagai lambang perlindungan, dan Istana Presiden sebagai lambang kekuasaan.

Di penghujung tahun 2006, Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), yaitu sebuah paguyuban korban/keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) mengadakan sharing bersama JRK (Jaringan  Relawan Kemanusiaan) dan KontraS untuk  mencari alternatif kegiatan dalam perjuangannya. Pada pertemuan hari Selasa, tanggal 9 Januari 2007, bersama KontraS dan JRK, disepakati untuk mengadakan suatu kegiatan guna bertahan dalam perjuangan mengungkap fakta kebenaran, mencari keadilan dan melawan lupa. Sebuah kegiatan berupa “Aksi Diam” sekali dalam seminggu menjadi pilihan bersama. Bahkan disepakati pula mengenai hari, tempat, waktu, pakaian, warna, dan maskot sebagai simbol gerakan.

Pilihan jatuh hari pada hari Kamis merupakan hari di saat peserta rapat bisa meluangkan waktu. Depan Istana Presiden menjadi lokasi aksi karena Istana merupakan simbol pusat kekuasaan. Waktu Aksi Kamisan ditentukan pukul 16.00-17.00 (tepat) adalah saat lalu lintas di depan Istana Presiden ramai oleh kendaraan pulang bekerja.

Hari Kamis, 18 Januari 2007 adalah hari pertama berlangsungnya Aksi Diam. Disadari bahwa negara sengaja mengabaikan terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM, maka dengan melakukan “Aksi Kamisan” atau yang dikenal juga dengan sebutan “Aksi Payung Hitam” adalah merupakan upaya untuk bertahan dalam memperjuangkan mengungkap kebenaran, mencari keadilan, dan melawan  lupa. Di samping itu dengan selalu melayangkan surat terbuka kepada Presiden RI, merupakan pendidikan politik bagi para pemimpin bangsa.

Diam dan berdiri sebagai pilihan, karena “diam” tidaklah berarti telah kehilangan hak-hak sebagai warganegara, dan “berdiri” melambangkan  bahwa korban ataupun keluarga korban pelanggaran HAM adalah warga negara yang tetap mampu berdiri untuk menunjukkan bahwa punya hak sebagai warga di bumi pertiwi Indonesia dan sadar bahwa hak itu tidak gratis bisa didapat, terlebih ketika pemerintah tidak mau peduli. Diam, juga untuk menunjukkan diri sebagai bukan perusuh, bukan warganegara yang susah diatur dan juga bukan warganegara yang membuat bising telinga, tetapi tetap menuntut pemerintah untuk tidak diam.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version